Sabtu, 14 Januari 2012

BERAWAL DARI CINTA


Cinta bukanlah sesuatu yang statis, cinta itu dinamis, penuh vitalitas
dan energi, sehingga mampu membangkitkan kekuatan tersembunyi
dalam diri sampai dahaga cinta itu terpuaskan.

Seorang Arab Badui menyeruak ke tengah-tengah jamaah shalat untuk mendekati Rasulullah saw. Ketika sudah dekat, dan Rasul sudah siap menunaikan shalat, orang itu bertanya, “Kapankah kiamat terjadi?” Nabi tidak menjawab, karena shalat sudah hampir ditunaikan.
Ucapan takbir terucap dari mulut Rasulullah yang mulia, ayat demi ayat Al-Quran beliau senandungkan, begitu khidmat, khusyuk dan penuh penghayatan. Tetes-tetes air mata berjatuhan dari pelupuk mata yang jernih. Para sahabat pun tenggelam dalam limpahan kasih sayang Ilahi.
Ketika shalat telah selesai dilaksanakan, dengan lembut penuh wibawa, Rasulullah saw. bersabda, “Mana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat?” Orang itu segera menjawab, “Saya, wahai Rasulullah”. Nabi balik bertanya, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut datangnya kiamat?”
Sejenak, majelis itu diliputi suasana hening, sampai orang itu berucap, “Saya tidak mempersiapkan amal yang banyak. Saya hanya mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Seiring tersunggingnya senyuman, Nabi yang mulia menjawab, “Engkau akan bersama dengan orang yang kau cintai”.  
Sungguh luar biasa ungkapan Rasulullah saw. ini, begitu dalam dan penuh makna, hingga menggugah kepenasaran para sahabat untuk ikut bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ucapan itu hanya berlaku untuk dia saja?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidak, ucapanku ini berlaku pula untuk kalian dan orang-orang sesudah kalian”. Kegembiraan segera menyelimuti relung sanubari orang-orang yang hadir di majelis itu, hingga Anas bin Malik berujar, “Aku belum pernah melihat kaum Muslimin begitu berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu, seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi saw. tersebut”.

 

Simpulannya, betapa besar konsekuensi cinta. Orang Arab Badui itu bukanlah siapa-siapa, namun kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah membuat ia mendapat penghormatan begitu tinggi. Tidak tanggung-tanggung, Rasulullah saw. sendiri menjanjikan kebersamaan dengan dirinya di surga kelak. Padahal, boleh jadi, ibadah orang ini tidak sehebat para sahabat lain. Seperti itulah cinta, ia bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, dan membuat sesuatu yang hampa menjadi penuh makna.
Sejatinya, cinta bukan sekadar kata sifat, namun juga kata kerja. Cinta itu tidak statis, cinta itu dinamis, penuh vitalitas dan energi yang mampu membangkitkan kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam diri sampai akhirnya dahaga cinta itu terpuaskan. Apa yang dikatakan Arab Badui tadi bukanlah suatu yang sederhana. Dalam kata-kata yang ia ungkapkan tersimpan sebuah komitmen, keyakinan dan janji setia yang sarat makna. Itulah sebabnya Rasulullah saw. berani menjanjikan pahala yang menggiurkan kepadanya.
Sekali lagi, cinta menimbulkan serangkaian konsekuensi. Ketika seseorang telah menyatakan cinta dan berkomitmen dengan cinta, maka segala tingkah lakunya akan berjalan di jalur cinta tersebut. Jika cinta itu ditunjukkan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka segala tingkah lakunya akan diselaraskan dengan kehendak yang dicintainya. Bukankah seorang pecinta akan berusaha untuk menghadirkan kesamaan dengan yang dicintainya, sehingga yang dicintai itu menjadi ridha kepadanya?
 

Cinta adalah sebentuk nikmat agung yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan anugerah cinta itulah hidup manusia jadi lebih bermakna (QS Ali Imran [3]: 14). Dengan anugerah cinta, manusia akan mampu menjalankan perannya sebagai wakil Allah di muka bumi, sebagai pendakwah sekaligus sebagai hamba Allah. Dengan anugerah cinta pula, setiap rintangan untuk bertemu sang kekasih akan dihadapi dengan lapang dada, bahkan senyuman yang mengembang.
Lalu, apakah cinta itu? Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan, “Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri. Membatasinya hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka, batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Walau demikian, sesuatu yang sulit dimaknai bukan berarti tidak bisa dimaknai. Di antara makna cinta adalah kecenderungan seluruh hati yang terus-menerus (kepada yang dicintai). Bisa pula kesediaan hati menerima segala keinginan yang dicintainya. Atau kecenderungan hati untuk lebih mengutamakan yang dicintai daripada diri dan harta sendiri.
Kita coba analisis ungkapan cinta Arab Badui tadi dari sudut pandang Erich Fromm, seorang psikolog kenamaan berkebangsaan Jerman. Dalam bukunya The Art of Love, Erich Fromm menyebutkan empat unsur yang hadir dalam cinta, yaitu:
1. Care (Perhatian)
Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Ketika kita mencintai seseorang, maka kita akan memerhatikan kesulitan yang dihadapinya, akan berusaha meringankan bebannya, dan memberikan perhatian yang tinggi atas setiap gerak geriknya. Begitu pula ketika kita mencintai Allah dan Rasul-Nya, kita akan berusaha memberikan perhatian lebih kepada semua hal yang diridhai dan yang dimurkai Allah dengan merujuk perilaku utusan-Nya, yaitu Rasulullah saw. Oleh karena itu, seorang hamba beriman sulit untuk melalaikan kewajibannya kepada Allah dan Rasulullah.
2. Responsibility (Tanggung Jawab)
Cinta harus melahirkan sikap bertanggung jawab terhadap objek yang dicintai. Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami yang mencintai isterinya, akan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya. Karyawan yang mencintai perusahaannya, akan bertanggung jawab dan mendedikasikan waktu, tenaga, dan pemikirannya demi kemajuan perusahaannya. Sama halnya dengan orang yang mencintai Tuhan dan Rasul-Nya, ia pun akan bertanggung jawab dan mendedikasikan segenap potensi dirinya untuk “membahagiakan” objek yang dicintainya. Itulah responsibility.
3. Respect (Hormat)
Cinta harus melahirkan sikap menerima apa adanya objek yang dicintai dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Inilah yang disebut respect. Dalam konteks hubungan dengan Allah dan Rasulullah, rasa hormat kita tercermin dari prinsip sami’na wa attha’na, mendengar dan taat. Jika itu disukai Allah dan dicontohkan Rasulullah, maka ia akan sekuat tenaga melaksanakannya, karena ia yakin bahwa semua yang Allah perintahkan pasti baik untuk diri dan masa depannya.
4. Knowledge (Pengetahuan)
Cinta harus melahirkan minat untuk memahami seluk beluk objek yang dicintai. Ketika kita mencintai seorang yang akan menjadi teman hidup, kita akan berusaha memahami kepribadian, latar belakang, keluarga, minat, dan kualitas keimanannya. Ketika kita mencintai Allah dan Rasulullah, maka kita pun akan berusaha mencari tahu siapa Allah dan Rasulullah itu. Kita akan bersemangat membaca, mendengar, menelaah, dan bertanya tentang Dzat Allah dan pribadi Muhammad saw. Tentu tidak sekadar untuk tahu saja, tapi juga paham sehingga berbuah ketaatan.
Empat komponen cinta inilah yang senantiasa terpatri di hati para sahabat. Efek yang ditimbulkannya begitu dahsyat. Kecintaan kepada Allah dan Rasulullah mampu melahirkan perubahan drastis dalam hidup mereka, dari kegelapan menuju cahaya, dari kebencian menuju kasih sayang, dari kejahilan menuju hidayah, dan dari kemunduran menuju kemajuan. Semoga kita mampu meneladani mereka. (EMSOE ABDURRAHMAN)

Kamis, 12 Januari 2012

ADH-DHÂRR AN-NÂFI’


Adh-Dhârr An-Nâfi mengindikasikan bahwa segala sesuatu berada dalam kekuasan
dan pengendalian-Nya. Allah sangat kuasa memberi derita dan kemudharatan,
akan tetapi Dia pun sangat kuasa pula memberi manfaat,
maka tiada lagi selain diri-Nya yang berperanan.


Di dalam Asmâ’ul Husnâ terdapat nama-nama Allah yang menunjukkan sifat jalâliyyah dan jamâliyyah-Nya. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa ada dua ”wajah” Allah Azza wa Jalla. Pertama, wajah Allah yang keras lagi berat siksaan-Nya (syadîd al-’iqâb). Inilah yang menunjukkan sifat jalâliyyah Allah. Kedua, wajah lain dari Allah yang Pengasih dan Penyayang; wajah yang selalu siap mendengarkan keluhan dan penderitaan hamba-hamba-Nya; wajah yang setiap malam menunggu kita untuk datang mengadu kepada-Nya; wajah yang senantiasa melimpahi setiap makhluk dengan anugerah-Nya, walaupun makhluk-Nya itu setiap saat bertambah kemaksiatan dan kedurhakaan kepada-Nya. Itulah wajah yang dalam istilah tasawuf disebut sebagai sifat-sifat jamâliyyah, yaitu sifat-sifat yang memperlihatkan keindahan Allah.
Sejatinya, sifat jamâliyyah Allah lebih besar daripada sifat jalâliyyah-Nya. Kasih sayang Allah itu jauh lebih besar daripada kemurkaan-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Swt. berfirman, ”Aku ingin murka melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh makhluk-Ku. Tapi Aku melihat orang-orang tua yang ruku’ dan sujud, anak-anak yang menyusu pada ibunya, dan binatang-binatang yang mencari makanan. Maka, berhentilah kemarahan-Ku.” Jadi, kasih sayang Allah itu jauh lebih besar daripada kemurkaan-Nya. Memang, Allah Swt. murka juga, akan tetapi ridha-Nya jauh lebih cepat dan lebih melimpah.
Di sini, Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya sebagai Adh-Dhârr An-Nâfi, Zat Yang Maha Pemberi Derita sekaligus Zat Yang Maha Pemberi Manfaat. Kedua nama Allah ini seakan berseberangan antara satu sama lain, yang satu mewakili sifat jalâliyyah-Nya dan yang satunya lagi mewakili sifat jamâliyyah-Nya Allah. Penyebutan kedua nama ini secara bersamaan mengindikasikan bahwa Allah-lah pemilik segala sesuatu dan sebagai bukti kesempurnaan-Nya. Ketika Allah mampu memberi derita, teguran, siksaan, dan balasan kepada para pendosa, pada saat bersamaan Dia pun kuasa memberi manfaat sebesar-besarnya, pengampunan, dan hal-hal yang terasa mengenakkan. Karena itu, ketika merujuk sifat Allah, kedua nama ini harus digabungkan tanpa kata penghubung. Ini, tidak lain dan tidak bukan, untuk tidak memberi kesan negatif kepada Allah dari sifat Adh-Dhârr.

Allah Sebagai Adh-Dhârr
Kata Adh-Dhârr, sebagai nama Allah yang kental sifat jalâliyyah-nya, pada kenyataannya sangat dijiwai oleh sifat kasih sayang-Nya. Hal ini terlihat dari pemakaian kata dhurr dalam Al-Quran yang disebutkan sebagai suatu pengandaian (jika). Dalam QS. Al-An’âm [6]:17 misalnya, Allah Swt. berfirman, ”Jika Allah menyentuhkan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu.” Atau, dalam QS. Yâ Sîn [36]: 23, ”Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya, jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?
Dengan demikian, penderitaan yang menimpan manusia, sejatinya bukan karena Allah berkehendak menyusahkan manusia, akan tetapi karena ulah dan kesalahan manusia itu sendiri. Sebab, di dunia ini ada hukum sebab akibat yang telah Allah tetapkan atas segenap makhluk-Nya. Apabila melakukan A, maka B akibatnya. Apabila melakukan B, maka C akibatnya, dan seterusnya. Setiap pilihan senantiasa membawa konsekuensi tertentu. Itulah sebabnya, hukuman yang berbuah penderitaan Allah Swt. tetapkan ketika manusia tersebut memilih untuk menderita, tidak mengindahkan aturan dan nilai-nilai yang telah ditetapkan-Nya.
”Jika kerugian menimpamu, hal itu disebabkan oleh sifatmu yang tidak jujur, ambisimu yang berlebihan, atau kelemahanmu yang diperturutkan. Jika penyakit menimpamu, biasanya itu disebabkan karena kecerobohan dan kelalaianmu dalam menjaga tubuh,” demikian ungkap Syeikh Tosun Al-Jerrahi.
Walaupun demikian, penderitaan yang Allah timpakan kepada manusia, sesungguhnya jauh lebih sedikit dari kenikmatan yang diberikan-Nya. Kita bisa melihat dalam redaksi ayat dalam QS. Al-An’âm [6] ayat 17, bahwa Allah ”yamsaskum (menyentuhkan) mudharat”. Jadi, tidak menimpakan secara keseluruhan, akan tetapi hanya menyentuhkan. Belum lagi kalau kita membandingkan antara jumlah kenikmatan dan kemanfaatan dengan jumlah kemudharatan dan kesusahan yang Allah tetapkan atas kita, yang pertama akan jauh lebih banyak daripada yang kedua. Kemudharatan yang ditimpakan itu pun hanya sedikit dan bersifat permukaannya saja. Bandingkanlah masa-masa sehat kita dengan masa sakitnya, manakah yang lebih banyak? Bandingkanlah masa lapar kita dengan masa kenyang kita, manakah yang lebih banyak? Dan seterusnya.

Allah Sebagai An-Nâfi
Melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta maupun di dalam diri manusia sendiri, Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya sebagai An-Nâfi’. Artinya Allah Yang Maha Pemberi Manfaat. Kata An-Nâfi’ tidak ditemukan dalam Al-Quran, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Walaupun demikian, di dalam Al-Quran ditemukan ayat-ayat yang menguraikan tentang anugerah Allah sambil menyatakan manfaat yang dapat diraih manusia dari anugerah tersebut. Perhatikan ayat-ayat yang menggunakan kata manafi’ (manfaat yang beraneka ragam). Dalam QS. Al-Mu’minûn [23]:21 misalnya, Allah Swt. berfirman, ”Sesungguhnya, pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat (manâfi’u) manfaat yang banyak untukmu, dan sebagian darinya kamu makan.”
Tidak ada satu pun ciptaan dan perbuatan Allah yang sia-sia atau tidak mengandung manfaat. Semuanya membawa bermanfaat dan membawa kebaikan. Lihatlah nyamuk, apakah ia hewan yang membawa manfaat atau hanya sekadar hewan pembawa penyakit yang tidak berguna? Ada banyak kebaikan yang dapat kita ambil dari seekor nyamuk. Karena penyakit yang disebabkan oleh nyamuk itu ada banyak orang yang berkembang hidupnya, muncul pabrik-pabrik obat nyamuk yang menjadi sumber mata pencaharian banyak orang. Dengan nyamuk pula ilmu kedokteran dan biologi berkembang pesat. Itu baru nyamuk, belum lagi jutaan binatang lainnya yang tersebar di muka bumi.
Andai kita mau membuka mata hati, yang tampak di mata, yang terdengar oleh telinga, atau yang teraba oleh kulit, semuanya adalah karunia Allah yang jauh dari kesia-siaan. Semuanya memperlihatkan kemanfaatan yang besar. ”Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ’Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS. ’Ali Imrân [3]: 190-191).
Bahkan, ketika Allah Swt. memberi kita satu kesusahan, pada saat yang bersamaan kesusahan tersebut membawa dua kemudahan, dua kebaikan, dan dua jalan keluar. Ada janji yang pasti dari Allah, ”... Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah [94]: 5-6)

Allah Sebagai Adh-Dhârr An-Nâfi
Dari uraian tersebut, kita bisa melihat bahwa Allah sebagai Adh-Dhârr An-Nâfi mengindikasikan bahwa segala sesuatu berada dalam kekuasan dan pengendalian-Nya. Bukankah keadaan makhluk tidak pernah luput dari salah satu dari kedua hal tersebut, yaitu mudharat dan manfaat? Allah Mahakuasa memberi derita dan kemudharatan, akan tetapi Dia pun Mahakuasa memberi manfaat. Tiada lagi yang memiliki peranan selain diri-Nya. Maka, ”Katakanlah, ’Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (QS. Al-A’râf [7]: 188)
Dengan demikian, seorang yang meneladani asma’ Allah Adh-Dhârr An-Nâfi dituntut untuk meyakini bahwa hanya Allah-lah yang berkuasa menolak mudharat sehingga tidak menimpa hamba-hamba-Nya yang taat, dan menciptakan sebab-sebab sehingga yang melanggar ketentuan-Nya, baik yang terkait dengan hukum syariat maupun hukum alam, akan ditimpa mudharat. Allah pulalah yang berkuasa menganugerahkan manfaat, baik secara langsung melalui sebab-sebab yang diketahui, maupun tidak langsung melalui hukum-hukum alam dan kemasyarakatan yang telah ditetapkan-Nya.
Dari sini, akan lahir sikap ridha ketika suatu mudharat menimpa diri kita, yaitu sikap hati untuk menerima kemudharatan tersebut. Sebab, tidak ridha pun kejadian itu tetap dan telah terjadi. Sikap ridha, sejatinya akan melahirkan ketabahan, ketenangan, dan kekuatan dalam menghadapi segala cobaan, serta menjauhkan kita dari keputusasaan. Akan tetapi, kita pun harus ingat bahwa ridha adalah sikap hati, pikiran dan tubuh memiliki tugasnya sendiri-sendiri. Pikiran menganalisis mengapa kemudharatan itu sampai menimpa kita, adakah yang salah? Setelah ditemukan benang merahnya dan sumber kesalahannya, jadikanlah itu sebagai bahan pelajaran bahwa kita tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama. Tubuh pun dituntut untuk berikhtiar secara optimal untuk menggapai takdir yang lebih baik. Jadi, sikap ridha tidak melahirkan sikap apatis, tetapi memunculkan sikap dinamis.
Penghayatan terhadap asma’ Allah Adh-Dhârr An-Nâfi pun akan menjauhkan seseorang dari berlaku aniaya, berlebihan, dan kezaliman. Andai pun kita dituntut untuk melakukan suatu tindakan penghukuman terhadap orang lain, entah itu kepada anak, istri, murid, anak buah, karyawan, dan orang-orang di mana kita memiliki kekuasaan dan pengaruh atas mereka, maka tindakan penghukuman tersebut diberikan secara proporsional dan tidak berlebihan. Ingatlah, bahwa Allah Azza wa Jalla hanya ”menyentuhkan” kemudharatan, bukan ”menimpakan” kemudharatan. Hukuman secara fisik adalah jalan terakhir, apabila jalan dialog, teguran, dan sanksi lainnya tidak bisa menyadarkan mereka. Tujuannya pun bukan untuk balas dendam, atau menimpakan atas dasar kebencian, tetapi lebih didasarkan pada tanggung jawab mendidik dan mengarahkan yang bersangkutan agar menjadi lebih baik.
Adh-Dhârr An-Nâfi melahirkan pula spirit kebermanfaatan diri. Artinya, Adh-Dhârr An-Nâfi menjadi sumber inspirasi untuk menjadi khairunnâs, yaitu sosok yang menjadi sumber manfaat dan kebaikan bagi orang lain. Ada satu kisah menarik dari negara Uganda. Kisah nyata ini pernah difilmkan oleh Franklin Covey Co.
Sebut saja Mr. Stone. Ia adalah seorang pemain sepakbola yang sangat berbakat. Keahliannya dalam menggocek si kulit bundar telah membawanya masuk salah satu tim profesional di negaranya. Saat itu, usianya baru 18. Semakin hari kariernya semakin menanjak hingga ia dipercaya memperkuat tim nasional negaranya untuk beberapa pertandingan internasional. Sebuah pencapaian yang sangat diidam-idamkan sebagian besar anak muda Uganda. Karena bakat dan keterampilannya itu, Mr. Stone pun mulai dilirik tim-tim sepakbola profesional dari Eropa. Sudah terbayang kalau ia akan sering muncul di televisi, menjadi duta bangsanya di ajang komperisi sepakbola paling prestisius di dunia, gaji besar, fasilitas lengkap, menjadi terkenal, hidup terjamin, dan diidolakan banyak orang.
Dalam sebuah pertandingan, sebelum ia direkrut salah satu tim Eropa, bencana itu pun datang. Saat hendak menendang bola ke gawang, seorang pemain lawan merobohkannya dari belakang hingga membuat ikat persendian lututnya cedera parah. Kejadian itu bukan kecelakaan, itu disengaja. Kejadian itu pula yang kemudian menamatkan karier profesionalnya.
Di sebuah negara di mana balas dendam dan pembunuhan adalah biasa, di mana puluhan tahun perang dan korupsi telah membawa kekacauan dan permusahan yang akut, kepada pemain yang telah mencederainya itu, Mr. Stone hanya mengatakan, ”Jangan khawatir. Kamu cuma melakukan tugasmu ’kan?”
Kemampuan pria ini dalam memaafkan dan membuang jauh balas dendam, dan dalam menimpakan kemudharatan kepada orang lain, setelah sekian lama ia merintis karier sebagai pemain sepakbola profesional, sungguh luar biasa.
Setelah sembuh dari cedera dan memutuskan diri gantung sepatu, Mr. Stone tidak larut dalam diam dan kekecewaan. Ia ingin sisa-sisa uang dan keterampilannya bermain bola bisa pula dirasakan manfaatnya oleh orang lain. Bersama beberapa relawan lainnya, ia mendirikan klub sepakbola lokal yang diperuntukkan untuk anak-anak yang kurang beruntung dan bermasalah, baik secara ekonomi, budaya, maupun sosial. Tidak ada biaya yang dipungut untuk menjadi anggota dari klub yang dikelolanya itu.
Ia mengatakan tentang tim barunya tersebut, ”Ada anak yang terlibat narkoba. Ada tukang copet. Ada juga anak-anak berandal yang tidak jelas arah hidupnya. Kami berusaha memberi mereka arah, juga beberapa keterampilan, lalu beberapa sumber daya, lalu kerangka berpikir yang diharapkan bisa membantu kehidupan mereka kelak. Pokoknya, kami tidak memandang mereka sebagai calon pemain sepakbola. Kami hanya ingin mereka menjadi warga negara yang baik. Kami ingin mereka bisa mengandalkan dirinya sendiri, memanfaatkan waktu dan keterampilan yang mereka miliki sehingga bisa membantu mereka menjadi lebih baik.”
Anak-anak bermasalah yang dibimbing Mr. Stone, pada dasarnya adalah anak-anak yang dibuang keluarganya dan ditolak komunitas masyarakatnya serta dicap sebagai para pembuat keonaran dan sumber masalah. Stone benar-benar melimpahkan kaish sayang dan perhatiannya. Mereka diberi kepercayaan. Katanya, kasih sayang adalah kunci kesuksesan timnya, ”Kami pertahankan anak-anak ini hanya dengan kasih sayang. Kami tidak memberi mereka uang dan barang. Tetapi mereka tetap datang karena mereka kerasan dalam tim ini. Kasihlah yang menjadikan segalanya. Anda tidak akan pernah bahagia kecuali kalau Anda memiliki kasih sayang. Jadi, kami pun sangat mengupayakan hal itu. Itulah dasar tim kami. Kasih sayang dan pengampunan.”
Arahan Mr. Stone tentang makna kasih sayang dan pengampunan, telah menjadi oleh-oleh berharga yang dibawa anak-anak itu saat pulang kepada keluarga dan komunitasnya. Pada akhirnya, mereka pun bisa belajar mengasihi dan menghargai orang-orang di sekitarnya, dan belajar mengampuni mereka.

Sebuah Renungan
Hidup adalah ujian. Hidup itu tidak lebih dari berpindahnya kita dari satu ujian kepada ujian. Dalam QS. Al-Mulk [67] ayat 2, Allah Swt. berfirman, “(Allah-lah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Dalam setiap ujian, tentunya ada aturan mainnya, ada standarnya, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Seseorang dianggap sukses jika ia berhasil melewati ujian dengan tetap mematuhi aturan-aturan dari Zat yang memberinya ujian. Sebagai sebuah contoh, kita bisa lihat prosesi makan. Allah Swt. mengaruniakan kita rasa lapar. Sesungguhnya, lapar ini adalah ujian, mampukah kita melewatinya atau tidak? Ketika kita lapar, otomatis kita membutuhkan makanan. Di sini kita dihadapkan pada dua ujian. Pertama, dari proses pemilihan zat makanannya, apakah kita akan memilih makanan yang halal dan baik, apakah kita memilih makanan yang halal tetapi tidak baik, apakah kita memilih makanan yang tidak halal tetapi kelihatannya baik? Kedua, dari proses mendapatkannya, apakah kita akan mencarinya dengan cara halal ataukah dengan cara haram? Dalam proses ini Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan aturan mainnya, ada yang boleh dan ada pula yang tidak. Seseorang dianggap lulus ujian jika ia mampu menjalani proses sesuai aturan.
Ketika berhasil melewati ujian ini, kita akan ada mendapai ujian selanjutnya, yaitu berupa hadirnya makanan yang halal. Jangan dikira, selain sebagai nikmat, makanan halal pun akan menjadi ujian. Seperti halnya tahap pertama, pada tahap kedua ini ada lagi aturan main yang harus kita patuhi. Apakah kita mau mensyukurinya atau tidak? Saat memakannya, apakah kita menjalankan adab-adabnya atau tidak? Jika makanannya tidak sesuai selera, apakah kita mencelanya atau tidak? Jika sesuai selera, apakah kita berlebihan memakannya atau tidak? Apakah kita mau berbagi dengan orang lain yang membutuhkan atau tidak? dan seterusnya. Ada sekian banyak pilihan. Kita dianggap sukses melewati ujian jika cara kita memperlakukan makanan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Banyak orang yang gagal menjalani proses ini. Boleh jadi makanannya halal zat dan cara mendapatkannya, akan tetapi ia gagal dalam memanfaatkannya.
Di sinilah pentingnya ilmu dan kesabaran. Artinya, bagaimana kita bisa melewati ujian jika kita tidak mengetahui aturan main dari ujian tersebut. Aturan mainnya adalah nilai-nilai agama yang bersumber pada Al-Quran, hadits Nabi, dan penjabaran para ulama tentang keduanya. Karena itu, kita harus banyak belajar agar mengetahui dan bisa memahami, untuk kemudian mengamalkannya. Nah, dalam proses pengamalannya kita memerlukan kesabaran. Tidak mungkin kita bisa melewati ujian tanpa adanya kesabaran. Karena hidup adalah perpindahan dari satu ujian ke ujian yang lain, maka kita pun harus berpindah dari satu kesabaran ke kesabaran yang lain. Seperti halnya prosesi makan tadi; dari mulai mencarinya, memilihnya, hingga menikmatinya, kita harus menyertakan ilmu dan kesabaran yang sesuai untuk setiap kondisi. Prinsipnya, semakin berat ujian, semakin besar pula kesabaran yang harus kita miliki.
Walau demikian, tidak selamanya kita sukses menghadapi ujian. Adakalanya kita mengalami kegagalan. Namun pada saat bersamaan, kegagalan tersebut menjadi ujian lagi bagi kita, apakah kita mampu menyikapinya dengan baik atau malah membuat putus asa. Keberhasilan menyikapi kegagalan, hakikatnya adalah kesuksesan yang luar biasa.
Hidup adalah pilihan, dan pilihan adalah ujian. Kemampuan kita dalam memilih dan mengatasi ujianlah yang akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas kemudharatan dan kemanfaatan yang Allah Swt. takdirkan kepada kita. (EMSOE ABDURRAHMAN)