Dalam
cerita anak, hewan dari keluarga kura-kura kerap dilambangkan sebagai hewan
yang lamban, bodoh, dan malas berpikir. Itulah mengapa, ia pun sering menjadi
bulan-bulanan bangsa manusia dan hewan lainnya. Benarkah seperti itu? Kalau
dilihat dari tampangnya, memang tidak berlebihan kalau keluarga kura-kura memiliki
stereotipe negatif. Namun, di balik tampangnya yang kurang meyakinkan ada
serangkaian keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Ambil contoh
dalam konsep ketuhanan, gambaran tubuh kura-kura membawa sejumput pesan
intimewa tentang sebuah hakikat kehidupan, di mana Tuhan menjadi sentralnya.
Lihatlah
tubuh unik sang kura-kura. Ia memiliki satu kepala, sebuah batok bulat yang
keras, empat kaki, dan sebuah ekor. Kepala, pada hakikatnya, menggambarkan satu
Tuhan sebagai tujuan utama. Di sinilah pusat pemrograman yang akan memandu
seluruh tubuh untuk berjalan menuju satu tujuan. Batok bulat menggambarkan
sebuah bola dunia di mana seluruh kehidupan dan aktivitas manusia berada. Dalam
konteks keumatan, batok pun menunjukkan sebuah kekuatan, harga diri, yang
menjadi senjata ampuh untuk meredam setiap ancaman. Walau dia diam, namun
kerasnya seperti batu. Empat kaki menggambarkan empat arah mata angin, Timur,
Barat, Utara, dan Selatan. Dengan kaki-kaki inilah, setiap insan beriman yang
hidupnya terpandu oleh satu tujuan di perintahkan untuk menjelajahi keempat
penjuru mata angin untuk mencari dan menemukan rezeki dan beragam ayat-ayat
Ilahi. Adapun ekor menggambarkan seorang hamba yang telah mengikrarkan diri
untuk menjadikan kehendak Tuhan di atas kehendak dirinya, sehingga apa yang Dia
perintahkan, niscaya akan diikutinya. Bukankah ekor bergantung pada ke mana
kepala pergi?
Itulah
wujud kura-kura. Ada sejumput pelajaran berharga di balik kelambanan dan
“kebodohannya”. Hal ini tampaknya disadari betul oleh para ulama kita
terdahulu. Jika Anda pernah berjalan-jalan ke kota Kudus, di Jawa Tengah, Anda
akan mendapati kura-kura sebagai ikon kota para wali tersebut. Sunan Bonang,
sang pendiri kota, yang berasal dari Al-Quds (Palestina)—sehingga nama Kudus
diambil dari kata Al-Quds—seakan ingin menjadikan kota dengan semua penduduknya
sebagai hamba-hamba yang tunduk, patuh, dan taat kepada Allah dalam naungan
Islam yang kuat.
Sejatinya,
pelajaran tentang kura-kura, tidak sekadar dari bentuk fisiknya, tetapi juga dari
siklus kehidupannya. Lihatlah, siklus hidup penyu, sejak ia dilahirkan sampai
hari kematiannya, mencerminkan tahap-tahap perjalanan hidup manusia. Keluarga
kura-kura—khususnya jenis penyu, ditetaskan oleh induknya di pantai, kemudian
mereka berenang menuju lautan sebagai habitat tempat ia mencari penghidupan,
menempa diri, meraih sebanyak mungkin hakikat hidup, mengarungi kedalaman
lautan untuk menyaksikan beragam karunia Allah di dalamnya, sekaligus tempat
perjuangan untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Setelah puas dan cukup
waktu, ia pun akan meruaya kembali ke daratan untuk kawin, bertelur, dan
melahirkan anak-anaknya sebagai generai penerus mereka. Di daratan ini pula
sebagian dari mereka menghembuskan napas terakhirnya. Ya di daratanlah mereka dilahirkan,
di tempat yang sama pula mereka meninggal.
Ini
hakikat terdalam perjalanan hidup manusia. Dari Allah-lah ia bermula, dan dalam
pangkuan Ilahi pula ia berakhir. Maka, apa pun yang dihadapinya di lautan
kehidupan, akan tetapi muaranya harus senantiasa satu: Allah. Sebab, di sanalah
akhir perjalanan semua kehidupan. (EMSOE ABDURRAHMAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar