“Hakikat hidup bukanlah apa yang kita ketahui,
bukanlah buku-buku yang kita baca atau kalimat-kalimat
yang kita pidatokan, melainkan apa yang kita kerjakan,
apa yang paling mengakar di hati, jiwa, dan inti kehidupan kita.
Itulah yang akan kita ucapkan saat kematian kita.”
— Emha Ainun Nadjib —
Beberapa
waktu lalu, seorang teman mengirimkan sebuah kisah ke email. Kisah ini sangat menyentuh
sehingga “memaksa” diriku untuk merenungkan dan menilai kembali perjalanan
hidup selama ini. Boleh jadi, Anda sudah pernah membaca kisah ini, akan tetapi
tidak ada salahnya apabila saya hadirkan kembali untuk Anda. Berikut
petikannya:
Sebut saja Roynan.
Dia adalah seorang pemuda yang lahir di lingkungan keluarga yang agamis. Dia
memiliki seorang ayah yang disibukkan dengan rutinitas kegiatan keagamaan atau
lebih dikenal dengan sebuatan ustaz. Ibunya pun seorang ustazah yang sering
mengisi pengajian di banyak majelis taklim. Ketika masih di bangku sekolah,
Roynan selalu mendengar doa-doa ibunya. Demikian pula ayahnya, beliau selalu
dalam shalatnya yang panjang. Walaupun terasa berat, perlahan tapi pasti Roynan
pun mengikuti anjuran kedua orangtuanya untuk bisa memaksimalkan pemahaman
agamanya. Di kampungnya, Roynan termasuk anak yang tidak banyak tingkah dan
taat beribadah. Ia pun tumbuh menjadi pemuda yang matang.
Sampai akhirnya dia
harus meneruskan pendidikan polisi ke suatu daerah sehingga jauh dari orangtua.
Pendidikan dan pergaulan barunya telah mengubah banyak hal dari seorang Roynan.
Jika sebelumnya dia selalu shalat pada awal waktu dan berjamaah, sekarang ia
lebih sering shalat pada akhir waktu. Amalan-amalan yang dulu sering ia
praktikkan bersama kedua orangtuanya, bangun shalat malam, shalat Dhuha dipagi
hari, puasa sunnah sudah semakin jarang ia kerjakan. Sebenarnya, ia pun sadar
kalau dirinya semakin jauh dari Allah Swt.
Setelah tamat dari
pendidikan tersebut, Roynan ditugaskan di kota yang jauh dari kotanya.
Perkenalannya dengan teman-teman sekerja membuatnya agak ringan menanggung
beban sebagai orang terasing. Namun sayang, pekerjaan dan pergaulan barunya
semakin menjauhkan Roynan dari Allah. Kini, jangankan shalat sunnat, shalat
wajib pun sering ditinggalkan, bacaan Al-Quran yang pada masa pendidikan masih
sering dia baca, kini tidak pernah lagi terucap dari lisannya. Dunia baru yang
dijalani Roynan benar-benar telah mengubahnya. Roynan ditugaskan untuk menjaga
keamanan dan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol, serta membantu
orang-orang yang membutuhkan bantuan. Pekerjaan ini terbilang menyenangkan bagi
Roynan. Itulah mengapa, ia berusaha melaksanakan tugasnya dengan dedikasi
tinggi.
Namun, di tengah
kesibukannya itu, ia merasakan kalau hidupnya menjadi kering kerontang, tidak
punya pondasi bagai selalu diombang-ambingkan ombak. Di sela-sela malam, ia
seringkali merenung dan melamun sendirian. Ia merasa sebatang kara. Setiap hari
ia hanya menyaksikan mobil yang berlalu lalang, kecelakaan lalu lintas,
orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentuk penganiayaan lain. Ia
merasakan kejenuhan yang tak terhingga dengan rutinitas yang ia lakukan.
Suatu hari,
terjadilah peristiwa mengerikan yang hingga kini tidak pernah ia lupakan.
Ketika itu, ia dan seorang rekannya sedang bertugas di sebuah pos jalan. Mereka
asyik ngobrol. Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras.
Mereka mengedarkan pandangan. Terlihat oleh mereka sebuah mobil bertabrakan
dengan mobil lain yang meluncur dari arah yang berlawanan. Keduanya segera
berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban. Kejadian itu sangatlah
tragis. Dua awak salah satu mobil dalam kondisi kritis. Dengan susah payah,
kedua korban tersebut berhasil di keluarkan dari mobil untuk kemudian
dibaringkan di pinggir jalan. Roynan dan rekannya cepat-cepat menuju mobil yang
satunya lagi. Ternyata, pengemudinya telah tewas dengan sangat mengerikan.
Mereka kembali lagi
kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma. Temannya menuntun mereka
mengucapkan kalimat syahadat. Ucapkanlah, “Lâ ilâha illallâh … Lâ ilâha
illallâh…! perintah temannya.
Namun, sungguh
mengerikan, dari mulut si korban malah terucap bait-bait lagu. Keadaan itu membuat Roynan merinding. Tampaknya, rekan Roynan sudah biasa
menghadapi orang-orang yang sekarat, ia kembali ia menuntun korban itu membaca
syahadat.
Roynan diam membisu.
Seumur hidupnya, ia belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi
dengan kondisi seperti itu. Adapun temannya terus menuntun kedua korban
tersebut dengan mengulang-ulang bacaan syahadat.
Namun sayang, keduanya
terus saja melantunkan lagu. Tak ada gunanya! Suara lagunya terdengar semakin
melemah! Lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul
orang kedua. Tak ada gerak ... keduanya meninggal dunia. Sampai akhirnya mereka
segera membawa jenazah ke dalam mobil. Temannya menunduk, ia tak berbicara
sepatah pun.
Selama di perjalanan
yang ada hanyalah kebisuan. Hening dan sepi. Kesunyian pecah ketika rekannya
itu angkat bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan su’ul khatimah (kesudahan
yang buruk). “Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk.
Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di
dunia,” ujarnya.
Ia bercerita panjang
lebar tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku Islam yang
pernah dibacanya. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri
hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
Perjalanan ke rumah
sakit terasa singkat oleh pembicaraan mereka tentang kematian. Pembicaraan itu
makin sempurna gambarannya karena mereka sedang membawa mayat. Tiba-tiba Roynan
menjadi takut mati. Peristiwa ini benar-benar memberi pelajaran berharga
baginya. Hari itu, ia bisa shalat dengan khusyuk.
Setelah sekian lama,
Roynan perlahan-lahan mulai melupakan peristiwa itu. Ia kembali pada kebiasaan
lamanya di tempat kerja. Sepertinya, ia tidak pernah menyaksikan apa yang
menimpa dua orang yang mati di jalan raya beberapa waktu lalu. Walau demikian,
sejak melihat peristiwa itu, Roynan menjadi tidak suka pada yang namanya
lagu-lagu. Mungkin ia trauma mendengar lagu-lagu yang diucapkan oleh orang yang
tengah sekarat.
Selang enam bulan
kemudian, sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mata Roynan. Ada
seorang lelaki mengendarai mobilnya dengan pelan. Tiba-tiba mobilnya mogok di
sebuah terowongan menuju kota. Lelaki ini pun turun dari mobilnya untuk
mengganti ban yang kempes. Ketika ia berdiri di belakang mobil untuk menurunkan
ban serep, tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah
belakang. Lelaki ini pun langsung tersungkur seketika.
Roynan dengan seorang
kawannya, dan bukan orang yang menemaninya pada peristiwa pertama, cepat-cepat
menuju tempat kejadian.
Mereka berusaha
membawa korban ke rumah sakit dengan mobil agar bisa langsung mendapat
penanganan. Korban tersebut masihlah sangat muda belia, wajahnya sangat bersih.
Ketika mengangkatnya ke mobil, keduanya merasa panik sehingga tidak sempat
memperhatikan kalau pemuda itu menggumamkan sesuatu. Ketika korban dibaringkan
di dalam mobil, Roynan dan kawannya baru bisa membedakan suara yang keluar dari
mulut si pemuda.
Sang korban
melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan suara amat lemah. Padahal,
kondisinya sangat memprihatinkan, darah segar mengguyur seluruh pakaiannya,
tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati. Dalam kondisi seperti itu, ia
terus melantunkan ayat-ayat Al-Quran dengan suaranya yang merdu.
Selama ini, Roynan
tak pernah mendengar bacaan Al-Quran seindah itu, apalagi dari seseorang yang
tengah sekarat. Dalam batin Roynan bergumam sendirian. Roynan akan menuntunnya
membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temannya terdahulu. Ia pun
berusaha meyakinkan dirinya. Namun, Roynan dan kawannya seperti terhipnotis
mendengarkan suara bacaan Al-Quran yang merdu itu. Sekujur
tubuh Roynan bergetar menjalar dan menyelusup ke setiap rongga tubuhnya
sehingga tanpa ia sadari matanya leleh dengan air mata.
Namun tiba-tiba,
suara itu terhenti. Roynan pun terhentak dan menoleh ke belakang. Ia sangat
kaget, ia menyaksikan korban tersebut mengacungkan jari telunjuknya lalu
bersyahadat. Kepala korban terkulai, Roynan melompat ke belakang dan langsung
memegang tangannya, degup jantungnya, nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia
telah meninggal. Roynan lalu memandanginya lekat-lekat. Air mata Roynan semakin
menetes. Ia berusaha untuk menyembunyikan tangisnya karena takut diketahui oleh
kawannya. Kemudian, dengan terisak ia pun berkata kepada kawannya kalau pemuda
itu telah meninggal. Kawannya tak kuasa menahan tangis sehingga keduanya pun
larut dalam tangis dan kesedihan yang luar biasa.
Sampai di rumah
sakit, kepada orang-orang di sana, mereka mengabarkan perihal kematian pemuda
itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak orang yang
terpengaruh dengan kisah mereka sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata.
Salah seorang dari mereka, ketika mendengar kisahnya, segera menghampiri
jenazah dan mencium keningnya. Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak
beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka
ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah.
Salah seorang petugas
rumah sakit menghubungi rumah almarhum. Mereka ikut mengantar jenazah hingga ke rumah keluarganya. Seorang saudaranya mengisahkan
kalau almarhum hendak menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia
lakukan setiap hari Senin. Di sana, almarhum juga menyantuni para janda, anak
yatim dan orang-orang miskin.
Memang, ketika
diperiksa, mobil anak muda tersebut dipenuhi dengan beras, gula, buah-buahan
dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Di dalam mobilnya juga terdapat
buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan
kepada orang-orang yang dia santuni. Bahkan, ia pun membawa permen untuk
dibagikan kepada anak-anak kecil.
Mendengar cerita itu,
Roynan serasa disamber petir, kembali ia teringat pesan-pesan yang sering
dilantunkan oleh kedua orang tuannya saat ia kecil, ayahnya yang tidak
bosan-bosan memberikan pemahaman kepadanya kalau nanti dewasa ia agar bisa
senantiasa berbuat baik kepada sesama manusia, supaya senantiasa menjaga tali
persaudaraan (silaturahim) dengan keluarga, senantiasa menyayangi fakir dan
miskin, menyayangi yatim piatu, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Namun itu semua
hanya sebatas angin lewat. Setelah dewasa dan bekerja, ia lupa semua wejangan
tersebut.
Setelah proses
pengurusan di rumah sakit selesai dan keluarga dari korban pun telah
berdatangan, ada yang mengurus administrasi agar jenazah korban dibawa pulang
dan diurus pemakamannya, Roynan beserta temannya pun pamit undur diri dari
rumah sakit. di dalam perjalanan pulang mereka hening dan tidak bergumam.
Keduanya masih terpana menyaksikan kejadian yang sangat luar biasa yang baru
saja berlangsung. Roynan hanya berkata kepada temannya kalau bisa kita bisa
mengikuti apa yang dilakukan pemuda itu yang kemudian kawannya pun cuma
menggangguk mengiyakan. Mereka pun berpisah untuk pulang ke tempatnya
masing-masing.
Peristiwa itu telah
membawa hidayah bagi Roynan. Dia bertekad untuk kembali menjalankan segala
nasihat-nasihat yang dulu pernah disampaikan oleh kedua orang tuanya ketika ia
kecil. Kebiasaan-kebiasaan baik yang selama ini ia tinggalkan pun kembali ia
jalankan dan amalkan kembali. Tidak hanya ibadah-ibadah wajib, ia pun berusaha
untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah dan berbagi dengan sesama.
Kisah berikutnya
adalah tentang seorang nenek yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mendidik
lima belas keponakannya. Nenek Jubaedah, demikian namanya, adalah seorang
wanita tua yang telah berusia lebih sepuluh windu. Pasa saat terakhir hidupnya,
ia menderita sakit yang menyebabkannya harus dirawat di sebuah rumah sakit.
Mengingat usia nenek Jubaedah yang telah lanjut, dokter memberikan penjelasan
yang rasional kepada keluarga nenek mengenai tipisnya peluang beliau untuk
bertahan. Pada dasarnya, keluarga besar nenek Jubaedah sudah ikhlas dan
merelakan nenek untuk kembali ke rahmatullah. Sebab selain usianya yang telah
sangat lanjut, sekitar 40 tahun yang lalu nenek sudah pernah terkena serangan
penyakit berat (Hepatitis B) dan sudah diduga penyakitnya tersebut akan
berkembang secara kronis. Di luar dugaan, Nenek Jubaedah mampu bertahan sampai
ke usia yang sedemikian lanjut.
Setelah dua hari
dirawat di rumah sakit karena pendarahan saluran cerna bagian atas, kesadaran
nenek Jubaedah pun semakin menurun. Pada saat-saat terakhirnya, dokter datang
dan melakukan pemeriksaan. Karena kondisi nenek sudah sedemikian kritis, maka
dokter memutuskan untuk mendampingi nenek sampai detik-detik terakhir
kehidupannya. Bergantian keluarga membimbing nenek bertalqin.
Setelah berlangsung
beberapa saat, Pak Dokter menyampaikan pada keluarga bahwa nenek telah
berpulang, denyut nadinya sudah tak teraba lagi dan juga hembusan napasnya
sudah total berhenti. Serentak semua anggota keluarga berucap “Innalillâhi wa
innaillaihi râji’ûn .…” Sebagian keluarga yang sangat dekat secara emosional
dengan nenek menangis tersedu. Sebagian lainnya larut dalam berjuta kenangan
indah bersama nenek. Namun, tiba-tiba nenek terbangun, membuka mata, dan
mengucapkan dengan lafal yang sangat jelas, “La illâha illallâh!” Seluruh
keluarga, dokter, dan perawat yang hadir di ruangan itu sontak terkejut dan
terdiam. Seusai mengucapkan kalimat suci tersebut, tubuh nenek kembali terkulai
dan menutup mata untuk selama-lamanya.
Peristiwa ini sangat
membekas di benak semua orang yang hadir. Namun, sebagian besar memaklumi
mengapa peristiwa yang sangat hebat itu bisa terjadi. Sangat wajar apabila
nenek Jubaedah meninggal dalam keadaan khusnul khatimah, mengingat sepanjang
hidup, ia mendedikasikan umurnya hanya untuk kebaikan. Sejak gadis, Nenek
Jubaedah tidak pernah menikah dan berkeluarga. Ia tinggal dan ikut bersama
kakaknya yang telah menikah dan bersuamikan seorang insinyur. Dalam keluarga
muda ini, nenek Jubaedah bertugas mengasuh dan mendidik keponakan-keponakannya.
Tidak tanggung-tanggung keponakannya itu berjumlah 15 orang. Karena sudah larut
dalam keasyikan mengasuh dan mendidik, nenek Jubaedah memutuskan untuk tidak
berkeluarga. Ketika kakaknya dan kakak iparnya telah meninggal dunia, jadilah
nenek Jubaedah sebagai orangtua tunggal bagi ke-15 kemenakannya tersebut.
Alhamdulillah, ke-15
orang anak asuhnya tersebut tumbuh menjadi orang-orang penting di Indonesia:
sepuluh orang merupakan alumnus ITB, satu orang lagi dokter lulusan Unair,
seorang insinyur peternakan dari Unpad, seorang sarjana sospol dari Unpad, dan
si bungsu studi di Fakultas Psikologi. Saat berkarier dan membina hidup
anak-anak asuhnya ini menjadi orang yang insya Allah saleh dan salehah, setelah
sukses mereka banyak menyantuni kaum dhuafa dan anak yatim piatu.
Rasa persaudaraan
antara mereka pun sangat kuat. Jika satu berhaji, saudara lainnya yang belum
mampu pun akan ia hajikan bersama. Dua orang di antara mereka menjadi wakil
menteri, selebihnya memiliki prestasi dalam bidangnya masing-masing. Yang
jelas, bukanlah masalah pangkat dan jabatan atau kedudukan, melainkan kesalehan
sosial mereka yang sangat menonjol dan luar biasa. Nenek Jubaedah yang
menghabiskan waktunya untuk mendidik orang-orang yang luar biasa ini, pada
akhirnya meninggal dengan hanya menempatkan asma Allah Swt. sebagai
satu-satunya bekal untuk kelak dihisab nanti. Ruang hatinya yang selama ini
penuh dengan kelembutan dan kehangatan kasih sayang, kini menjelma menjadi
ruang yang mampu menampung kebesaran asma Allah, Subhanallah!
Kematian adalah
sebuah kesimpulan. Seluruh hidup kita, berapa tahun pun kita hidup di dunia, seolah-olah disimpulkan pada detik-detik terakhir tersebut.
Sakaratul maut seolah menjadi rangkuman atau esensi dari seluruh isi buku
kehidupan yang kita tulisi. Maka, beruntunglah mereka yang meninggal dalam
keadaan terbaik, tenang, tenteram, damai, atau ketika iman sedang kuat-kuatnya.
Sebaliknya, rugilah mereka yang meninggal dalam keadaan terburuk, ketika hati
sedang lalai dan jauh dari Allah, ketika hubungan dengan manusia tengah berada
pada titik nadir. Dalam kisah tersebut, kita dapat menilai mana ”kematian yang
baik” dan mana ”kematian yang buruk”. Indikasinya terlihat dari ”the last words”
alias ”kata-kata terakhir” yang diucapkan si pelaku.
Sejatinya, sakaratul
maut menandai peristiwa sakitnya kematian. Sebelum nyawa tercerabut dati jasad,
manusia akan mengalami pedihnya proses sakaratul maut. Ketika itu, setelah
sekian lama bersama dalam suka dan duka, setiap anggota tubuhnya akan saling
mengucapkan selamat berpisah kepada satu sama lain. Rasulullah saw melukiskan
realitas tersebut, “Sesungguhnya, semua manusia pasti mengalami sakaratul maut,
dan sesungguhnya sendi-sendi tulangnya, masing-masing mengucapkan salam
perpisahan kepada yang lain seraya berkata, ’Semoga kamu sejahtera. Kamu
berpisah dariku, dan aku pun berpisah darimu sampai hari Kiamat’.”
Proses itu sungguh
menyakitkan dan suatu peristiwa yang sangat dahsyat. Lebih sakit dari pada
dipenggal dengan pedang, disayat dengan gergaji, atau dipotong dengan gunting.
Hal tersebut sangat bisa dimengerti, sebab sakitnya kematian mengaktifkan semua
saraf rasa sakit di dalam tubuh. Jangankan semua sebagian kecil saja terusik,
semisal kaki tertusuk duri, sakitnya sudah mengerikan, apalagi jika yang
ditusuk duri adalah semua bagian tubuh kita, dari yang terkecil hingga yang
terbesar. Yang jelas, Allah Swt telah mengingatkan, “Alangkah dahsyatnya
sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan
sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata),
’Keluarkanlah nyawamu’ ....” (QS Al-An’am, 6:93)
Itulah mengapa,
jangankan kita sebagai manusia biasa, para Nabi pun mengalami kejadian yang
sama saat nyawa mereka dicabut. Allah Swt bertanya kepada Nabi Ibrahim,
bagaimanakah rasanya kematian? Ibrahim Khalilullâh pun menjawab, “Bagaikan
batang besi pemanggang daging yang dipanaskan, dimasukan ke dalam wol basah,
lalu ditarik dengan keras.” Allah Swt berfirman, “Padahal sungguh, Kami telah
meringankannya untukmu, wahai Ibrahim,” Begitu pula ketika ruh Nabi Musa
ditanya tentang rasanya kematian? Dia menjawab, ”Kurasakan diriku seperti
seekor burung kecil yang digoreng hidup-hidup di wajan. Tidak mati, maka akhirnya
bisa tenang, dan tidak pula selamat, maka akhirnya bisa terbang.” Dalam riwayat
lain, Nabi Musa berkata, “Kurasakan diriku seperti seekor kambing yang dikuliti
hidup-hidup oleh tukang jagal.”
Dalam sebuah hadis,
Rasulullah saw bersabda ketika seorang sahabat bertanya perihal kematian yang
paling mudah, “Kematian yang paling mudah,” kata Nabi, “adalah serupa dengan
sebatang pohon duri yang menancap pada selembar kain sutra. Apakah batang pohon
duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutra yang terkoyak?”
(HR Abid Dunya)
Gambaran akan
sakitnya rasa sakit, sebagaimana disebutkan dalam keterangan di atas,
tanda-tandanya boleh jadi pernah kita saksikan dalam kadar sebagai pengamat
bukan sebagai pelaku. Seorang kawan pernah bercerita tentang proses sakaratul
maut salah satu tetangganya. Kata dia, tetangganya itu memiliki tabiat buruk,
sering menyakiti orang lain, tidak baik dengan tetangga, bahkan dengan
anak-anak dan istrinya. Beberapa minggu sebelum kematiannya, ia sempat mengusir
adik iparnya yang tengah sakit hanya karena ikut menumpang di rumahnya selama
beberapa hari. Menjelang kematiannya, seminggu lamanya ia mengalami sakaratul
maut yang mengerikan, muntah darah, kejang-kejang, mata terbelalak,
menjerit-jerit, napasnya berat seakan nyawa sudah di tenggorokan. Akan tetapi,
ia tidak kunjung meninggal hingga satu minggu kemudian.
Walau menyakitkan,
dalam banyak kasus, ditemukan pula orang-orang yang proses sakaratul mautnya
terlihat sangat mudah, tenang, seakan tidak merasa sakit, seperti hendak pergi
tidur saja layaknya. Jika tetangga kawan saya harus melewati sakaratul maut
dengan kondisi yang menyedihkan dan menakutkan, lain lagi cerita tetangga saya
yang satu lagi. Ia adalah seorang bapak yang sangat perhatian kepada keluarganya,
ahli shalat, gemar menolong orang, pemakmur masjid, baik kepada tetangga, dan
sederet sikap-sikap positif lainnya. Ia meninggal persis setelah menunaikan
shalat. Kata istrinya, sebelum meninggal, bapak ini sehat-sehat saja, tidak
mengidap penyakit jantung, ataupun penyakit lainnya, sehingga aneh juga kalau
ia mati mendadak. Yang jelas, proses sakaratul mautnya sangat cepat, mudah, dan
damai, seperti orang yang tidur dalam keadaan bahagia. Ada juga seorang guru
yang sangat saleh, sebelum meninggal ia sempat sakit selama 2-3 hari. Menjelang
saat-saat terakhir kematiannya, ia masih sempat bangun dari tidurnya untuk
menunaikan shalat Isya, berzikir, dan berdoa. Setelah itu, ia menghampiri
bagian depan rumahnya, membuka-buka gorden kaca depan dan pintu. Saat ditanya
istrinya, ia menjawab kalau ada dua orang tamu yang hendak datang ke rumah
malam itu, dan keduanya sudah datang. Namun, si istri tidak melihat ataupun
mendengar adanya tamu yang datang. Dia pun menyuruh sang suami untuk kembali ke
tempat tidur. Dua jam kemudian, sang suami itu meninggal dengan tenang dan
mudah. Kedua tamu tersebut, boleh jadi malaikat yang hendak menjemputnya.
Karena kesalehannya, Allah Swt telah memberikan tanda-tanda gaib kepada orang
tersebut.
Bagaimana menjelaskan
fenomena ini? Pada satu sisi disebutkan bahwa kematian itu adalah peristiwa
yang teramat berat dan menyakitkan sehingga tidak seorang pun sanggup
menghadapinya. Namun, pada sisi lain, di samping ada orang-orang yang proses
sakaratul mautnya sangat memilukan, ada pula orang-orang tertentu yang
kematiannya begitu mudah seakan tidak merasakan apa-apa, bahkan seulas senyum
tersungging dari bibir mereka. Mereka pun sempat shalat, memberi wasiat, dan
melakukan amal saleh lainnya. Apakah kematian hanya dirasakan sakit oleh
sebagian orang dan tidak dirasakan sakit oleh sebagian lainnya?
Proses kematian itu,
baik mendadak ataupun perlahan-lahan, sebagaimana diungkapkan dalam banyak
riwayat, semuanya melalui ambang batas rasa sakit yang teramat tinggi.
Intensitas sakit yang dirasakannya sama, yang membedakannya adalah faktor
durasi, ada yang pendek dan ada yang panjang. Dengan demikian, kita dapat
berkata bahwa tidak ada orang yang meninggal yang tidak merasakan sakit.
Ketika seseorang
meninggal, setidaknya ada dua persyaratan yang harus terpenuhi. Pertama,
kematian itu disebabkan oleh kerusakan sebagian atau keseluruhan organ tubuh
yang mengakibatkan tidak berfungsinya batang otak. Kedua, kematian disebabkan
karena tubuh—secara fisik atau biologis—tidak mampu lagi untuk mengakomodasi
kehadiran ruh. Hipotesisnya dapat kita lihat dari alam rahim, mengapa seorang
janin itu sudah ditiupkan ruh kepadanya, sehingga jantung berdetak, bernapasan
berfungsi, tidak pada hari pertama pembuahan? Hari pertama itu adalah kehidupan
vegetatif di antara dua sel benih pria dan wanita, akan tetapi belum menjadi
kehidupan yang sesungguhnya, baru kehidupan tingkat sel saja. Setelah ada
persyaratan yang terpenuhi, di mana jumlah selnya memadai, barulah kemudian
dapat mengembangkan fungsi-fungsi yang lebih itu. Inilah yang kemudian disebut
kehidupan. Ketika jantung mulai berdenyut, sekitar minggu ke-8, pada saat
itulah seorang calon manusia sudah memiliki kemampuan untuk menerima kehadiran
ruh yang memiliki kemampuan metakognitif yang lebih tinggi yang akan mengatur
seluruh kehidupan kita
Ketika organ tubuh
sudah berkurang dari ambang batas mampu bekerja secara optimal, misalnya
kerusakan organ ginjal atau ginjal kiri dan kanan kita sudah 90 persen, tubuh
pun kita akan mengeluarkan respons peradangan yang sistemik dan menyeluruh,
kemudian menghasilkan kematian jaringan yang meluas. Hal ini kemudian
merangsang dan menimbulkan timbulnya zat kimia dari derivat (turunan) zat asam
arakidonat (metanol arakidonat) yang menimbulkan kesakitan. Contoh ringannya
ketika kita jatuh dari tangga dan kemudian kaki kita lebam, saat itulah asam
arakidonat akan bekerja, dan rasa sakitnya akan terasa ke mana-mana. Dapat
dibayangkan jika 90 persen tubuh kita mengalami luka seperti kaki yang memar
ketika jatuh tersebut. Maka, suatu kematian yang melalui syarat 90 persen
anggota tubuh tidak lagi mampu mengakomodasi hadirnya ruh sehingga sudah dapat
ditebak bagaimana rasa sakit yang akan dirasakan. Rasa sakitnya sudah di luar
ambang batas!
Walaupun demikian,
kita pun harus meyakini bahwa Allah Mahakuasa untuk meringankan rasa sakit pada
saat kematian asalkan kita layak untuk mendapatkan keringanan dari-Nya. Seorang
ulama mengatakan bahwa sakaratul maut itu aslinya adalah sakit. Namun ada
faktor-faktor ekstern alias faktor luar yang bisa meringankan atau sebaliknya
semakin memperberat rasa sakit tersebut. Amal kebajikan itu akan mampu
meringankan beratnya sakaratul maut, sedangkan kemaksiatan akan semakin
memperberat rasa sakitnya. Diiris dengan pisau itu sakit, akan tetapi tidak
akan terasa sakit apabila dibius terlebih dahulu. Dicabut gigi pun tidak kalah
menyakitkan, akan tetapi menjadi tidak terasa sakitnya apabila “disuntik kebal”
dulu sebelumnya. Sebaliknya, akan semakin pedih dan menyakitkan apabila luka
irisan atau robekan akibat gigi yang tanggal tersebut dikucuri cuka atau
alkohol. Kita berharap kematian seperti inilah yang kita harapkan.
Pertanyaan
selanjutnya adalah, mengapa ada orang yang dalam kondisi sakit yang berat
seperti itu mampu dengan tulus mengucapkan kalimat thayyibah atau ucapan
lain—di rumah sakit misalnya banyak pasien yang mengatakan ”dokter bodoh”
karena ia menganggap dokter yang merawatnya tidak kompeten. Mengapa? Yang
namanya memori dalam pikiran manusia itu memiliki hierarki; hierarki of memory.
Jadi, memori yang mendasari dan menjadi cerminan dari kesejatian diri kita
itulah yang paling akan dipertahankan oleh otak. Memori terdalam manusia dalam
perilaku biologis adalah perilaku mempertahankan kehidupan dengan cara mencari
makan untuk menghindari kematian. Akan tetapi, dalam peta kognitif yang menjadi
memori terdalam biasanya adalah cita-cita, harapan, tujuan yang menjadi
orientasi dan yang mendasari semua aktivitas dalam kehidupan. Jadi, kalau
seandainya seorang pasien yang kata-kata terakhirnya adalah ”dokter bodoh”,
hakikatnya itu adalah ekspresi kemarahan karena yang paling berharga bagi
dirinya adalah kehidupan. Ketika ia merasa kalau dokternya tidak bisa
menolongnya untuk menghindari kematian, dia merasa hidupnya terancam sehingga
yang bersangkutan akan melontarkan kemarahannya itu. Hal ini mengindikasikan
bahwa orang yang bersangkutan terlalu mencintai kehidupan dan hidupnya
didominasi oleh kebencian. Kalau yang dikatakannya adalah wanita-wanita
simpanannya, sesuatu yang paling dan teramat dicintainya di dunia ini bukan
Allah, akan tetapi wanita-wanita simpanannya itu.
Semua itu
sesungguhnya tersimpan di amigdala. Kalau di amigdalanya seseorang itu anti
sosial, ketika sakaratul mautnya pun yang keluar adalah kemarahan dan caci
maki. Ketika yang ada adalah cinta, akan tetapi cintanya tidak terarah, maka
yang disebut adalah istri-istri simpanannya. Ketika kita sudah bisa mengarahkan
bahwa hidup kita semata-mata untuk ibadah, otomatis yang keluar adalah Allah.
Karena amigdala letaknya paling dalam dan paling tersembunyi, ia pun tidak bisa
dimanipulasi sebagaimana bagian-bagian yang lain.
Ada ungkapan
menggelitik dari seorang Emha Ainun Nadjib tentang peristiwa sakaratul maut. Ia
mengatakan, ”Apa yang mengendap di bawah sadar manusia adalah apa yang ia
intensifi dalam hidupnya. Yang muncul di mulut mereka ketika tak sadar itu
bukanlah ilmu pengetahuan atau apa saja yang bisa dikendalikan atau dirancang
oleh ’perintah otak atau kehendak’ melainkan hakikat hidup. Hakikat hidup
bukanlah apa yang kita ketahui, bukanlah buku-buku yang kita baca atau
kalimat-kalimat yang kita pidatokan, melainkan apa yang kita kerjakan, apa yang
paling mengakar di hati, jiwa, dan inti kehidupan kita! ... Seluruh hakikat
hidup kita mengemukakan dirinya secara jujur, tak bisa kita rencanakan, tak
bisa kita politisasi dan kita manipulasi!" (EMSOE ABDURRAHMAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar