Bagi seorang nakhoda kapal yang tengah berlayar, kerlap
kerlip cahaya dari mercusuar merupakan pertanda kebahagiaan dan sesuatu yang teramat
dinantikan kehadirannya. Apalagi bagi para pelaut zaman baheula yang belum mengenal
adanya GPS. Betapa tidak bahagia, setelah sekian lama terombang-ambing di
lautan lepas, dia akan segera menemukan sebuah kepastian akan semakin dekatnya
dia dengan tujuan.
Namun yakinlah, seindah apa pun mercusuar, seideal apa pun
gambarannya, dan sebesarnya apa pun harapan dia untuk mendapai cahaya
mercusuar, ia tidak akan pernah berhenti di sana untuk menambatkan kapal yang
dinakhodainya. Mengapa? Di balik keindahannya ada bahaya besar yang tersimpan
di sana. Bukankah mercusuar menandakan adanya batu karang yang besar yang bisa
membuat kapal menjadi karam? Bukankah di balik mercusuar ada mulut sungai yang
terjal lagi berbahaya?
Apa jadinya kalau sang nakhoda terlena dengan kerlap
kerlip cahaya dari mencusuar sehingga ia akan mengarahkan bahteranya dan lalu
berlabuh di sana? Kapalnya akan kandas bahkan tenggelam karena membentur karang
yang besar. Ia pun akan gagal meneruskan perjalanan menuju tempat yang
dirindukan.
Sejatinya, mercusuar sekadar pertanda, petunjuk jalan,
sarana yang layak dimanfaatkan agar seorang pelaut dapat sampai di dermaga
harapan. Ia teramat penting bagi lalu lintas di lautan, akan tetapi bukan
segala-galanya. Ada hal yang lebih utama dan harus menjadi prioritas utama,
yaitu berlabuh di tempat tujuan.
Kisah mercusuar hakikatnya adalah kisah mimpi-mimpi,
harapan, kecintaan, dan dunia manusia. Keberadaannya demikian penting dalam
hidup, akan tetapi ... lagi-lagi ia bukan segalanya. Mercusuar dalam hidup
manusia dapat dianalogikan dengan harta, pangkat, jabatan, anak keturunan,
pasangan hidup, kegemaran (hobbi), makanan, dan hal-hal sejenisnya. Itu semua
penting, akan tetapi kalau kita—sebagai nakhoda di dalam hidup—menjadikannya
sebagai tujuan utama, pusat perhatian, sumber energi yang menggerakkan, dan
hidup mati kita, niscaya kita akan karam di tengah dalamnya lautan kehidupan. Indah
dan menarik hati memang, bahkan sesuai dengan fitrah manusia, akan tetapi di
balik semua keindahannya ada bahaya yang mengancam yang akan menerjang siapa
saja yang melabuhkan seluruh kecenderungan hatinya di sana.
Semua aksesories duniawi tersebut idealnya hanyalah batu
loncatan, tanda-tanda yang diciptakan, dan kerlap-kerlip cahaya lampu kehidupan
yang akan mengantarkan kita kepada Allah Swt sebagai sumber kerinduan,
pelabuhan utama setiap insan. (EMSOE ABDURRAHMAN)
Wahai
anakku ... dunia itu bagaikan lautan yang dalam, telah banyak manusia tenggelam di dalamnya. Kalau engkau
sanggup, jadikanlah keimananmu kepada Allah sebagai bahteramu, hendaklah
muatannya adalah amal saleh, dan layarnya adalah tawakal kepada-Nya, semoga
engkau dapat berlayar dengan selamat.
Luqman
Al-Hakim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar