Senin, 28 Januari 2013

PESONA SEHELAI BATIK KLASIK



Batik. Tampak aneh jika orang Indonesia tidak mengenal kain yang satu ini. Mengapa? Karena batik telah include dalam kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan, Prof. JLA. Brandes memasukkan seni membatik ke dalam sepuluh unsur asli kebudayaan Indonesia, selain pengolahan logam, pengenalan metrik asli, pertanian sawah yang teratur, navigasi dan astronomi, seni permainan wayang, sistem sosial yang kompleks, gamelan, dan sebagainya.
Walaupun pada awalnya identik dengan kebudayaan Jawa, khususnya budaya aristokrat Jawa, akan tetapi kontak budaya yang intens di Indonesia selama beratus tahun lamanya, plus semakin melunturnya patron kraton seiring derasnya arus modernisasi, “status” batik telah berubah. Ia bukan lagi milik kalangan kraton dan ningrat Jawa, tetapi telah menjadi milik kalangan wong cilik. Batik pun tidak lagi milik orang Jawa, batik telah menjadi milik seluruh bangsa Indonesia yang lintas suku, agama, bahasa, dan adat istiadat.
Itulah mengapa, di mana pun dan dalam kesempatan apapun, baik formal maupun informal, batik menjelma menjadi ikon ungkapan kebanggaan nasional yang penting. Batik telah menjadi satu elemen terkuat dari ekspresi nasionalisme Indonesia yang bersifat universal. Penggunaannya telah merata; ia dipakai oleh pria wanita, tua muda, orang biasa hingga pejabat tinggi negara dan para tamu negara. Batik dipakai tidak saja ketika wanita bekerja di sawah, akan tetapi hadir pula di rumah, di sekolah, dalam resepsi dan upacara adat, muncul di lingkungan bawah maupun elite. Lebih dari itu, batik pun menjadi salah satu ekspresi seni yang tidak lagi anonimous, berfungsi tidak saja sebagai kostum semata-mata, melainkan juga sebagai dekorasi, barang seni, bahkan souvenir wisata yang sangat popular. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila batik dianggap sebagai salah satu ikon terpenting budaya bangsa, bahkan sumbangan Indonesia bagi dunia.

FUNGSI BATIK
Sebuah produk budaya tentu saja tidak akan bertahan sedemikian lama, bahkan mengalami kemajuan dan perkembangan yang dinamis, apabila produk tersebut tidak memiliki keunggulan, keunikan, serta nilai guna yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Inilah yang terjadi pada batik. Apabila awalnya hanya bernuansa lokal, batik kini telah menjadi komoditi sekaligus barang seni yang bersifat global.
Lalu, ada apa sesungguhnya dengan batik? Sejatinya, fenomena ini lahir karena adanya nilai-nilai universal yang terkandung dalam ragam busana khas Indonesia ini. Apabila kita telisik, setidaknya ada tiga fungsi utama yang teridentifikasi dalam batik, antara lain:

Batik sebagai Busana
Pertama, batik adalah sebentuk busana yang fungsinya bisa diubah suai menurut selera dan keinginan para penggunanya; tentu saja, tanpa meninggalkan karakter dasar yang terdapat di dalamnya. Fungsi ini menjadikan batik sebagai busana atau kostum yang bernilai ekonomis tinggi. Ia bisa difungsikan menjadi bahan atau komoditas industri sekaligus sebagai sumber mata pencaharian masyarakat banyak. Lahirnya sentra-sentra industri batik di Pekalongan, Yogyakarta, Solo, Cirebon, Tasik, Lasem, Semarang, dan sebagainya menjadi bukti bahwa fungsi batik sebagai kostum tidak lagi terbantahkan.
Seiring dengan kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan; mulai dari kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang bersifat umum, hingga kemajuan dalam dunia fashion yang bersifat khusus, eksistensi batik pun pada akhirnya mengalami metamorfosis, mulai dari aspek bahan, desain, produksi, penjualan, hingga konsumen yang menggunakannya. Kemajuan dalam bidang-bidang tersebut telah menjadikan batik sebagai salah satu komoditas eksport yang bersifat massal. Itulah mengapa, media pembuatan batik tidak lagi sekadar kain, malam dan canting, plus para pengrajinnnya, tetapi juga sudah melibatkan media mesin pencetak modern di pabrik-pabrik dengan ribuan pekerja.
Ekses kemajuan zaman pun telah mengeser pola penjualan batik. Benda yang satu ini tidak hanya dijual dan dijajakan di pasar, toko batik, atau sentra-sentra penjualan pakaian. Kini, batik telah pula merambah dunia maya dan diperjualbelikan secara online di butik batik atau toko-toko batik online berlabel dot com atau sejenisnya. Dengan demikian, seorang pembeli di mana pun dan kapan pun dapat dengan leluasa belanja batik tanpa harus keluar rumah, tanpa harus tawar menawar pula. Cukup dengan mengklik batik yang diinginkan di sentra penjualan online, transfer pembayarannya melalui e-banking atau ATM, transaksi pun beres. Konsumen tinggal menunggu kiriman barang di rumah.
Desain pakaian berbahan batik pun telah semakin terdiversifikasi. Batik tidak hanya hadir dalam bentuk pakaian formal yang hanya digunakan dalam acara-acara tertentu. Batik telah digunakan pula untuk berbagai jenis pakaian, baik formal maupun non formal, tentu saja dengan desain yang beragam pula. Bahkan, desain batik telah dipakai sebagai pelapis jok kendaraan, beragam aksesoris mulai dari tas hingga sepatu, dan sebagainya. Pada akhirnya, para peminat batik pun, memiliki banyak pilihan untuk dapat berbatik. Everywhere and everytime!


Batik sebagai Karya Seni
Fungsi kedua dari batik adalah sebagai karya seni yang unik, berharga, bernilai estetika tinggi. Sebagai warisan budaya, khususnya unsur seni kerajinan tangan—lebih khusus lagi; tangan kaum wanita dengan segala kelembutan dan ketelitiannya—batik lahir dari keluhuran spiritual, di mana di dalamnya terkandung nilai-nilai filosofis tingkat tinggi, khususnya bagi masyarakat Jawa.
Itulah mengapa, walaupun batik tidak hanya dikenal dalam budaya Jawa, akan tetapi sofistikasi teknik dan puncak kualitas estetik dari seni membatik terjadi di Jawa. Kenyataan pun menunjukkan bahwa batik tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai filosofis, kepercayaan, dan cara pandang orang Jawa terhadap dunianya. Pembentukkan nilai-nilai adiluhung tersebut tumbuh sumbur dalam lingkungan kraton Jawa, khususnya Yogyakarta dan Surakarta. (Asmudjo Irianto, 2005, dalam ZK Umam, Yayasan Kadin Indonesia, 2007: hlm.7)


Canting. Inilah alat yang dipakai untuk memindahkan cairan malam untuk membuat batik tulis. Alat ini terdiri dari nyamplung (tampungan cairan malam yang terbuat dari tembaga), cucuk (tempat keluarnya malam), dan gagang (tangkai canting yang biasanya terbuat dari bambu atau kayu). Sebagaimana halnya batik, canting termasuk mahakarya 
yang dilahirkan dari rahim kebudayaan Nusantara, khususnya Jawa. 
Sumber gambar: http://www.nl.etsy.com

Apabila kita telusuri, batik sebagai sebuah karya seni sejatinya berasal dari masa yang lebih lampau lagi. Kemunculan batik berbarengan dengan munculnya seni wayang, musik gamelan, sastra, serta arsitektur candi dan patung. Maka, sekitar abad ke-9 pada masa pemerintahan Wangsa Syailendra dan Kerajaan Sriwijaya, dan pada abad ke-11 hingga 14 saat berkuasanya Kerajaan Jenggala dan Majapahit, batik telah berkembang menjadi seni bernilai tinggi. Motif-motif legendaris yang khas Jawa, khususnya Jawa pedalaman, seperti lereng, parang, ceplok, nitik, dan kawung sesungguhnya sudah dikenal sejak abad ke-9. Hal ini terlihat dari corak pakaian atau aksesoris yang ada pada patung-patung di candi dan benda-benda peninggalan arkeologis lainnya.


Pola-pola khas motif tradisional batik Yogyakarta. Atas (dari kiri ke kanan): 
motif nitik randu seling, kemudian motif lereng dan motif ceplok. 
Tengah: motif parang tuding dan motif semen sido asih
Bawah: motif kawung dan sido mukti.

Hadirnya nilai-nilai adilihung pada batik, sesungguhnya menjadi daya tarik tersendiri bagi para penikmat seni. Berdasarkan kecenderungan ini, muncullah para kolektor atau peminat batik yang multiras sifatnya, tidak hanya orang Indonesia, akan tetapi juga orang-orang dari mancanegara. Mereka rela mengeluarkan uang dalam jumlah besar asalkan imajinasinya terpuaskan dengan mengapresiasikan keindahan batik. Adapun bagi para pembuatnya, helaian kain beserta gambaran rumit sebuah batik, menjadi sarana efektif untuk mengekspresikan diri, menuangkan ide-ide kreatifnya, termasuk di dalamnya ketelitian, kehalusan, serta keahliannya, yang berakhir dengan kepuasan batin dan sejumlah imbalan materi.

Batik sebagai Artefak Budaya
Terkait dengan fungsi kedua, batik pun menampilkan diri sebagai artefak budaya yang memuat nilai-nilai historis dan arkeologis yang tidak ternilai harganya. Dalam sehelai kain batik bisa terekam sedemikian banyak pola-pola budaya dan pengalaman sejarah sebuah bangsa; termasuk cita rasa para pembuatnya, kualitas budaya yang melahirkannya, pola interaksi masyarakat yang memakainya. Intinya, dalam batik kita bisa mengenal serta menginventaris ikatan budaya (culturgebundenheit) dan jiwa zaman (zeitgeist) ketika ragam atau corak batik itu lahir.
Lewat batik, kita bisa mengenal pola budaya masyarakat Indonesia pada zaman dahulu. Batik kraton misalnya. Pada zamannya hanya dibuat khusus untuk para raja atau bangsawan tinggi. Pada masa itu, batik-batik dengan motif-motif khusus tersebut merupakan batik sengkeran yang dilarang keras untuk dipakaikan oleh rakyat jelata. Larangan yang dikeluarkan raja itu menimbulkan efek psikologis bahwa batik dengan motif seperti parang barong, udan liris, semen ageng, semen gurda mengandung sifat magis dan sakral.  

”Pada masa jayanya batik berperan sebagai alat dan simbol yang memperkuat supremasi aristokrasi keraton Jawa dan Sumatera. Hal ini tampak jelas pada desain, motif, warna, cara penggunaan, maupun beragam jenis batik yang dihasilkan.”

Melalui batik kita pun bisa mengenal babakan sejarah dan akulturasi budaya Indonesia dengan budaya bangsa lain yang bertemu melalui proses perdagangan, naturalisasi, ataupun kolonialisme. Kita mengenal adanya batik Cina atau batik Pecinan dengan ciri khas warnanya yang cerah dan sangat variatif. Pada batik Cina, motif yang digunakan pun banyak memasukkan unsur budaya Cina, seperti motif burung hong (merak) dan naga. Pengaruh Cina ini sangat kuat pada batik pesisir (misalnya batik Pekalongan dan Cirebon). Mengapa? Akulturasi ini terjadi karena adanya persentuhan daerah-daerah pesisir dengan para pedagang Cina masa lampau. Kondisi semacam ini tidak terjadi dengan daerah pedalaman seperti Yogyakarta dan Solo yang relatif “kurang terjamah” pengaruh pesisir. Maka, corak batiknya pun memiliki karakter yang khas. Batik dari pedalaman Jawa Tengah misalnya sangat banyak menggunakan motif bermakna simbol. Penggunaan simbol-simbol ini tentu saja memiliki akar sejarah dan latar belakang budaya yang unik pula.

Sumber gambar:  
cirebon-batik.blogspot.com / batiklasemida.blogspot.com / batikindonesia.com


Panggung sejarah Indonesia pun sempat disinggahi beberapa bangsa penjajah, khususnya Belanda dan Jepang. Pada masa itu, unsur-unsur budaya yang mereka bawa sedikit banyak memengaruhi pula ragam dan corak batik di Indonesia. Tidak mengherankan apabila kita mengenal adanya batik Belanda atau batik Kompeni. Motif yang digunakan banyak mengambil unsur bunga-bunga yang terdapat di Eropa seperti tulip dan motif tokoh-tokoh cerita dongeng terkenal di sana. Ada pula motif-motif yang menggambarkan berbagai macam benda yang dibawa oleh orang-orang Belanda atau lekat dengan kebudayaan mereka, semisal corak arsitektur gedung, meriam, kartu remi, kereta kuda, dan sebagainya yang umumnya didominasi oleh warna biru. Batik model ini sangat disukai di Eropa. Tokoh paling terkenal yang banyak memperkenalkan batik corak Belanda ini adalah Eliza van Zuylen (1863-1947). Karya-karyanya cukup mendominasi perkembangan corak batik pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.


”Woman’s Sarong” rancangan pembatik legendaris asal Belanda, Eliza van Zuylen. 
Layaknya batik Belanda atau batik Kumpeni lainnya, karya van Zuylen ini didominasi 
oleh warna biru cerah dengan motif bebungaan sebagai hiasan.

Pada masa pendudukan Jepang, batik pun tidak menjadi surut. Bahkan, motif batik yang ada semakin diperkaya dengan nilai-nilai budaya Jepang. Itulah mengapa, pada pada masa itu berkembang batik Hokokai yang memiliki pola atau motif-motif yang khas. Nama hokokai sendiri diambil dari nama organisasi propaganda Jepang yang mengindoktrinasi semua orang yang berusia di atas 14 tahun tentang konsep Asia Timur Raya. Batik hokokai memiliki tampilan yang indah karena didominasi oleh motif bunga-bungaan di taman, semisal sakura, krisan, lili, mawar, teratai, dan lainnya yang dikelilingi kupu-kupu yang beterbangan. Motif hias yang sesekali muncul adalah burung merak yang merupakan lambang keindahan dan keanggunan.


Berdasarkan pemaparan tersebut, kita dapat melihat bahwa ada hal yang paling mahal dari selembar batik, yaitu sebagai artefak budaya yang merekam dinamika budaya serta perjalanan sejarah sebuah bangsa. Bayangkan saja, kita bisa menggali khazanah budaya serta sejarah bangsa yang panjang, “hanya” dengan mengapresiasi helai-helai kain batik! Apa tidak luar biasa?
Itulah mengapa, Robyn Maxwell, dalam buku Sari to Sarong: Five Hundred Years of Indian and Indonesian textile Exchange (2003), meyakinkan kita bahwa dengan menelaah perdagangan dan penggunaan kain tradisional kita dapat menyingkap makna penggunaan tekstil asli Indonesia dalam merekonstruksikan hubungan sosial budaya yang terjalin antarkomunitas masyarakat di Tanah Air maupun hubungan mereka dengan dunia luar.

BATIK KLASIK YANG MONUMENTAL
Pertanyaannya, apakah semua jenis batik memiliki ketiga fungsi tersebut? Jawabannya tidak semua. Dalam konteks kita sekarang, bahwa batik memiliki fungsi sebagai busana atau kostum yang bernilai seni adalah sesuatu yang tidak terbantahkan. Akan tetapi, tidak semua batik memiliki fungsi sebagai artefak budaya yang bernilai historis tinggi. Hanya sebagian kecil saja dari batik yang memiliki ketiga fungsi tersebut. Batik jenis apa? Jawabnya adalah “batik klasik”.
Sesungguhnya, siapa pun orangnya tidak akan mungkin mengingat masa lalu secara komprehensif. Kita pun sulit mengapresiasi jati diri suatu bangsa tanpa adanya “sesuatu” yang mengingatkan kita akan hal-hal tersebut. Oleh karena itu, manusia memerlukan simbol, baik berupa kata, tanda atau benda-benda tertentu yang akan mengaitkannya dengan gudang memori tempat bersemayamnya berbagai pengalaman. Apabila dianalogikan, dia bagaikan saklar atau tombol bagi aktifnya memori. Ketika simbol-simbol dihidupkan, memori pun secara otomatis akan memvisualisasikan serangkaian kesan; entah itu peristiwa, gambaran masa lalu, pencitraan budaya, dan sebagainya.
Sebagai sebuah produk budaya, batik klasik dapat berfungsi sebagai “tombol” yang apabila disentuh akan mengantarkan kita menelusuri lorong-lorong waktu yang ada di masa lalu, memberi pemahaman akan jati diri bangsa, hingga apresiasi nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya. Tentu saja, kualitas pemahaman serta apresiasi setiap orang berbeda-beda, tergantung tingkat pemahaman serta pengetahuannya tentang apa dan bagaimana batik itu sebenarnya. Semakin mendalam pengenalan dan pemahaman seseorang, akan semakin tinggi pula apresiasinya. Sebaliknya, semakin dangkal pengenalan dan pemahaman seseorang, akan semakin rendah pula penghargaannya.
Oleh karena itu, bagi para ilmuwan, khususnya yang intens meneliti sejarah sosial dan budaya, batik klasik sangat relevan untuk dijadikan salah satu “alat” untuk mendapatkan pemahaman baru sejarah Indonesia. Betapa tidak, kompleksitas nilai-nilai yang terekam di dalamnya sulit untuk ditandingi oleh artefak-artefak budaya lain, seperti halnya bangunan, kerajinan logam, atau pun sumber-sumber kesejarahan yang tertulis. Batik klasik sangat dinamis. Karakternya mampu menembus ruang dan waktu. Dialah warisan leluhur yang mampu mengekspresikan tradisi keahlian dan kehalusan budaya Indonesia yang penuh dengan simbol keluhuran.
Itulah nilai yang terkandung dalam selembar batik. Maka, masihkah kita menyepelekannya? (Emsoe) ***


DAFTAR PUSTAKA

Ambary, Hasan Muarif. 1998. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Isalam Indonesia. Jakarta: Logos.

Ismail, Siti Zainon. 1993. “Nilai-nilai Islam dalam Pakaian Cara Melayu,” dalam Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta: Yayasan  Festival Istiqlal.

Kerlogue, Fiona. 2004. Batik: Design, Style & History. London: Thames & Hudson.

Pesona Batik: Warisan Budaya yang Mampu Menembus Ruang dan Waktu. 2007. Yayasan Kadin Indonesia.

http://www.berbatik.com/ 

http://id.wikipedia.org/wiki/Batik