Sabtu, 14 Januari 2012

BERAWAL DARI CINTA


Cinta bukanlah sesuatu yang statis, cinta itu dinamis, penuh vitalitas
dan energi, sehingga mampu membangkitkan kekuatan tersembunyi
dalam diri sampai dahaga cinta itu terpuaskan.

Seorang Arab Badui menyeruak ke tengah-tengah jamaah shalat untuk mendekati Rasulullah saw. Ketika sudah dekat, dan Rasul sudah siap menunaikan shalat, orang itu bertanya, “Kapankah kiamat terjadi?” Nabi tidak menjawab, karena shalat sudah hampir ditunaikan.
Ucapan takbir terucap dari mulut Rasulullah yang mulia, ayat demi ayat Al-Quran beliau senandungkan, begitu khidmat, khusyuk dan penuh penghayatan. Tetes-tetes air mata berjatuhan dari pelupuk mata yang jernih. Para sahabat pun tenggelam dalam limpahan kasih sayang Ilahi.
Ketika shalat telah selesai dilaksanakan, dengan lembut penuh wibawa, Rasulullah saw. bersabda, “Mana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat?” Orang itu segera menjawab, “Saya, wahai Rasulullah”. Nabi balik bertanya, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut datangnya kiamat?”
Sejenak, majelis itu diliputi suasana hening, sampai orang itu berucap, “Saya tidak mempersiapkan amal yang banyak. Saya hanya mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Seiring tersunggingnya senyuman, Nabi yang mulia menjawab, “Engkau akan bersama dengan orang yang kau cintai”.  
Sungguh luar biasa ungkapan Rasulullah saw. ini, begitu dalam dan penuh makna, hingga menggugah kepenasaran para sahabat untuk ikut bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ucapan itu hanya berlaku untuk dia saja?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidak, ucapanku ini berlaku pula untuk kalian dan orang-orang sesudah kalian”. Kegembiraan segera menyelimuti relung sanubari orang-orang yang hadir di majelis itu, hingga Anas bin Malik berujar, “Aku belum pernah melihat kaum Muslimin begitu berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu, seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi saw. tersebut”.

 

Simpulannya, betapa besar konsekuensi cinta. Orang Arab Badui itu bukanlah siapa-siapa, namun kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah membuat ia mendapat penghormatan begitu tinggi. Tidak tanggung-tanggung, Rasulullah saw. sendiri menjanjikan kebersamaan dengan dirinya di surga kelak. Padahal, boleh jadi, ibadah orang ini tidak sehebat para sahabat lain. Seperti itulah cinta, ia bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, dan membuat sesuatu yang hampa menjadi penuh makna.
Sejatinya, cinta bukan sekadar kata sifat, namun juga kata kerja. Cinta itu tidak statis, cinta itu dinamis, penuh vitalitas dan energi yang mampu membangkitkan kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam diri sampai akhirnya dahaga cinta itu terpuaskan. Apa yang dikatakan Arab Badui tadi bukanlah suatu yang sederhana. Dalam kata-kata yang ia ungkapkan tersimpan sebuah komitmen, keyakinan dan janji setia yang sarat makna. Itulah sebabnya Rasulullah saw. berani menjanjikan pahala yang menggiurkan kepadanya.
Sekali lagi, cinta menimbulkan serangkaian konsekuensi. Ketika seseorang telah menyatakan cinta dan berkomitmen dengan cinta, maka segala tingkah lakunya akan berjalan di jalur cinta tersebut. Jika cinta itu ditunjukkan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka segala tingkah lakunya akan diselaraskan dengan kehendak yang dicintainya. Bukankah seorang pecinta akan berusaha untuk menghadirkan kesamaan dengan yang dicintainya, sehingga yang dicintai itu menjadi ridha kepadanya?
 

Cinta adalah sebentuk nikmat agung yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan anugerah cinta itulah hidup manusia jadi lebih bermakna (QS Ali Imran [3]: 14). Dengan anugerah cinta, manusia akan mampu menjalankan perannya sebagai wakil Allah di muka bumi, sebagai pendakwah sekaligus sebagai hamba Allah. Dengan anugerah cinta pula, setiap rintangan untuk bertemu sang kekasih akan dihadapi dengan lapang dada, bahkan senyuman yang mengembang.
Lalu, apakah cinta itu? Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan, “Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri. Membatasinya hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka, batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Walau demikian, sesuatu yang sulit dimaknai bukan berarti tidak bisa dimaknai. Di antara makna cinta adalah kecenderungan seluruh hati yang terus-menerus (kepada yang dicintai). Bisa pula kesediaan hati menerima segala keinginan yang dicintainya. Atau kecenderungan hati untuk lebih mengutamakan yang dicintai daripada diri dan harta sendiri.
Kita coba analisis ungkapan cinta Arab Badui tadi dari sudut pandang Erich Fromm, seorang psikolog kenamaan berkebangsaan Jerman. Dalam bukunya The Art of Love, Erich Fromm menyebutkan empat unsur yang hadir dalam cinta, yaitu:
1. Care (Perhatian)
Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Ketika kita mencintai seseorang, maka kita akan memerhatikan kesulitan yang dihadapinya, akan berusaha meringankan bebannya, dan memberikan perhatian yang tinggi atas setiap gerak geriknya. Begitu pula ketika kita mencintai Allah dan Rasul-Nya, kita akan berusaha memberikan perhatian lebih kepada semua hal yang diridhai dan yang dimurkai Allah dengan merujuk perilaku utusan-Nya, yaitu Rasulullah saw. Oleh karena itu, seorang hamba beriman sulit untuk melalaikan kewajibannya kepada Allah dan Rasulullah.
2. Responsibility (Tanggung Jawab)
Cinta harus melahirkan sikap bertanggung jawab terhadap objek yang dicintai. Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami yang mencintai isterinya, akan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya. Karyawan yang mencintai perusahaannya, akan bertanggung jawab dan mendedikasikan waktu, tenaga, dan pemikirannya demi kemajuan perusahaannya. Sama halnya dengan orang yang mencintai Tuhan dan Rasul-Nya, ia pun akan bertanggung jawab dan mendedikasikan segenap potensi dirinya untuk “membahagiakan” objek yang dicintainya. Itulah responsibility.
3. Respect (Hormat)
Cinta harus melahirkan sikap menerima apa adanya objek yang dicintai dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Inilah yang disebut respect. Dalam konteks hubungan dengan Allah dan Rasulullah, rasa hormat kita tercermin dari prinsip sami’na wa attha’na, mendengar dan taat. Jika itu disukai Allah dan dicontohkan Rasulullah, maka ia akan sekuat tenaga melaksanakannya, karena ia yakin bahwa semua yang Allah perintahkan pasti baik untuk diri dan masa depannya.
4. Knowledge (Pengetahuan)
Cinta harus melahirkan minat untuk memahami seluk beluk objek yang dicintai. Ketika kita mencintai seorang yang akan menjadi teman hidup, kita akan berusaha memahami kepribadian, latar belakang, keluarga, minat, dan kualitas keimanannya. Ketika kita mencintai Allah dan Rasulullah, maka kita pun akan berusaha mencari tahu siapa Allah dan Rasulullah itu. Kita akan bersemangat membaca, mendengar, menelaah, dan bertanya tentang Dzat Allah dan pribadi Muhammad saw. Tentu tidak sekadar untuk tahu saja, tapi juga paham sehingga berbuah ketaatan.
Empat komponen cinta inilah yang senantiasa terpatri di hati para sahabat. Efek yang ditimbulkannya begitu dahsyat. Kecintaan kepada Allah dan Rasulullah mampu melahirkan perubahan drastis dalam hidup mereka, dari kegelapan menuju cahaya, dari kebencian menuju kasih sayang, dari kejahilan menuju hidayah, dan dari kemunduran menuju kemajuan. Semoga kita mampu meneladani mereka. (EMSOE ABDURRAHMAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar