“Ya Allah, demi kebesaran-Mu ...
Sekiranya Engkau campakan aku,
niscaya aku akan tetap berdoa di depan pintu-Mu;
aku tidak akan menghentikan rintihan pada-Mu.
Bukankah Engkau telah berikan padaku pengetahuan
tentang kemurahan dan keluasan rahmat-Mu.
Ke mana seorang hamba harus pergi kalau bukan kepada Junjungannya?
Ke mana seorang makhluk berlindung kalau bukan kepada Khaliqnya?”
— Ali Zainal ’Abidin —
Seorang Ibu bertanya, “Ustaz mengapa Allah Swt. tak
kunjung mengabulkan doa-doa saya. Padahal, saya tidak meminta macam-macam hanya
meminta sehat saja dan tidak tergantung pada obat-obatan. Bukankah Allah itu
sudah berjanji bahwa Dia akan mengabulkan permintaan hamba-Nya jika si hamba
itu berdoa? Saya sudah berusaha untuk bersabar menghadapi penyakit ini, ya tapi
harus sampai kapan?”
Bagaimana menjawab pertanyaan seperti
ini? Sangat tidak mudah untuk menjawabnya, mungkin sama tidak mudahnya dengan
menghadapi penyakit yang mendera tanpa adanya tanda-tanda kesembuhan
sebagaimana yang dialami ibu ini. Benarkah Allah Swt. akan mengijabah
doanya orang-orang yang meminta kepada-Nya? Jawabnya adalah benar. Dengan
sangat jelas, Allah Swt. telah “menuliskan” janji-Nya itu dalam Al Qur’an, “Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.” (QS Al Baqarah, 2: 186)
Menurut ulama tafsir, ada enam ribu
lebih ayat dalam Al Qur’an, akan tetapi hanya dalam ayat ini Allah menyebut
diri-Nya sampai tujuh kali. Pada saat yang bersamaan, Allah pun menyebut
hamba-Nya tujuh kali pula. Artinya, dalam ayat tentang doa ini, Allah Swt.
mengkondisikan terjadinya dialog atau hubungan yang intens antara Dia dengan
hamba-Nya. Dalam dialog ini, karena kasih sayang-Nya yang teramat luas, Allah
seakan-akan “merendahkan” diri-Nya sampai pada posisi yang sama dengan
hamba-Nya sehingga Dia begitu dekat. Padahal, apabila kita merujuk pada makna
doa itu sendiri, mengutip pendapatnya Ustaz Quraish Shihab, pada mulanya
berarti “permintaan yang ditujukan kepada siapa yang dinilai oleh si peminta
mempunyai kedudukan dan kemampuan yang melebihi kedudukan dan kemampuannya”.
Berdasarkan ayat yang mulia ini, Allah Azza
wa Jalla pasti akan mengijabah setiap doa ... asalkan (ada syaratnya),
yaitu kita meminta kepada-Nya, beriman dan beramal saleh, dan doa yang kita
panjatkan itu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan
Rasul-Nya agar kita senantiasa berada dalam kebenaran.
Dengan kata lain, modal terhadap
ijabahnya doa atau modal terhadap solusi dari setiap permasalahan yang kiat
hadapi, sudah dipanjer bahkan bayar lunas di awal oleh Allah di awal. Allah
Swt. sudah memberi kita investasi awal yang siap untuk diberdayakan. Kita ambil
contoh, setiap orang sudah diberi investasi awal sebanyak lima milyar. Kalau
investasi ini dibiarkan begitu saja dan tidak dikembangkan, dalam beberapa
tahun saja uang yang lima milyar tersebut akan habis untuk belanja. Sebaliknya,
jika orang ini mau berpikir, bekerja keras, ulet, terampil memanfaatkan modal
yang ada, dan mampu menghadirkan added value pada produk, pada sistem,
atau pada lingkungan tempatnya berada, dalam beberapa tahun saja uangnya akan
berlipat-lipat jumlahnya dan manfaatnya semakin banyak.
Oleh karena itu, kalau hanya doa saja,
sementara konsep bahwa doa kita akan dikabulkan tidak kita ketahui, atau bahkan
kita tidak mengetahui adanya potensi tersebut, maka doa tersebut seolah-olah
tidak pernah dikabulkan. Mengapa? Karena manusia telah diciptakan sempurna.
Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya (sempurna).” (QS At Tîn, 95: 4). Sempurna di
sini bukan end to end, atau dari awal proses penciptaan sudah sempurna
dan sampai meninggal pun tetap sempurna. Artinya, ketika kita lahir dan tumbuh
berkembang lalu menjadi dewasa kemudian menua, derajat kesempurnaannya terus
bergeser. Ketika bayi, kita sempurna sebagai bayi. Ketika kanak-kanak kita
sempurna sebagai kanak-kanak. Ketika remaja, kita sempurna sebagai remaja.
Demikian pula ketika dewasa dan menjadi tua, kita sempurna sebagai orang dewasa
atau sebagai orangtua. Allah sudah memberikan kesempurnaan dalam setiap tahap
kehidupan manusia. Ketika dewasa misalnya, Allah sudah memberi kita
kesempurnaan jasmani dan ruhani sehingga memiliki konsekuensi untuk bertanggung
jawab, beramal saleh, dan dituntut menjadi manusia yang bermanfaat secara
sosial. Ketika tua, Allah sudah memberi manusia kesempurnaan yang lain sehingga
ia dituntut untuk menjadi manusia yang bijak, mengayomi, menjadi teladan dalam
kebaikan, dan mampu menempatkan diri sesuai kapasitasnya di masyarakat.
Setelah memberi kita potensi, Allah
Swt. pun menuntut kita untuk mengembangkan potensi agar menjadi kompetensi.
Agar menjadi kompetensi, potensi ini harus dilatih dan dikembangkan dalam suatu
sistem pendidikan yang sesuai dengan fitrah, tidak keluar jalur, diberikan
ramuan ibadah yang sesuai dosis, sehingga menjadi maksimal. Itulah mengapa,
Allah Swt. menurunkan agama melalui Rasulullah saw. Salah satu tujuannya adalah
agar manusia dapat mengoptimalkan potensi (fitrah) yang dimilikinya menjadi
kompetensi. Inilah yang diseput fitrah yang sempurna dan berdaya guna.
Dengan demikian, dalam kaitannya dengan
doa, sebenarnya sebelum doa itu kita ucapkan, bahkan sebelum diniatkan atau kita
dipikirkan, Allah itu sudah mengabulkan. Doa apa pun yang kita ucapkan semuanya
sudah dijawab oleh Allah dalam bentuk investasi (modal kesempurnaan potensi)
agar manusia mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi. Maka, doa
siapa yang diijabah? Itulah doa orang-orang yang mampu aware terhadap potensi
dirinya dan mampu mengoptimalkan potensinya itu.
Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika pada QS Al Baqarah, 2: 186 di atas, Allah Swt. sudah berjanji
akan mengijabah doa hamba-hamba-Nya yang berdoa. Betapa tidak, Dia sudah
memberikan investasi awal bagi ijabahnya doa tersebut. Masalahnya, apakah kita
mau memanfaatkan modal awal tersebut atau tidak. Caranya bagaimana: kita berdoa
sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw. (boleh jadi ada yang berdoa tapi doanya
tidak dinilai sebagai doa karena tidak sesuai aturan), beriman (meyakini bahwa
Allah tidak akan menyia-nyiakan doanya dan Mahakuasa untuk memberikan keputusan
terbaik bagi hamba-Nya), dan berikhtiar (melakukan amal saleh sesuai dengan
tuntutan-Nya).
Bagaimana jika kita sudah berdoa sebaik
mungkin, sudah beriman dan melaksanakan amal saleh, akan tetapi doa yang
dipanjatkan belum juga dikabulkan? Dr. Abdullah Azzam dalam bukunya Nasihat-Nasihat
Rasulullah saw., mengungkapkan sekian faktor yang menyebabkan
ditangguhkannya pengabulan doa, di mana setiap faktor itu memiliki kebaikannya
masing-masing.
Pertama, Allah menunda
pengabulan doa karena seseorang belum memenuhi syarat wajib doa, tidak
menghadirkan hati, kurang memperhatikan tempat dan waktu ijabahnya doa, tidak
khusyuk, dan tidak memperhatikan adab-adab dalam berdoa lainnya, baik adab
lahiriah maupun adab batiniah.
Ibnu Atha’ilah mengatakan: ”Doa
itu mempunyai rukun dan syarat, juga ”sayap”, sebab, dan waktu-waktu. Kalau
dengan rukun dan syaratnya, ia menjadi kuat, lalu jika menyentuh sayapnya ia
terbang ke langit, jika sesuai dengan waktunya, maka beruntunglah (yang
berdoa), dan jika sesuai dengan sebab-sebabnya, niscaya doa itu akan lebih
berhasil. Rukun dan syaratnya adalah ketulusan (keikhlasan), waktunya adalah
menjelang fajar (sepertiga malam terakhir), dan sebabnya adalah bershalawat
kepada Nabi saw.” Karena itu, jika doa kita belum juga diijabah oleh Allah,
lakukanlah introspeksi, apakah proses berdoa yang kita lakukan sudah sesuai
dengan tuntutan Rasulullah saw. ataukah tidak, dilakukan pada saat dan kondisi
yang tepat atau tidak, dilakukan dengan khusyuk atau tidak, dan sebagainya.
Kedua, Allah menunda
pengabulan doa karena seseorang belum bertobat dari aneka dosa dan kemaksiatan
yang dilakukannya, mungkin sudah bertobat tetapi tobatnya belum
sungguh-sungguh, mungkin juga ada makanan, minuman, atau barang haram yang kita
konsumsi, serta ada kezaliman yang ia lakukan pada orang lain dan belum sempat
meminta maaf kepadanya.
Dosa adalah penghalang utama ijabahnya
doa. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya, seseorang terjauh dari rezeki
disebabkan oleh perbuatan dosanya.” (HR Ahmad). Ada penutup pasti ada
pembuka. Apabila dosa adalah penutup aliran rezeki, maka tobat akan membukanya.
Andai kita simak, doa minta hujan isinya adalah permintaan tobat, doa Nabi
Yunus saat berada dalam perut ikan adalah permintaan tobat, demikian pula doa
memohon anak, dan Lailatul Qadar adalah tobat. Karena itu, ketika rezeki terasa
seret, doa susah terkabul, perbanyaklah tobat, dengan hati, ucapan dan
perbuatan kita.
Harta yang diperoleh dengan cara yang
tidak halal dapat pula menghalangi ijabahnya doa. Dalam sebuah hadits
dikisahkan tentang seorang lelaki yang telah melakukan perjalanan jauh.
Rambutnya kusut masai penuh debu. Setelah sekian lama berjalan, ia berhenti
lalu menengadahkan tangannya seraya berucap. “Ya Rabb aku minta
pertolonganmu. Ya Rabb aku minta rahmat dan kasihmu. Ya Rabb aku
minta keselamatan dari-Mu …”. Diterimakah doanya? Nabi saw. bersabda,
“Sesungguhnya, Allah menolak doa lelaki malang itu. Bagaimana doanya akan
terkabul, sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan perutnya
dikenyangkan dengan makanan haram!”
Al Hafidz Ibnu Mardawih meriwayatkan
sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad bin Abi Waqash pernah meminta kepada
Nabi, “Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan
doa-doanya oleh Allah”. Apa jawaban Rasulullah saw., “Wahai Sa'ad
perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi
orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya,
sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya,
maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba yang
dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba maka neraka lebih layak baginya”
(HR At Thabrani).
Ketiga, Allah menunda
pengabulan doa karena Dia ingin memberikannya pada saat yang tepat, pada saat
si hamba sangat membutuhkannya, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan
demikian, doa yang ia panjatkan menjadi simpanan atau tabungan baginya. Bisa
pula, dengan doa itu Allah menyingkirkan suatu keburukan yang sepadan dengan
pahala doa yang ia panjatkan.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw.
bersabda, “Tidaklah seorang Muslim berdoa, dan tidak terdapat dalam doa itu
dosa dan pemutusan hubungan silaturahmi, kecuali dianugerahilah ia salah satu
dari tiga: diperkenankan dengan segera doanya, atau ditabung untuknya, atau
dihindarkan baginya keburukan yang setimpal dengan doanya.” (HR Abu Umar
bin Abdul Bar dan Imam Malik dari Abu Sa’id Al Khudri)
Melalui hadits ini, Rasulullah saw.
seakan berpesan bahwa Allah akan selalu mengabulkan doa setiap hamba yang
berdoa. Akan tetapi, bentuk pengabulannya yang berbeda-beda. Mungkin saja Allah
Swt. mengabulkan doa dalam arti memberi yang lebih baik dan lebih sesuai untuk
kita. Pada kesempatan lain, Allah mengabulkan doa kita persis sebagaimana yang
kita ucapkan. Dan, pada kesempatan lain, Allah menangguhkan pengabulan doa kita
pada waktu yang tepat, baik di dunia maupun di akhirat.
Oleh karena itu, jangan heran apabila
di akhirat nanti ada seorang hamba yang terheran-heran melihat banyaknya pahala
yang ditetapkan untuknya, di mana ia sendiri tidak tahu dari amal apakah ia
mendapatkan pahala itu. Rasulullah saw. menyampaikan informasi ini kepada para
sahabat, “Di akhirat nanti, ketika seorang hamba telah ditentukan baginya
balasan kebaikan dan balasan keburukan yang pernah ia lakukan ketika di dunia,
Allah Azza wa Jalla masih saja mendatangkan balasan kebaikan amalan yang
pernah dibuatnya ketika dia hidup di dunia. Hamba itu merasa tidak pernah
melakukannya dan berkata, “Ya Allah, balasan apakah yang Engkau berikan
kepadaku ini? Semua amalanku ketika di dunia telah Engkau balas dengan
sempurna. Aku merasa tidak pernah melakukannya ketika aku hidup di dunia.”
Allah menjawab, “Wahai hamba-Ku, inilah balasan dari doa yang engkau
mohonkan kepada-Ku yang tidak Aku ijabah (kabulkan) di dunia, karena jika Aku
ijabah (kabulkan) hal itu akan membawa kemudharatan kepadamu.” Hamba itu
kemudian berkata, “Mahasuci Engkau ya Allah yang telah membalas amalanku dengan
sempurna.” (HR Muslim)
Keempat, Allah menunda
pengabulan doa karena Dia ingin menguji sampai di mana kualitas keimanannya
atau Allah ingin memurnikan keyakinan si hamba dari benalu-benalu kekufuran.
Sejatinya, Allah tidak mengabulkan doa
(lebih tepatnya penundaan pengabulan doa) bukan karena Dia tidak mendengar doa
yang dipanjatkan hamba-hamba-Nya, Dia Maha Mendengar segala doa walau doa itu
tidak diucapkan lisan. Bukan pula karena Dia ingin menzalimi hamba-Nya, Dia
Mahasuci dari sifat-sifat buruk dan tidak mungkin menzalimi siapa pun. Tidak
dikabulkannya doa adalah sebentuk kasih sayang Allah. Dengan itulah Dia menguji
hamba-Nya, siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang keimanannya hanya di
mulut saja, untuk kemudian Dia memuliakan hamba-hamba yang bersabar itu dengan
balasan yang tiada terhingga.
Kelima, Allah menunda
pengabulan doa karena Dia ingin menyadarkan si hamba akan adanya hakikat yang
sangat penting, bahwa ia hanyalah seorang hamba dan Allah adalah Pemilik Mutlak
dari semua yang diciptakan-Nya. Allah memiliki hak untuk mengatur dan memutuskan
nasib semua manusia. Jika Dia memberi pengabulan atas doa, maka itu adalah
sebuah anugerah yang harus disyukuri. Sebaliknya, jika Dia menunda atau tidak
mengabulkan doa, itu terjadi atas ilmu dan keadilan-Nya sehingga manusia harus
bersabar menerimanya. Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Allah adalah Zat Yang Mahakuasa,
penggenggam alam semesta. Betapa pun Allah memiliki kesempurnaan dalam
kekuasaan, akan tetapi Dia Mahasuci dari sifat kezaliman, kerusakan, dan
kehinaan. Mahasuci Allah yang tidak tersentuh dari sisi manapun kekurangan-Nya.
Oleh karena itu, tidak pada tempatnya
bagi kita untuk menisbatkan sifat-sifat yang tidak pantas kepada Allah, Zat
Pemilik Kesempurnaan. Misalnya, “Allah itu tidak mau mendengar doaku, buktinya
bertahun-tahun aku berdoa, tapi belum juga dikabulkan”. Atau, ”Allah itu tidak
adil, mengapa orang yang tidak pernah ibadah hidupnya senang, tapi ada orang
yang rajin ibadah tapi hidupnya selalu susah!” dan sebagainya. Jika kita
mensucikan Allah, hilangkanlah semua prasangka buruk kepada-Nya. Sebab, ketika
kita berprasangka buruk kepada Allah, saat itu pula kita telah menisbatkan
sesuatu yang tidak pantas kepada-Nya.
Bukan hanya hal yang buruk, hal-hal
yang baik menurut kita pun tidak pantas pula kita menisbatkan kepada-Nya. Sikap
dermawan itu baik, akan tetapi sifat dermawannya manusia tidak akan pernah
menjangkau atau menyamai sifat dermawan-Nya Allah Swt. Demikian pula sifat
pintar, cerdas, dan berilmu, serta sifat-sifat baik lainnya yang dikenal
manusia. Allah memang memiliki semua itu, akan tetapi kebaikan Allah tidak sama
dengan kebaikan manusia. Kebaikan Allah berada dalam derajat yang tidak mungkin
terjangkau oleh pikiran manusia. Mana mungkin Pencipta sama dengan yang
diciptakan. Mampukah seorang anak kecil menggambarkan kedalam ilmu seorang
profesor? Tentu tidak. Itu pula yang terjadi pada manusia, sepintar apa pun, ia
tidak akan mampu menggambarkan sifat-sifat dan keutamaan Allah di luar dari apa
yang telah Allah tampakkan kepadanya. Karena itu, ketika kita menyebut Allah
dengan Nama-Nama-Nya yang Indah, yakinlah bahwa itu hanya sedikit saja dari
kesempurnaan Allah Swt. Ada banyak hal yang tidak kita ketahui tentang kebaikan
dan keagungan yang dimiliki-Nya.
Itulah mengapa, kita tidak boleh
berprasangka buruk kepada Allah hanya karena doa-doa yang kita panjatkan belum
juga diijabah. Dr. Abdullah Azzam mengatakan, “Saat terjadi penundaan ijabahnya
doa, saat itulah iman dimurnikan dan akan menjadi jelaslah beda antara Mukmin
sejati dengan selainnya. Seorang Mukmin pada saat ijabahnya tertunda, hatinya
tidak akan berubah dalam menghadap Rabb-nya, justru ibadahnya kepada Allah Azza
wa Jalla akan semakin bertambah.”
Kita dapat berkaca pada kisah Nabi
Ya’kub. Sejak kehilangan anak yang sangat dicintainya, Yusuf, ia terus berdoa
selama 40 tahun lamanya. Malah, Allah Swt. kemudian mengujinya dengan
kehilangan Bunyamin, salah seorang anak kesayangannya selain Yusuf. Ia pun kehilangan
penglihatannya karena terlalu banyak menangis. Namun, ia terus berdoa dan
sangat yakin bahwa Allah akan mengabulkan doanya. Karena kesabarannya itu,
Allah Swt. kembalikan penglihatan dan kedua anaknya itu dalam keadaan yang
lebih baik dari sebelumnya.
Keenam, Allah menunda
pengabulan doa karena Dia ingin melihat hamba-Nya senantiasa berdiri di
hadapan-Nya, memohon, merintih, bersimpuh dan sibuk dengan taqarrub kepada-Nya
dengan perasaan hina dan lemah. Mungkin saja jika doa itu diijabah, seseorang
akan melupakan Allah, atau disibukkan dengan hal-hal yang melalaikan diri dari
berzikir kepada-Nya, sehingga ia menjadi jauh dari Allah. Jika itu yang
terjadi, kerugian yang sangat besar telah menimpa orang tersebut.
Menurut Jalaluddin Rumi, belum dikabulkannya
doa boleh jadi merupakan tanda cinta dan sayang Allah kepada sang hamba. Rumi
mengibaratkan tidak dikabulnya semua doa atau ditundanya pengabulan doa
bagaikan seekor burung bulbul atau perkutut yang terkurung dalam sangkar.
Bukankah mereka dikurung untuk dinikmati kemerduan suaranya? Kita senang
mendengarkan suara-suara burung dalam sangkar. Begitu pula Tuhan, Dia pun
menyukai suara-suara manusia. Untuk berapa lamanya Tuhan membuat manusia
mengalami kesulitan, supaya mereka terus menyeru-Nya dan berdoa kepada-Nya
dengan suara-suara mereka yang mengiba. Bukankah, kata Rumi, ketika seorang
pengemis tua buruk rupa meminta sepotog roti, dia segera diberi agar segera
cepat pergi? Namun, jika seorang berwajah rupawan meminta roti, ia akan dibuat
agar terus menunggu dengan dalih ini dan itu, supaya wajahnya yang rupawan
dapat ditatap lebih lama lagi. Tuhan juga senang menatap hamba-hamba-Nya, dan
karena itu menguji mereka supaya terus memohon kepada-Nya.
Pengabulan doa pun bisa mendatangkan
mudharat jika seseorang tidak siap menerimanya. Kita dapat berkaca pada
kisahnya Tsa’labah, seorang lelaki miskin yang sangat taat beribadah. Namun,
ketika doanya untuk dititipi kekayaan dikabulkan, ketaatannya kepada Allah
sedikit demi sedikit berkurang hingga akhirnya hilang sama sekali karena ia
terlalu sibuk mengurusi hartanya.
Ketujuh, Allah menunda
pengabulan doa karena jika dikabulkan akan muncul dosa besar, kemudharatan,
maupun fitnah yang menimpa kehidupan diri dan keluarganya. Mungkin saja
seseorang meminta kebaikan kepada Allah akan tetapi hakikatnya itu adalah
keburukan. Terlebih lagi bagi orang-orang yang hanya berdoa dengan doa-doa
khusus dengan meninggalkan doa-doa yang ma’tsur sebagaimana dicontohkan Nabi
saw. Misalnya, meminta cepat kaya, dapat jodoh, tembus lamaran kerja, dan
sebagainya.
Ketahuilah, Allah Maha Mengetahui apa
yang terbaik bagi hamba-Nya melebihi pengetahuan sang hamba tentang apa yang
terbaik bagi dirinya (QS Al Baqarah, 2: 216). Allah Maha Mengetahui kebutuhan
diri kita dibanding kita sendiri. Allah mengetahui masa lalu dan masa depan
kita dengan teramat detail. Boleh jadi, tidak dikabulkannya doa adalah jalan
kebaikan bagi kita. Berapa banyak orang yang awalnya kecewa karena tidak
ijabahnya doa, tetapi kemudian ia berbahagia karena doa tersebut tidak
diijabah. Seperti doanya seorang pemuda yang ingin mempersunting gadis
pujaannya. Siang malam ia memohon kepada Allah agar si gadis menjadi teman
hidupnya. Dan memang, si gadis pun diam-diam menyukainya. Apa yang terjadi?
Alih-alih berjodoh, si gadis malah menikah dengan lelaki lain pilihan
orangtuanya. Kecewa, stres, dan marah, mengharu biru dalam dada si pemuda. Ia
pun mempertanyakan ”keadilan Allah”. Dua puluh tahun berlalu, sang pemuda—yang
kini sudah menjadi bapak-bapak beranak tiga—akhirnya menemukan jawaban dari
tidak diijabahnya doa tersebut. Tanpa sengaja, ia bertemu dengan mantan
kekasihnya itu. Mereka pun terlibat obrolan hangat, hingga sebuah kalimat
terucap dari bibirnya, ”Sampai sekarang Allah belum juga mengaruniakan
keturunan. Kata dokter saya mandul ... !”
Seandainya kita belum tahu akibat baik
dari penolakan atau penundaan ijabahnya sebuah doa, yakinlah suatu saat nanti
Allah akan menampakan kebaikan dari ketepatan putusan-Nya itu. Atau, boleh
jadi, pikiran kita terlalu sempit untuk melihat keindahan dari segala
keputusannya itu sehingga yang tampak hanyalah kegelapan tanpa cahaya sedikit
pun. Padahal, cahaya itu tampak jelas bagi mereka yang telah dibukakan hatinya.
Seorang ibu pernah bertanya kepada
saya, “Apakah semua yang sudah saya jalani adalah hal terbaik dalam hidup
saya?” Saya telah menyia-nyiakan banyak hal terbaik dalam hidup. Saya pernah dikhitbah
(dilamar) oleh tiga orang yang berbeda. Dua orang yang saya tolak tampak
lebih bahagia dibandingkan saya. Pria pertama kini telah berkeluarga dan
keluarganya dikenal sebagai keluarga yang hangat, menjadi panutan bagi keluarga
muda lainnya. Pokoknya konsep sakinah, mawaddah, warrahmah tercermin
dalam keluarga mereka. Calon saya yang kedua telah menikah dan menetap di luar
negeri dan sangat sukses secara finansial. Sementara
suami saya sendiri berpenghasilan pas-pasan, pemarah, dan senantiasa
menyulitkan saya dan anak-anak. Apakah benar ini yang terbaik buat saya?
Padahal, ketika menentukan pilihan itu saya sudah berdoa kepada Allah untuk
diberikan yang terbaik!
Memaknai konsep terbaik semestinya tidak berdasarkan pada
pendapat pribadi. Terbaik bagi kita sangat relatif, tetapi terbaik dari Allah
itu pasti. Terbaik itu harus dimaknai dari berbagai sudut pandang. Pada kasus
tersebut, sangat mungkin ibu yang mengadu itu bukan pilihan terbaik bagi para
pria yang pernah melamarnya. Apabila salah satu dari kedua pria itu berjodoh
dengan si ibu, belum tentu ia akan sesukses saat ini. Sebaliknya bagi si ibu,
dapat saja pernikahan dengan salah satu dari kedua pria tersebut berakibat
lebih fatal dari dugaannya semula. Sementara keberadaan suaminya saat ini yang
mengecewakan, boleh jadi merupakan bagian dari refleksi kekecewaan yang
diekspresikan ibu tersebut. Dalam persepsi atau sudut pandang si ibu, suaminya
“dipotret” dari sisi terburuk saja sehingga hasilnya pun hanyalah sekumpulan
foto-foto suami yang buruk rupa.
Segala sesuatu dapat menjadi hal yang terbaik dalam hidup
dengan syarat kita mampu mensyukurinya, dan yakin bahwa Allah tidak mungkin
menzalimi hamba-Nya. Betapa besar pahala dan kemuliaan si ibu dalam kisah di
atas jika ia mampu bersabar menghadapi perlakukan suaminya itu, sekaligus
menjadikannya semakin dekat dengan Allah Swt. Akan selalu ada kebaikan dari
tidak (belum) diijabahnya sebuah doa selama kita mau membuka mata dan hati
terhadapnya.
Kedelapan, Allah menunda
pengabulan doa karena doa yang dipanjatkan hamba itu belum sesuai dengan
kapasitas dirinya, terlalu besar, memiliki jangka waktu yang panjang, atau yang
bersangkutan belum siap jika doa itu dikabulkan. Sebab, setiap doa memiliki
masa dan ukurannya.
Ketika meninggalkan istri
dan anaknya di Lembah Bakkah yang gersang dan tak berpenghuni, Nabi Ibrahim
memohon kepada Allah Azza wa Jalla, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya
Engkau telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai
tanaman dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang
demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian
manusia cenderung kepada mereka, dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan,
mudah-mudahan mereka bersyukur”. Nabi Ibrahim adalah Khalilullâh, Kekasih
Allah. Doanya sangat makbul. Akan tetapi, tahukah Anda berapa selang waktu
antara pengucapan doa dengan ijabahnya doa tersebut? Ribuan tahun lamanya.
Andaikan doa Nabi Ibrahim itu baru diijabah pada masa Rasulullah saw., (dengan
disyariatkannya ibadah haji, kurban, dan dimakmurkannya Tanah Haram) perlu
berapa generasi untuk merealisasikan doa tersebut, tak kurang dari 3000 tahun.
Karena itu, jika kita
meminta sesuatu yang besar dalam doa kita, misalkan ingin menjadi seorang
profesor padahal kita masih kuliah S1, kita harus ekstra bersabar dan bekerja
keras dalam menanti ijabahnya doa tersebut.
Sumber Tulisan:
Buku 114 Kisah Ijabahnya Doa (Penerbit Sygma, 2010) karya Tauhid Nur Azhar & Sulaiman Abdurrahim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar