Cinta bukanlah sesuatu yang statis, cinta itu
dinamis, penuh vitalitas
dan energi, sehingga mampu membangkitkan kekuatan
tersembunyi
dalam diri sampai dahaga cinta itu terpuaskan.
Seorang Arab Badui
menyeruak ke tengah-tengah jamaah shalat untuk mendekati Rasulullah saw. Ketika
sudah dekat, dan Rasul sudah siap menunaikan shalat, orang itu bertanya, “Kapankah
kiamat terjadi?” Nabi tidak menjawab, karena shalat sudah hampir ditunaikan.
Ucapan
takbir terucap dari mulut Rasulullah yang mulia, ayat demi ayat Al-Quran beliau
senandungkan, begitu khidmat, khusyuk dan penuh penghayatan. Tetes-tetes air
mata berjatuhan dari pelupuk mata yang jernih. Para sahabat pun tenggelam dalam
limpahan kasih sayang Ilahi.
Ketika
shalat telah selesai dilaksanakan, dengan lembut penuh wibawa, Rasulullah saw.
bersabda, “Mana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat?” Orang itu
segera menjawab, “Saya, wahai Rasulullah”. Nabi balik bertanya, “Apa yang
telah engkau persiapkan untuk menyambut datangnya kiamat?”
Sejenak,
majelis itu diliputi suasana hening, sampai orang itu berucap, “Saya tidak
mempersiapkan amal yang banyak. Saya hanya mencintai Allah dan Rasul-Nya”.
Seiring tersunggingnya senyuman, Nabi yang mulia menjawab, “Engkau akan bersama
dengan orang yang kau cintai”.
Sungguh
luar biasa ungkapan Rasulullah saw. ini, begitu dalam dan penuh makna, hingga menggugah
kepenasaran para sahabat untuk ikut bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ucapan
itu hanya berlaku untuk dia saja?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidak,
ucapanku ini berlaku pula untuk kalian dan orang-orang sesudah kalian”. Kegembiraan
segera menyelimuti relung sanubari orang-orang yang hadir di majelis itu,
hingga Anas bin Malik berujar, “Aku belum pernah melihat kaum Muslimin begitu
berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu, seperti bahagianya mereka ketika
mendengar sabda Nabi saw. tersebut”.
– —
Simpulannya, betapa
besar konsekuensi cinta. Orang Arab Badui itu bukanlah siapa-siapa, namun kecintaannya
kepada Allah dan Rasulullah membuat ia mendapat penghormatan begitu tinggi.
Tidak tanggung-tanggung, Rasulullah saw. sendiri menjanjikan kebersamaan dengan
dirinya di surga kelak. Padahal, boleh jadi, ibadah orang ini tidak sehebat
para sahabat lain. Seperti itulah cinta, ia bisa membuat sesuatu yang tidak
mungkin menjadi mungkin, membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, dan
membuat sesuatu yang hampa menjadi penuh makna.
Sejatinya,
cinta bukan sekadar kata sifat, namun juga kata kerja. Cinta itu tidak statis,
cinta itu dinamis, penuh vitalitas dan energi yang mampu membangkitkan
kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam diri sampai akhirnya dahaga cinta itu terpuaskan.
Apa yang dikatakan Arab Badui tadi bukanlah suatu yang sederhana. Dalam
kata-kata yang ia ungkapkan tersimpan sebuah komitmen, keyakinan dan janji
setia yang sarat makna. Itulah sebabnya Rasulullah saw. berani menjanjikan
pahala yang menggiurkan kepadanya.
Sekali
lagi, cinta menimbulkan serangkaian konsekuensi. Ketika seseorang telah
menyatakan cinta dan berkomitmen dengan cinta, maka segala tingkah lakunya akan
berjalan di jalur cinta tersebut. Jika cinta itu ditunjukkan kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka segala tingkah lakunya akan diselaraskan dengan kehendak yang
dicintainya. Bukankah seorang pecinta akan berusaha untuk menghadirkan kesamaan
dengan yang dicintainya, sehingga yang dicintai itu menjadi ridha kepadanya?
– —
Cinta adalah sebentuk nikmat
agung yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan anugerah cinta itulah hidup
manusia jadi lebih bermakna (QS Ali Imran [3]: 14). Dengan anugerah cinta,
manusia akan mampu menjalankan perannya sebagai wakil Allah di muka bumi,
sebagai pendakwah sekaligus sebagai hamba Allah. Dengan anugerah cinta pula,
setiap rintangan untuk bertemu sang kekasih akan dihadapi dengan lapang dada,
bahkan senyuman yang mengembang.
Lalu,
apakah cinta itu? Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan, “Tidak ada batasan
cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri. Membatasinya hanya akan
menambah kabur dan kering maknanya. Maka, batasan dan penjelasan cinta tersebut
tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu
sendiri. Walau demikian, sesuatu yang sulit dimaknai bukan berarti tidak bisa
dimaknai. Di antara makna cinta adalah kecenderungan seluruh hati yang
terus-menerus (kepada yang dicintai). Bisa pula kesediaan hati menerima segala
keinginan yang dicintainya. Atau kecenderungan hati untuk lebih mengutamakan
yang dicintai daripada diri dan harta sendiri.
Kita coba analisis ungkapan cinta Arab Badui tadi dari sudut pandang Erich
Fromm, seorang psikolog kenamaan berkebangsaan Jerman. Dalam bukunya The
Art of Love, Erich Fromm menyebutkan empat unsur yang hadir dalam cinta,
yaitu:
1. Care
(Perhatian)
Cinta harus
melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Ketika kita mencintai seseorang,
maka kita akan memerhatikan kesulitan yang dihadapinya, akan berusaha
meringankan bebannya, dan memberikan perhatian yang tinggi atas setiap gerak
geriknya. Begitu pula ketika kita mencintai Allah dan Rasul-Nya, kita akan berusaha
memberikan perhatian lebih kepada semua hal yang diridhai dan yang dimurkai
Allah dengan merujuk perilaku utusan-Nya, yaitu Rasulullah saw. Oleh karena itu, seorang hamba beriman sulit untuk melalaikan
kewajibannya kepada Allah dan Rasulullah.
2. Responsibility (Tanggung Jawab)
Cinta harus melahirkan sikap bertanggung jawab terhadap objek yang
dicintai. Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami yang mencintai isterinya,
akan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya.
Karyawan yang mencintai perusahaannya, akan bertanggung jawab dan
mendedikasikan waktu, tenaga, dan pemikirannya demi kemajuan perusahaannya. Sama
halnya dengan orang yang mencintai Tuhan dan Rasul-Nya, ia pun akan bertanggung
jawab dan mendedikasikan segenap potensi dirinya untuk “membahagiakan” objek
yang dicintainya. Itulah responsibility.
3. Respect (Hormat)
Cinta harus melahirkan sikap menerima apa adanya objek yang dicintai dan
selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Inilah yang disebut respect.
Dalam konteks hubungan dengan Allah dan Rasulullah, rasa hormat kita tercermin
dari prinsip sami’na wa attha’na, mendengar dan taat. Jika itu disukai
Allah dan dicontohkan Rasulullah, maka ia akan sekuat tenaga melaksanakannya,
karena ia yakin bahwa semua yang Allah perintahkan pasti baik untuk diri dan
masa depannya.
4. Knowledge (Pengetahuan)
Cinta harus melahirkan minat untuk memahami seluk beluk objek yang
dicintai. Ketika kita mencintai seorang yang akan menjadi teman hidup, kita akan
berusaha memahami kepribadian, latar belakang, keluarga, minat, dan kualitas
keimanannya. Ketika kita mencintai Allah dan Rasulullah, maka kita pun akan
berusaha mencari tahu siapa Allah dan Rasulullah itu. Kita akan bersemangat
membaca, mendengar, menelaah, dan bertanya tentang Dzat Allah dan pribadi
Muhammad saw. Tentu tidak sekadar untuk tahu saja, tapi juga paham sehingga
berbuah ketaatan.
Empat komponen cinta inilah yang senantiasa terpatri di hati para sahabat.
Efek yang ditimbulkannya begitu dahsyat. Kecintaan kepada Allah dan Rasulullah mampu
melahirkan perubahan drastis dalam hidup mereka, dari kegelapan menuju cahaya, dari
kebencian menuju kasih sayang, dari kejahilan menuju hidayah, dan dari
kemunduran menuju kemajuan. Semoga kita mampu meneladani mereka. (EMSOE ABDURRAHMAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar