Kamis, 12 Januari 2012

AMANGKURAT I: RAJA TIRAN DARI TANAH JAWA


Mataram adalah salah satu kerajaan besar yang pernah berdiri di tanah Jawa. Selain kehadirannya yang bertepatan dengan masa VOC, raja-raja yang memerintah Mataram pun terkenal ambisius dan haus kekuasaan.
Mataram berdiri akhir abad ke-15 lewat serangkaian suksesi berdarah, yang mewarnai pergeseran kekuasaan di Jawa pasca runtuhnya imperium Majapahit. Kerajaan baru itu hanya perlu enam dasawarsa untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang bertebaran di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur pasca berakhirnya imperium Majapahit. Penaklukan ini mewariskan ketegangan politik, ekonomi, dan budaya yang berlarut-larut sesudahnya.
Kesuksesan politik ekspansi Mataram mencapai puncak ketika Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646) memerintah. Dialah raja terbesar dinasti Mataram. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Mataram meliputi seluruh Jawa Madura (kecuali Batavia dan Banten) dan beberapa daerah di luar Jawa, seperti Palembang, Jambi, dan Banjarmasin. Selain dikenal sebagai raja yang sukses dan kreatif, Sultan Agung dikenal pula sebagai raja yang ambisius dan brutal tatkala menghadapi lawan-lawan politiknya.
Kisah Mataram yang paling menarik justru terjadi pada masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat I alias Sunan Tegalwangi (1645-1677), putra sekaligus pewaris tahta Sultan Agung. Masa pemerintahannya terkenal penuh intrik. Amangkurat I lebih banyak mewarisi kebrutalan saja, tanpa mewarisi kreativitas dan sukses ayahnya. Kalau Sultan Agung menaklukkan, membujuk dan melakukan manuver politik guna mencapai ambisinya, Amangkurat I hanya bisa menuntut dan membunuh. Ia tidak menghiraukan keseimbangan politik yang diperlukan untuk memimpin negeri penuh intrik seperti Mataram pada masa itu. Ia memusatkan kekuasaan hanya untuk memenuhi kepentingannya sendiri.
Menurut sejarawan Belanda, Prof. H.J. de Graaf, masa pemerintahan Amangkurat I adalah masa penuh teror. Raja tiran ini melumuri tangannya dengan darah ribuan ulama, saudara-saudaranya, pejabat bawahannya, bahkan istri-istri dan anak-anak. Tak heran bila kemudian muncul barisan sakit hati di kalangan pendukung kerajaan: para bangsawan istana, pembesar negara, bangsawan di daerah taklukan, serta kaum agamawan.
Senada dengan yang diungkapkan de Graaf, penulis Babad Tanah Djawi (kitab sejarah Kerajaan Mataram) mengungkapkan, “Pada zaman itu, semua yang diinginkan sang nata (raja) bertentangan dengan adat. Beliau sering menggunakan kekerasan terhadap orang lain dan sering menjatuhkan hukuman mati di depan umum. Para bupati, mantri, dan pangeran saling mencuri lungguh (tanah). Tata kerajaan semakin lama semakin hancur…”. Kejayaan Mataram yang susah payah dibangun Sultan Agung, diruntuhkan sendiri oleh anaknya yang tidak terkendali.

“KEBIJAKAN” SANG RAJA
Amangkurat I memperlihatkan perangai buruknya sejak awal pemerintahannya. Pada 1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, dia terlibat skandal yang melibatkan istri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Pada 1647 Amangkurat mengutus Wiraguna ke Ujung Timur untuk menghadapi pasukan Bali. Namun, belum sempat ia menunaikan tugasnya, orang-orang suruhan Amangkurat I membunuhnya di perjalanan. Sesudah itu, keluarga Wiraguna di Mataram, para pengikutnya, dan orang-orang yang terlibat skandal tahun 1637 ditumpas habis, termasuk saudaranya sendiri Pangeran Alit.
Sebelum terbunuh, Pangeran Alit sempat meminta perlindungan kepada para ulama. Akibatnya Amangkurat I berganti memusuhi para ulama. Amangkurat I mendaftar para ulama terkemuka beserta keluarga dan pengikutnya. Mereka kemudian dikumpulkan di halaman istana lalu dibantai. Menurut seorang pejabat VOC Rijklof van Goens, antara 5000 dan 6000 orang pria, wanita, dan anak-anak tewas dalam peristiwa itu.
Di antara orang terkemuka yang menjadi korban keberingasan raja adalah ayah mertuanya sendiri, Pangeran Pekik dari Surabaya yang dibantai bersama dengan sebagian besar anggota keluarganya pada 1659. Paman raja pun, yang merupakan saudara laki-laki Sultan Agung, Pangeran Purbaya, hampir saja dibunuh. Beruntung ibu suri kerajaan turun tangan untuk menyelamatkannya.
Terbunuhnya Pangeran Pekik mengakibatkan hubungan raja dengan putranya memburuk. Pangeran Pekik adalah kakek si putra mahkota. Hubungan antara ayah dan anak tersebut semakin memburuk, setelah keduanya terlibat dalam perebutan wanita. Seperti halnya sang ayah, Adipati Anom—kelak naik tahta dengan gelar Amangkurat II (1677-1703)—terkenal ambisius dan sangat doyan “main” perempuan. Ia kerap menghabiskan malam-malamnya dengan para selir dan putri-putri istana.
Rijklof van Goens yang diutus VOC kepada Amangkurat I, dibuat geleng-geleng kepala melihat “kemampuan” raja dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Ia mengatakan, sebagaimana dikutip Onghokham dan MC Ricklefs: “Sistem pemerintahan semacam ini tidak pernah terbayangkan di Belanda, …orang-orang tua dibunuh untuk melowongkan tempat-tempat bagi mereka yang muda”.
Amangkurat I sempat mengungkapkan kepada van Goens bahwa ia harus melakukan segala macam cara untuk menjaga kestabilan kerajaan, termasuk dengan membantai lawan-lawan politiknya, atau mereka yang dicurigai akan mengganggu keamanan. Amangkurat I pun mengungkapkan bahwa rakyat tidak mempunyai hak untuk mendapatkan kemakmuran. Karena itu, dia tidak perlu mengindahkan kemakmuran mereka, sebab, kekuasaannya akan terancam kalau rakyatnya makmur dan pintar (Burger, 1962: 80).
Sebagai realisasi dari politiknya itu, pada 1641-1646, Raja melarang rakyatnya melakukan perdagangan antar pulau (laut). Perdagangan luar negeri hanya dapat dijalankan bila ada izin dari raja. Saat itu, raja lah yang memegang monopoli perdagangan beras. Orang yang berani mengeksport beras akan dijatuhi hukuman mati.
Untuk memperkaya diri, Amangkurat I menerapkan pajak yang tinggi kepada rakyat dan kerajaan-kerajaan taklukannya. Raja pun sangat senang bila mendapatkan hadiah-hadiah dari para bawahannya, termasuk dari VOC di Batavia yang memiliki kepentingan untuk mendapatkan suplay beras dari Mataram. Menurut sejarawan Australia, MC Rickleft, sebelum menjerat Mataram dengan utang dan perjanjian, VOC sering memberi hadiah raja dengan barang-barang mewah, seperti kuda, perhiasan, ataupun perempuan.

AKHIR KEHIDUPAN SANG RAJA
Gaya pemerintahannya yang despotis (menindas), mengakibatkan raja yang bergelar Sayyidin Panatagama ini selalu dihantui ketakutan. Dia tidak berani meninggalkan istananya di Plered yang dikawal ketat. Dia pun tidak berani mempercayakan pimpinan pasukan utama kepada orang lain. Dengan demikian, kekejamannya sedikit demi sedikit mulai melemahkan posisinya. Kondisi ini menyebabkan para sekutu dan vasal Mataram mulai berani melawan kekuasaan Amangkurat I. 
Akhir kekuasaan Amangkurat I terbilang tragis. Jeratan VOC dan pemberontakkan yang dilakukan Trunajaya—yang awalnya berkolaborasi dengan putra mahkota—benar-benar meluluhlantakkan kekuasaannya. Dalam keadaan sakit, ia melarikan diri ke Jepara.  Sialnya, di Karanganyar, rombongan raja dirampok oleh warga desa yang tidak tahu identitasnya mantan junjungannya tersebut. Ia pun harus rela menyerahkan emas dan uang yang dibawanya. 
Di Tegalwangi, tidak jauh dari kota Tegal kini. Raja yang semasa jayanya pernah membantai ribuan ulama itu, dishalatkan lalu dibawa ke Tegal. Pada 13 Juli 1677, Amangkurat I dikebumikan di Tegalwangi. Tiga belas sedadu VOC menghadiri pemakamnya. (EMSOE ABDURRAHMAN)

7 komentar:

  1. Link summer-sumber datanya akan sangat menarik jika dicantumkan, Pak

    BalasHapus
  2. berdasarkan buku sejarah indonesia modern karya MC Rickleft, dapat diduga bahwa Amangkurat I adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kekuasaan belanda selama ratusan tahun dan kehancuran karakter serta terperosoknya bangsa Indonesia sampai saat ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul, dia yg menyerahkan kedaulatan Mataram kepada Belanda, sehingga eks kerajaan Mataram Kasunanan Solo, Kesultanan Yogya, Mangukunegaran dan Pakualaman setiap raja yg akan naik tahta harus mendapat persetujuan Belanda, martabat Mataram Jatuh karena ulah raja korup dan lalim dan haus wanita ini sehingga kewibawaan Mataram di cabut oleh Tuhan,

      Hapus
  3. "IMAM FAQIH" atau lebih di kenal dengan nama PANGERAN PEKIK/M.MOKHAMAD FAQIH NUR SALEH/DJOKO BAGUS UMAR(SUNAN PEKIK). Beliau memiliki beberapa gelar semasa hidupnya diantaranya :

    Raja Amangkurat Agung Kartosuro
    Sunan Lamongan Kedua
    Adipati Surabaya Pertama
    Pangeran Anom

    sukai fp kami: fb.com/sunanpekik

    BalasHapus
  4. "IMAM FAQIH" atau lebih di kenal dengan nama PANGERAN PEKIK/M.MOKHAMAD FAQIH NUR SALEH/DJOKO BAGUS UMAR(SUNAN PEKIK). Beliau memiliki beberapa gelar semasa hidupnya diantaranya :

    Raja Amangkurat Agung Kartosuro
    Sunan Lamongan Kedua
    Adipati Surabaya Pertama
    Pangeran Anom

    sukai fp kami: fb.com/sunanpekik

    BalasHapus