Senin, 09 Januari 2012

IJABAHNYA DOA ADALAH KENISCAYAAN


“Ya Allah, demi kebesaran-Mu ...
Sekiranya Engkau campakan aku,
niscaya aku akan tetap berdoa di depan pintu-Mu;
aku tidak akan menghentikan rintihan pada-Mu.
Bukankah Engkau telah berikan padaku pengetahuan
tentang kemurahan dan keluasan rahmat-Mu.
Ke mana seorang hamba harus pergi kalau bukan kepada Junjungannya?
Ke mana seorang makhluk berlindung kalau bukan kepada Khaliqnya?”

— Ali Zainal ’Abidin —


Seorang Ibu bertanya, “Ustaz mengapa Allah Swt. tak kunjung mengabulkan doa-doa saya. Padahal, saya tidak meminta macam-macam hanya meminta sehat saja dan tidak tergantung pada obat-obatan. Bukankah Allah itu sudah berjanji bahwa Dia akan mengabulkan permintaan hamba-Nya jika si hamba itu berdoa? Saya sudah berusaha untuk bersabar menghadapi penyakit ini, ya tapi harus sampai kapan?”
Bagaimana menjawab pertanyaan seperti ini? Sangat tidak mudah untuk menjawabnya, mungkin sama tidak mudahnya dengan menghadapi penyakit yang mendera tanpa adanya tanda-tanda kesembuhan sebagaimana yang dialami ibu ini. Benarkah Allah Swt. akan mengijabah doanya orang-orang yang meminta kepada-Nya? Jawabnya adalah benar. Dengan sangat jelas, Allah Swt. telah “menuliskan” janji-Nya itu dalam Al Qur’an, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al Baqarah, 2: 186)
Menurut ulama tafsir, ada enam ribu lebih ayat dalam Al Qur’an, akan tetapi hanya dalam ayat ini Allah menyebut diri-Nya sampai tujuh kali. Pada saat yang bersamaan, Allah pun menyebut hamba-Nya tujuh kali pula. Artinya, dalam ayat tentang doa ini, Allah Swt. mengkondisikan terjadinya dialog atau hubungan yang intens antara Dia dengan hamba-Nya. Dalam dialog ini, karena kasih sayang-Nya yang teramat luas, Allah seakan-akan “merendahkan” diri-Nya sampai pada posisi yang sama dengan hamba-Nya sehingga Dia begitu dekat. Padahal, apabila kita merujuk pada makna doa itu sendiri, mengutip pendapatnya Ustaz Quraish Shihab, pada mulanya berarti “permintaan yang ditujukan kepada siapa yang dinilai oleh si peminta mempunyai kedudukan dan kemampuan yang melebihi kedudukan dan kemampuannya”.
Berdasarkan ayat yang mulia ini, Allah Azza wa Jalla pasti akan mengijabah setiap doa ... asalkan (ada syaratnya), yaitu kita meminta kepada-Nya, beriman dan beramal saleh, dan doa yang kita panjatkan itu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya agar kita senantiasa berada dalam kebenaran.
Dengan kata lain, modal terhadap ijabahnya doa atau modal terhadap solusi dari setiap permasalahan yang kiat hadapi, sudah dipanjer bahkan bayar lunas di awal oleh Allah di awal. Allah Swt. sudah memberi kita investasi awal yang siap untuk diberdayakan. Kita ambil contoh, setiap orang sudah diberi investasi awal sebanyak lima milyar. Kalau investasi ini dibiarkan begitu saja dan tidak dikembangkan, dalam beberapa tahun saja uang yang lima milyar tersebut akan habis untuk belanja. Sebaliknya, jika orang ini mau berpikir, bekerja keras, ulet, terampil memanfaatkan modal yang ada, dan mampu menghadirkan added value pada produk, pada sistem, atau pada lingkungan tempatnya berada, dalam beberapa tahun saja uangnya akan berlipat-lipat jumlahnya dan manfaatnya semakin banyak.
Oleh karena itu, kalau hanya doa saja, sementara konsep bahwa doa kita akan dikabulkan tidak kita ketahui, atau bahkan kita tidak mengetahui adanya potensi tersebut, maka doa tersebut seolah-olah tidak pernah dikabulkan. Mengapa? Karena manusia telah diciptakan sempurna. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (sempurna).” (QS At Tîn, 95: 4). Sempurna di sini bukan end to end, atau dari awal proses penciptaan sudah sempurna dan sampai meninggal pun tetap sempurna. Artinya, ketika kita lahir dan tumbuh berkembang lalu menjadi dewasa kemudian menua, derajat kesempurnaannya terus bergeser. Ketika bayi, kita sempurna sebagai bayi. Ketika kanak-kanak kita sempurna sebagai kanak-kanak. Ketika remaja, kita sempurna sebagai remaja. Demikian pula ketika dewasa dan menjadi tua, kita sempurna sebagai orang dewasa atau sebagai orangtua. Allah sudah memberikan kesempurnaan dalam setiap tahap kehidupan manusia. Ketika dewasa misalnya, Allah sudah memberi kita kesempurnaan jasmani dan ruhani sehingga memiliki konsekuensi untuk bertanggung jawab, beramal saleh, dan dituntut menjadi manusia yang bermanfaat secara sosial. Ketika tua, Allah sudah memberi manusia kesempurnaan yang lain sehingga ia dituntut untuk menjadi manusia yang bijak, mengayomi, menjadi teladan dalam kebaikan, dan mampu menempatkan diri sesuai kapasitasnya di masyarakat.
Setelah memberi kita potensi, Allah Swt. pun menuntut kita untuk mengembangkan potensi agar menjadi kompetensi. Agar menjadi kompetensi, potensi ini harus dilatih dan dikembangkan dalam suatu sistem pendidikan yang sesuai dengan fitrah, tidak keluar jalur, diberikan ramuan ibadah yang sesuai dosis, sehingga menjadi maksimal. Itulah mengapa, Allah Swt. menurunkan agama melalui Rasulullah saw. Salah satu tujuannya adalah agar manusia dapat mengoptimalkan potensi (fitrah) yang dimilikinya menjadi kompetensi. Inilah yang diseput fitrah yang sempurna dan berdaya guna.
Dengan demikian, dalam kaitannya dengan doa, sebenarnya sebelum doa itu kita ucapkan, bahkan sebelum diniatkan atau kita dipikirkan, Allah itu sudah mengabulkan. Doa apa pun yang kita ucapkan semuanya sudah dijawab oleh Allah dalam bentuk investasi (modal kesempurnaan potensi) agar manusia mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi. Maka, doa siapa yang diijabah? Itulah doa orang-orang yang mampu aware terhadap potensi dirinya dan mampu mengoptimalkan potensinya itu.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada QS Al Baqarah, 2: 186 di atas, Allah Swt. sudah berjanji akan mengijabah doa hamba-hamba-Nya yang berdoa. Betapa tidak, Dia sudah memberikan investasi awal bagi ijabahnya doa tersebut. Masalahnya, apakah kita mau memanfaatkan modal awal tersebut atau tidak. Caranya bagaimana: kita berdoa sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw. (boleh jadi ada yang berdoa tapi doanya tidak dinilai sebagai doa karena tidak sesuai aturan), beriman (meyakini bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan doanya dan Mahakuasa untuk memberikan keputusan terbaik bagi hamba-Nya), dan berikhtiar (melakukan amal saleh sesuai dengan tuntutan-Nya).
Bagaimana jika kita sudah berdoa sebaik mungkin, sudah beriman dan melaksanakan amal saleh, akan tetapi doa yang dipanjatkan belum juga dikabulkan? Dr. Abdullah Azzam dalam bukunya Nasihat-Nasihat Rasulullah saw., mengungkapkan sekian faktor yang menyebabkan ditangguhkannya pengabulan doa, di mana setiap faktor itu memiliki kebaikannya masing-masing.
Pertama, Allah menunda pengabulan doa karena seseorang belum memenuhi syarat wajib doa, tidak menghadirkan hati, kurang memperhatikan tempat dan waktu ijabahnya doa, tidak khusyuk, dan tidak memperhatikan adab-adab dalam berdoa lainnya, baik adab lahiriah maupun adab batiniah.
Ibnu Atha’ilah mengatakan: ”Doa itu mempunyai rukun dan syarat, juga ”sayap”, sebab, dan waktu-waktu. Kalau dengan rukun dan syaratnya, ia menjadi kuat, lalu jika menyentuh sayapnya ia terbang ke langit, jika sesuai dengan waktunya, maka beruntunglah (yang berdoa), dan jika sesuai dengan sebab-sebabnya, niscaya doa itu akan lebih berhasil. Rukun dan syaratnya adalah ketulusan (keikhlasan), waktunya adalah menjelang fajar (sepertiga malam terakhir), dan sebabnya adalah bershalawat kepada Nabi saw.” Karena itu, jika doa kita belum juga diijabah oleh Allah, lakukanlah introspeksi, apakah proses berdoa yang kita lakukan sudah sesuai dengan tuntutan Rasulullah saw. ataukah tidak, dilakukan pada saat dan kondisi yang tepat atau tidak, dilakukan dengan khusyuk atau tidak, dan sebagainya.
Kedua, Allah menunda pengabulan doa karena seseorang belum bertobat dari aneka dosa dan kemaksiatan yang dilakukannya, mungkin sudah bertobat tetapi tobatnya belum sungguh-sungguh, mungkin juga ada makanan, minuman, atau barang haram yang kita konsumsi, serta ada kezaliman yang ia lakukan pada orang lain dan belum sempat meminta maaf kepadanya.
Dosa adalah penghalang utama ijabahnya doa. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya, seseorang terjauh dari rezeki disebabkan oleh perbuatan dosanya.” (HR Ahmad). Ada penutup pasti ada pembuka. Apabila dosa adalah penutup aliran rezeki, maka tobat akan membukanya. Andai kita simak, doa minta hujan isinya adalah permintaan tobat, doa Nabi Yunus saat berada dalam perut ikan adalah permintaan tobat, demikian pula doa memohon anak, dan Lailatul Qadar adalah tobat. Karena itu, ketika rezeki terasa seret, doa susah terkabul, perbanyaklah tobat, dengan hati, ucapan dan perbuatan kita.
Harta yang diperoleh dengan cara yang tidak halal dapat pula menghalangi ijabahnya doa. Dalam sebuah hadits dikisahkan tentang seorang lelaki yang telah melakukan perjalanan jauh. Rambutnya kusut masai penuh debu. Setelah sekian lama berjalan, ia berhenti lalu menengadahkan tangannya seraya berucap. “Ya Rabb aku minta pertolonganmu. Ya Rabb aku minta rahmat dan kasihmu. Ya Rabb aku minta keselamatan dari-Mu …”. Diterimakah doanya? Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya, Allah menolak doa lelaki malang itu. Bagaimana doanya akan terkabul, sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan perutnya dikenyangkan dengan makanan haram!”
Al Hafidz Ibnu Mardawih meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad bin Abi Waqash pernah meminta kepada Nabi, “Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah”. Apa jawaban Rasulullah saw., “Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba maka neraka lebih layak baginya” (HR At Thabrani).
Ketiga, Allah menunda pengabulan doa karena Dia ingin memberikannya pada saat yang tepat, pada saat si hamba sangat membutuhkannya, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, doa yang ia panjatkan menjadi simpanan atau tabungan baginya. Bisa pula, dengan doa itu Allah menyingkirkan suatu keburukan yang sepadan dengan pahala doa yang ia panjatkan.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang Muslim berdoa, dan tidak terdapat dalam doa itu dosa dan pemutusan hubungan silaturahmi, kecuali dianugerahilah ia salah satu dari tiga: diperkenankan dengan segera doanya, atau ditabung untuknya, atau dihindarkan baginya keburukan yang setimpal dengan doanya.” (HR Abu Umar bin Abdul Bar dan Imam Malik dari Abu Sa’id Al Khudri)
Melalui hadits ini, Rasulullah saw. seakan berpesan bahwa Allah akan selalu mengabulkan doa setiap hamba yang berdoa. Akan tetapi, bentuk pengabulannya yang berbeda-beda. Mungkin saja Allah Swt. mengabulkan doa dalam arti memberi yang lebih baik dan lebih sesuai untuk kita. Pada kesempatan lain, Allah mengabulkan doa kita persis sebagaimana yang kita ucapkan. Dan, pada kesempatan lain, Allah menangguhkan pengabulan doa kita pada waktu yang tepat, baik di dunia maupun di akhirat.
Oleh karena itu, jangan heran apabila di akhirat nanti ada seorang hamba yang terheran-heran melihat banyaknya pahala yang ditetapkan untuknya, di mana ia sendiri tidak tahu dari amal apakah ia mendapatkan pahala itu. Rasulullah saw. menyampaikan informasi ini kepada para sahabat, “Di akhirat nanti, ketika seorang hamba telah ditentukan baginya balasan kebaikan dan balasan keburukan yang pernah ia lakukan ketika di dunia, Allah Azza wa Jalla masih saja mendatangkan balasan kebaikan amalan yang pernah dibuatnya ketika dia hidup di dunia. Hamba itu merasa tidak pernah melakukannya dan berkata, “Ya Allah, balasan apakah yang Engkau berikan kepadaku ini? Semua amalanku ketika di dunia telah Engkau balas dengan sempurna. Aku merasa tidak pernah melakukannya ketika aku hidup di dunia.” Allah menjawab, “Wahai hamba-Ku, inilah balasan dari doa yang engkau mohonkan kepada-Ku yang tidak Aku ijabah (kabulkan) di dunia, karena jika Aku ijabah (kabulkan) hal itu akan membawa kemudharatan kepadamu.” Hamba itu kemudian berkata, “Mahasuci Engkau ya Allah yang telah membalas amalanku dengan sempurna.” (HR Muslim)
Keempat, Allah menunda pengabulan doa karena Dia ingin menguji sampai di mana kualitas keimanannya atau Allah ingin memurnikan keyakinan si hamba dari benalu-benalu kekufuran.
Sejatinya, Allah tidak mengabulkan doa (lebih tepatnya penundaan pengabulan doa) bukan karena Dia tidak mendengar doa yang dipanjatkan hamba-hamba-Nya, Dia Maha Mendengar segala doa walau doa itu tidak diucapkan lisan. Bukan pula karena Dia ingin menzalimi hamba-Nya, Dia Mahasuci dari sifat-sifat buruk dan tidak mungkin menzalimi siapa pun. Tidak dikabulkannya doa adalah sebentuk kasih sayang Allah. Dengan itulah Dia menguji hamba-Nya, siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang keimanannya hanya di mulut saja, untuk kemudian Dia memuliakan hamba-hamba yang bersabar itu dengan balasan yang tiada terhingga.
Kelima, Allah menunda pengabulan doa karena Dia ingin menyadarkan si hamba akan adanya hakikat yang sangat penting, bahwa ia hanyalah seorang hamba dan Allah adalah Pemilik Mutlak dari semua yang diciptakan-Nya. Allah memiliki hak untuk mengatur dan memutuskan nasib semua manusia. Jika Dia memberi pengabulan atas doa, maka itu adalah sebuah anugerah yang harus disyukuri. Sebaliknya, jika Dia menunda atau tidak mengabulkan doa, itu terjadi atas ilmu dan keadilan-Nya sehingga manusia harus bersabar menerimanya. Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Allah adalah Zat Yang Mahakuasa, penggenggam alam semesta. Betapa pun Allah memiliki kesempurnaan dalam kekuasaan, akan tetapi Dia Mahasuci dari sifat kezaliman, kerusakan, dan kehinaan. Mahasuci Allah yang tidak tersentuh dari sisi manapun kekurangan-Nya.
Oleh karena itu, tidak pada tempatnya bagi kita untuk menisbatkan sifat-sifat yang tidak pantas kepada Allah, Zat Pemilik Kesempurnaan. Misalnya, “Allah itu tidak mau mendengar doaku, buktinya bertahun-tahun aku berdoa, tapi belum juga dikabulkan”. Atau, ”Allah itu tidak adil, mengapa orang yang tidak pernah ibadah hidupnya senang, tapi ada orang yang rajin ibadah tapi hidupnya selalu susah!” dan sebagainya. Jika kita mensucikan Allah, hilangkanlah semua prasangka buruk kepada-Nya. Sebab, ketika kita berprasangka buruk kepada Allah, saat itu pula kita telah menisbatkan sesuatu yang tidak pantas kepada-Nya.
Bukan hanya hal yang buruk, hal-hal yang baik menurut kita pun tidak pantas pula kita menisbatkan kepada-Nya. Sikap dermawan itu baik, akan tetapi sifat dermawannya manusia tidak akan pernah menjangkau atau menyamai sifat dermawan-Nya Allah Swt. Demikian pula sifat pintar, cerdas, dan berilmu, serta sifat-sifat baik lainnya yang dikenal manusia. Allah memang memiliki semua itu, akan tetapi kebaikan Allah tidak sama dengan kebaikan manusia. Kebaikan Allah berada dalam derajat yang tidak mungkin terjangkau oleh pikiran manusia. Mana mungkin Pencipta sama dengan yang diciptakan. Mampukah seorang anak kecil menggambarkan kedalam ilmu seorang profesor? Tentu tidak. Itu pula yang terjadi pada manusia, sepintar apa pun, ia tidak akan mampu menggambarkan sifat-sifat dan keutamaan Allah di luar dari apa yang telah Allah tampakkan kepadanya. Karena itu, ketika kita menyebut Allah dengan Nama-Nama-Nya yang Indah, yakinlah bahwa itu hanya sedikit saja dari kesempurnaan Allah Swt. Ada banyak hal yang tidak kita ketahui tentang kebaikan dan keagungan yang dimiliki-Nya.
Itulah mengapa, kita tidak boleh berprasangka buruk kepada Allah hanya karena doa-doa yang kita panjatkan belum juga diijabah. Dr. Abdullah Azzam mengatakan, “Saat terjadi penundaan ijabahnya doa, saat itulah iman dimurnikan dan akan menjadi jelaslah beda antara Mukmin sejati dengan selainnya. Seorang Mukmin pada saat ijabahnya tertunda, hatinya tidak akan berubah dalam menghadap Rabb-nya, justru ibadahnya kepada Allah Azza wa Jalla akan semakin bertambah.”
Kita dapat berkaca pada kisah Nabi Ya’kub. Sejak kehilangan anak yang sangat dicintainya, Yusuf, ia terus berdoa selama 40 tahun lamanya. Malah, Allah Swt. kemudian mengujinya dengan kehilangan Bunyamin, salah seorang anak kesayangannya selain Yusuf. Ia pun kehilangan penglihatannya karena terlalu banyak menangis. Namun, ia terus berdoa dan sangat yakin bahwa Allah akan mengabulkan doanya. Karena kesabarannya itu, Allah Swt. kembalikan penglihatan dan kedua anaknya itu dalam keadaan yang lebih baik dari sebelumnya.
Keenam, Allah menunda pengabulan doa karena Dia ingin melihat hamba-Nya senantiasa berdiri di hadapan-Nya, memohon, merintih, bersimpuh dan sibuk dengan taqarrub kepada-Nya dengan perasaan hina dan lemah. Mungkin saja jika doa itu diijabah, seseorang akan melupakan Allah, atau disibukkan dengan hal-hal yang melalaikan diri dari berzikir kepada-Nya, sehingga ia menjadi jauh dari Allah. Jika itu yang terjadi, kerugian yang sangat besar telah menimpa orang tersebut.
Menurut Jalaluddin Rumi, belum dikabulkannya doa boleh jadi merupakan tanda cinta dan sayang Allah kepada sang hamba. Rumi mengibaratkan tidak dikabulnya semua doa atau ditundanya pengabulan doa bagaikan seekor burung bulbul atau perkutut yang terkurung dalam sangkar. Bukankah mereka dikurung untuk dinikmati kemerduan suaranya? Kita senang mendengarkan suara-suara burung dalam sangkar. Begitu pula Tuhan, Dia pun menyukai suara-suara manusia. Untuk berapa lamanya Tuhan membuat manusia mengalami kesulitan, supaya mereka terus menyeru-Nya dan berdoa kepada-Nya dengan suara-suara mereka yang mengiba. Bukankah, kata Rumi, ketika seorang pengemis tua buruk rupa meminta sepotog roti, dia segera diberi agar segera cepat pergi? Namun, jika seorang berwajah rupawan meminta roti, ia akan dibuat agar terus menunggu dengan dalih ini dan itu, supaya wajahnya yang rupawan dapat ditatap lebih lama lagi. Tuhan juga senang menatap hamba-hamba-Nya, dan karena itu menguji mereka supaya terus memohon kepada-Nya.
Pengabulan doa pun bisa mendatangkan mudharat jika seseorang tidak siap menerimanya. Kita dapat berkaca pada kisahnya Tsa’labah, seorang lelaki miskin yang sangat taat beribadah. Namun, ketika doanya untuk dititipi kekayaan dikabulkan, ketaatannya kepada Allah sedikit demi sedikit berkurang hingga akhirnya hilang sama sekali karena ia terlalu sibuk mengurusi hartanya.
Ketujuh, Allah menunda pengabulan doa karena jika dikabulkan akan muncul dosa besar, kemudharatan, maupun fitnah yang menimpa kehidupan diri dan keluarganya. Mungkin saja seseorang meminta kebaikan kepada Allah akan tetapi hakikatnya itu adalah keburukan. Terlebih lagi bagi orang-orang yang hanya berdoa dengan doa-doa khusus dengan meninggalkan doa-doa yang ma’tsur sebagaimana dicontohkan Nabi saw. Misalnya, meminta cepat kaya, dapat jodoh, tembus lamaran kerja, dan sebagainya.
Ketahuilah, Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya melebihi pengetahuan sang hamba tentang apa yang terbaik bagi dirinya (QS Al Baqarah, 2: 216). Allah Maha Mengetahui kebutuhan diri kita dibanding kita sendiri. Allah mengetahui masa lalu dan masa depan kita dengan teramat detail. Boleh jadi, tidak dikabulkannya doa adalah jalan kebaikan bagi kita. Berapa banyak orang yang awalnya kecewa karena tidak ijabahnya doa, tetapi kemudian ia berbahagia karena doa tersebut tidak diijabah. Seperti doanya seorang pemuda yang ingin mempersunting gadis pujaannya. Siang malam ia memohon kepada Allah agar si gadis menjadi teman hidupnya. Dan memang, si gadis pun diam-diam menyukainya. Apa yang terjadi? Alih-alih berjodoh, si gadis malah menikah dengan lelaki lain pilihan orangtuanya. Kecewa, stres, dan marah, mengharu biru dalam dada si pemuda. Ia pun mempertanyakan ”keadilan Allah”. Dua puluh tahun berlalu, sang pemuda—yang kini sudah menjadi bapak-bapak beranak tiga—akhirnya menemukan jawaban dari tidak diijabahnya doa tersebut. Tanpa sengaja, ia bertemu dengan mantan kekasihnya itu. Mereka pun terlibat obrolan hangat, hingga sebuah kalimat terucap dari bibirnya, ”Sampai sekarang Allah belum juga mengaruniakan keturunan. Kata dokter saya mandul ... !”
Seandainya kita belum tahu akibat baik dari penolakan atau penundaan ijabahnya sebuah doa, yakinlah suatu saat nanti Allah akan menampakan kebaikan dari ketepatan putusan-Nya itu. Atau, boleh jadi, pikiran kita terlalu sempit untuk melihat keindahan dari segala keputusannya itu sehingga yang tampak hanyalah kegelapan tanpa cahaya sedikit pun. Padahal, cahaya itu tampak jelas bagi mereka yang telah dibukakan hatinya.
Seorang ibu pernah bertanya kepada saya, “Apakah semua yang sudah saya jalani adalah hal terbaik dalam hidup saya?” Saya telah menyia-nyiakan banyak hal terbaik dalam hidup. Saya pernah dikhitbah (dilamar) oleh tiga orang yang berbeda. Dua orang yang saya tolak tampak lebih bahagia dibandingkan saya. Pria pertama kini telah berkeluarga dan keluarganya dikenal sebagai keluarga yang hangat, menjadi panutan bagi keluarga muda lainnya. Pokoknya konsep sakinah, mawaddah, warrahmah tercermin dalam keluarga mereka. Calon saya yang kedua telah menikah dan menetap di luar negeri dan sangat sukses secara finansial. Sementara suami saya sendiri berpenghasilan pas-pasan, pemarah, dan senantiasa menyulitkan saya dan anak-anak. Apakah benar ini yang terbaik buat saya? Padahal, ketika menentukan pilihan itu saya sudah berdoa kepada Allah untuk diberikan yang terbaik!
Memaknai konsep terbaik semestinya tidak berdasarkan pada pendapat pribadi. Terbaik bagi kita sangat relatif, tetapi terbaik dari Allah itu pasti. Terbaik itu harus dimaknai dari berbagai sudut pandang. Pada kasus tersebut, sangat mungkin ibu yang mengadu itu bukan pilihan terbaik bagi para pria yang pernah melamarnya. Apabila salah satu dari kedua pria itu berjodoh dengan si ibu, belum tentu ia akan sesukses saat ini. Sebaliknya bagi si ibu, dapat saja pernikahan dengan salah satu dari kedua pria tersebut berakibat lebih fatal dari dugaannya semula. Sementara keberadaan suaminya saat ini yang mengecewakan, boleh jadi merupakan bagian dari refleksi kekecewaan yang diekspresikan ibu tersebut. Dalam persepsi atau sudut pandang si ibu, suaminya “dipotret” dari sisi terburuk saja sehingga hasilnya pun hanyalah sekumpulan foto-foto suami yang buruk rupa.
Segala sesuatu dapat menjadi hal yang terbaik dalam hidup dengan syarat kita mampu mensyukurinya, dan yakin bahwa Allah tidak mungkin menzalimi hamba-Nya. Betapa besar pahala dan kemuliaan si ibu dalam kisah di atas jika ia mampu bersabar menghadapi perlakukan suaminya itu, sekaligus menjadikannya semakin dekat dengan Allah Swt. Akan selalu ada kebaikan dari tidak (belum) diijabahnya sebuah doa selama kita mau membuka mata dan hati terhadapnya.
Kedelapan, Allah menunda pengabulan doa karena doa yang dipanjatkan hamba itu belum sesuai dengan kapasitas dirinya, terlalu besar, memiliki jangka waktu yang panjang, atau yang bersangkutan belum siap jika doa itu dikabulkan. Sebab, setiap doa memiliki masa dan ukurannya.
Ketika meninggalkan istri dan anaknya di Lembah Bakkah yang gersang dan tak berpenghuni, Nabi Ibrahim memohon kepada Allah Azza wa Jalla, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”. Nabi Ibrahim adalah Khalilullâh, Kekasih Allah. Doanya sangat makbul. Akan tetapi, tahukah Anda berapa selang waktu antara pengucapan doa dengan ijabahnya doa tersebut? Ribuan tahun lamanya. Andaikan doa Nabi Ibrahim itu baru diijabah pada masa Rasulullah saw., (dengan disyariatkannya ibadah haji, kurban, dan dimakmurkannya Tanah Haram) perlu berapa generasi untuk merealisasikan doa tersebut, tak kurang dari 3000 tahun.
Karena itu, jika kita meminta sesuatu yang besar dalam doa kita, misalkan ingin menjadi seorang profesor padahal kita masih kuliah S1, kita harus ekstra bersabar dan bekerja keras dalam menanti ijabahnya doa tersebut.

Sumber Tulisan: 

Buku 114 Kisah Ijabahnya Doa (Penerbit Sygma, 2010) karya Tauhid Nur Azhar & Sulaiman Abdurrahim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar