Rabu, 26 Desember 2012

MEMANEN AIR HUJAN DENGAN TEKNOLOGI TERPADU



Pindar, seorang filsuf Yunani yang hidup pada abad 5 SM, mengatakan bahwa ”air adalah yang terbaik dari segalanya”. Apa yang dikatakan filsuf ini ada benarnya. Betapa tidak, sepanjang sejarah kehidupan manusia air senantiasa dipandang sebagai barang yang paling berharga dan paling esensi dalam kehidupan. Air menjadikan manusia, hewan, dan tumbuhan bisa bertahan hidup serta menjalani proses tumbuh kembang secara normal.

Dalam konteks tubuh manusia misalnya, air memainkan sejumlah peran vital, antara lain sebagai media dan kontributor bagi terwujudnya interaksi molekuler, sebagai media pelarut, sebagai media alir yang berfungsi membawa dan mendistribusikan nutrisi, metabolit, hormon, dan bahan-bahan penting lainnya ke seluruh tubuh; termasuk ke dalam sel, sebagai media untuk mengeluarkan produk sampah atau hasil metabolisme tubuh, terutama melalui urin dan kotoran, sebagai reaktan dalam reaksi metabolik, sebagai thermoregulator atau pengatur panas tubuh karena air dapat menyerap panas sekaligus mengeluarkan panas secara proporsional sesuai kebutuhan tubuh, sebagai pelumas di antara struktur tubuh, sebagai fasilitator bagi perubahan struktural yang diperlukan dalam makromolekul, seperti protein dan asam nukleat, sebagai media untuk mempertahankan bentuk sel, dan sebagainya.

Semua hal ini dimungkinkan karena kadar air dalam tubuh mahluk hidup, khususnya manusia, jauh melebihi kadar unsur-unsur lainnya. Sepanjang hidupnya, tubuh manusia didominasi air, dengan perincian: sekitar 90% dari berat total janin, kemudian menjadi 74% pada saat bayi, 60-70% pada masa anak-anak, 59% pada masa remaja dan dewasa, kemudian menurun menjadi 56% pada usia di atas 50 tahunan.

Tidak hanya pada tubuh, dengan keberadaan air, kehidupan di muka bumi pun menjadi penuh warna-warni. Bayangkan saja, dengan adanya air, atmosfer di atas permukaan bumi menjadi lembap sehingga udaranya dapat dihirup oleh paru-paru. Proses fotosintesis untuk menghasilkan gula dan oksigen diawali pula oleh hadirnya unsur air. Bahkan, cahaya matahari yang kita rasakan sehari-hari ternyata tidak terlepas pula dari peranan unsur air. Paparan cahaya matahari yang menerpa bumi, sesungguhnya adalah paket foton yang terdiri dari sekumpulan elektron yang terlontar dari sebuah proses eksitasi helium dari reaksi fusi atau plasma trivalensi hidrogen (hidrogen, deterium, dan tritium). Helium sendiri adalah keluarga hidrogen, alias unsur utama sebuah molekul air.

Fakta-fakta tersebut menyiratkan sebuah gambaran tentang betapa vitalnya air bagi kehidupan. Memang, sebagaimana dikatakan oleh Empedocles (490-430 SM), air merupakan salah satu elemen utama dari semua benda yang ada di alam. Tiga elemen lainnya adalah udara, api, dan tanah (bumi). Akan tetapi, dari keempat elemen ini air merupakan sumber terpenting bagi kehidupan. Bahkan, hampir semua elemen benda yang ada di alam senantiasa mengandung air di dalamnya.

SIKLUS AIR

Sesungguhnya, di balik setiap gerak gerik air pun ada berjuta hikmah yang dapat mengantarkan manusia untuk semakin mengagumi kehebatan dan kebesaran Tuhannya. Salah satu dari gerak gerik air yang tidak henti melahirkan decak kagum adalah siklus yang dijalaninya. Kita menyebutnya sebagai siklus hidrologi atau siklus air.

Siklus air merupakan satu kesatuan proses yang memungkinkan terpeliharanya aliran air, baik yang terjadi di atas maupun di bawah permukaan bumi. Siklus ini meliputi tiga bentuk, yaitu cair, padat, dan gas (udara). Siklus ini pun meliputi semua kemungkinan bagi terjadinya perubahan keadaan, yaitu evaporasi (dari cair ke gas), kondensasi (dari gas ke cair), pembekuan (dari cair ke padat), mencair (dari padat ke cair), atapun sublimasi (dari gas ke padat atau sebaliknya dari padat ke gas).

Adapun proses aliran dari siklus air terdiri dari empat tahap yang berbeda, yaitu (1) tahap penyimpanan (storage), (2) tahap penguapan (evaporation), (3) tahap presipitasi (precitipation), dan (4) tahap limpasan atau aliran air permukaan (runoff).

Air yang berada di permukaan bumi—baik itu di dalam tanah, di lautan, sungai, selubung es atau gletser, kolam, dan sebagainya—dapat dikatakan sebagai air yang tersimpan, walau penyimpanannya bersifat sementara. Mengapa dikatakan sementara? Sebab, air ini akan menguap dari permukaan bumi untuk kemudian mengembun di awan, jatuh kembali ke bumi sebagai presipitasi (hujan atau salju), dan akhirnya kembali mengalir ke laut atau mengalami reevaporates ke atmosfer. Hampir semua air di bumi telah melewati siklus ini berkali-kali. Oleh karena itu, selama miliar tahun terakhir, hanya sedikit air yang tercipta yang menjadi hilang, paling banter adalah berubah bentuk atau berpindah tempat.

ANUGERAH ALAM BERNAMA HUJAN

Salah satu elemen menakjubkan dari siklus air adalah proses terjadinya hujan. Dari proses alam ini, kita akan mendapatkan gambaran tentang bagaimana sebuah orkestra dari berbagai unsur alam bekerja. Alam telah mempertontonkan sebuah harmonisasi yang sangat indah ketika awan, hujan, dan arus angin bekerja sama menghidupkan bumi dengan semua penghuninya.

Hujan sejatinya adalah proses yang sangat alami dan terjadi di setiap bagian dunia. Hujan adalah bagian terpenting dari siklus hidrologi. Kehadirannya amat diperlukan untuk mengatur suhu serta menjaga keseimbangan di alam raya. Ketiadaan hujan adalah pertanda kekeringan, kelaparan, yang berakhir dengan kebinasaan.

Bagi manusia sendiri hujan telah berperan membentuk aneka peradaban pada setiap generasinya. Kalau kita lihat, mayoritas peradaban-peradaban di dunia; mulai dari Mesir kuno, Cina, India, hingga Indonesia berawal dari peradaban air. Di mana ada konsentrasi air, semacam lautan dan pantai, danau, sungai, hingga oase di padang pasir, yang mana air hujan sebagai pemasok utamanya, di sanalah sebuah peradaban akan lahir. Maka, jangan heran apabila kota-kota besar yang merupakan konsentrasi penduduk terbesar suatu bangsa banyak terdapat di sekitar daerah aliran sungai (DAS). Di Mesir misalnya, konsentrasi penduduk terbesar beserta daerah perkotaan yang didirikannya mayoritas berada di daerah aliran Sungai Nil; di India dan Cina pun demikian, DAS Sungai Gangga dan Yamuna (di India) dan Sungai Kuning (di Cina) adalah kawasan padat penduduk.

Di Indonesia pun tidak jauh beda, Sungai Brantas misalnya, sungai yang satu ini merupakan ”urat nadi” bagi peradaban di kawasan Jawa Timur. Bayangkan saja, lebih dari setengah penduduk Jawa Timur tinggal di daerah aliran sungai (DAS) Brantas. Kebudayaan dan peradaban yang dilahirkan oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Kadiri, Singosari dan Majapahit juga dibangun di DAS Brantas. Di Jawa Barat kita mengenal Sungai Citarum yang memiliki panjang sekitar 225 km. Ia adalah sumber penghidupan yang vital bagi masyarakat, dari sanalah sumber air didapat, dari sana pula sejarah rakyat Sunda muncul ke permukaan. Bahkan, menelisik betapa dekatnya air dengan masyarakat Sunda, kita akan melihat nama kota atau daerah di Jawa Barat banyak diawali oleh kata ”ci” atau ”cai” yang berarti ”air”, semacam Cianjur, Cibadak, Cisarua, dan sebagainya. Arti penting sungai dan sumber-sumber air lainnya akan semakin luas apabila kita mengaitkannya dengan kehidupan masyarakat di kawasan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan daerah-daerah lain di Indonesia, di mana sebagai besar penduduknya hidup dan mati bersama sumber air. Hal ini sekali lagi menunjukkan betapa pentingnya sungai dan sumber air lainnya yang notabene mendapatkan pasokan dari air hujan.

Dilihat dari komposisi dan sifatnya, air hujan termasuk air suling terbaik, khususnya yang belum bercampur dengan partikel polusi di udara ataupun zat-zat yang ada di tanah. Air hujan disebut sebagai air suling terbaik karena sifatnya ”yang suci lagi menyucikan”. Ia dikatakan suci dan murni zatnya karena belum tercampur dengan zat-zat lain yang akan mengubah komposisi dan ”rasa” yang dimilikinya. Ia dikatakan menyucikan karena memiliki kemampuan untuk menghilangkan kotoran dan mensterilkan media yang dialirinya.

Kemampuan air hujan dalam membersihkan kotoran pada kulit manusia melebihi air jenis lainnya sehingga air hujan dianggap sebagai salah satu disinfektan terbaik. Kemampuan air hujan dalam memperbaharui sel-sel yang ada dalam tubuh pun berada pada skala yang lebih besar dibandingkan dengan air biasa. Air hujan yang belum tercemar, misalnya hujan asam, dijamin terbebas pula dari virus dan bakteri patogen. Dengan demikian, dengan melihat sifat-sifat dan keutamaannya, tidak heran apabila air hujan dapat menimbulkan efek positif bagi psikologis dan kejiwaan manusia, termasuk menghilangkan badmood, rasa malas dan menggantinya dengan kesegaran, optimisme, dan semangat baru.

Pada kenyataannya, air hujan tidak sekadar membersihkan dan menjadi antiseptik bagi manusia, tetapi juga antiseptik bagi lapisan atmosfer. Hal ini terjadi karena air hujan memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menyerap logam, gas, aneka partikel debu, dan beragam substansi dalam jumlah besar yang berada di lapisan atmosfer. Oleh karena itu, turunnya hujan dengan kapasitasnya yang senantiasa terukur merupakan mekanisme alam yang sangat canggih dalam membangun kesetimbangan baru di lapisan atmosfer dengan ”melarutkan” beragam materi yang dapat mengganggu keseimbangan alam.

MEMANFAATKAN AIR HUJAN

Berdasarkan sifat-sifatnya yang mengagumkan tersebut, tidak anah apabila air hujan memiliki sejumlah fungsi dan manfaat yang mendasar bagi manusia. Dalam skala individu dan keluarga misalnya, air hujan dapat digunakan secara langsung sebagai air minum, air untuk mandi, mencuci, memasak, bahkan sebagai obat dan terapi kesehatan. Dalam skala industri, air hujan yang telah ditampung dapat digunakan sebagai bahan mentah atau pendingin. Dalam bidang pertanian, air hujan termasuk komponen terpenting dalam proses kehidupan tanaman produksi.

Itulah mengapa, bagi sebagian bangsa di dunia, hujan adalah sumber utama bagi pengairan dan irigasi sehingga banyak nyawa yang bergantung kepadanya. Betapa tidak, tanpa kehadirannya tanah tidak lagi mampu berproduksi, pasokan air minum akan menyusut, dan roda perekonomian akan berhenti. Bahkan, seiring dengan semakin menipisnya pasokan air tawar di bumi, negara-negara yang awalnya tidak begitu peduli dengan air hujan, kini mulai menggantungkan hidupnya pada pasokan air dari langit ini. Kondisi ini kembali menggemakan sebuah slogan bahwa ”air lebih berharga daripada emas”. Tanpa emas permata, siapapun masih bisa hidup. Namun, tanpa kehadiran air, siapapun tidak akan bisa hidup. Oleh karena itu, manusia pun berlomba mengembangkan aneka teknologi, mulai dari yang tradisional hingga modern, untuk mengelola limpahan air dari langit tersebut.

Pada kenyataannya, ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sangat dipengaruhi oleh perbedaan antara jumlah curah hujan dan jumlah penguapan. Dengan demikian, jumlah air yang tersedia sebagai runoff, baik yang terjadi di permukaan tanah maupun di bawah tanah, merupakan perbedaan antara apa yang dicurahkan ke bumi dengan apa yang dikembalikan ke atmosfer sebagai penguapan. (Dibyo Prabowo, 1982: 22)

Masalah banjir dan kekeringan, sebagaimana yang ”rutin” melanda sejumlah daerah di Indonesia tidak terlepas dari kuantitas suplay air dan runoff ini. Mengapa demikian? Sebagai negara yang hanya mengenal dua musim: kemarau dan hujan, negara kita termasuk kawasan dengan curah hujan yang tinggi. Namun, yang menjadi persoalan, ”air langit” yang setiap tahun mengguyur wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang tidak merata pada curah hujannya. Di wilayah Indonesia bagian barat, curah hujan berkisar antara 4.000 milimeter pertahun, sedangkan di wilayah bagian timur, curah hujan relatif kecil, yaitu kurang dari 800 milimeter pertahun. Dengan kondisi semacam ini, sumber daya air di setiap wilayah di Indonesia menjadi tidak sama atau tidak merata. Ada sebagian wilayah yang melimpah sumber daya airnya, akan tetapi ada sebagian wilayah yang sumber daya airnya sangat terbatas. (Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. 2004:15)

Dari total curah hujan di seluruh wilayah Indonesia, jumlah air yang dihasilkan mencapai 3.085 miliar meter kubik pertahun. Dari jumlah tersebut, 20-40 persennya akan meresap ke perut bumi dan menjadi air tanah. Dengan demikian, jumlah kandungan air tanah di setiap wilayah pun bervariasi. (Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. 2004:16)

Tidak meratanya curah hujan, dengan sendirinya akan mempengaruhi pola dan perilaku penduduk dalam memanfaatkan ketersediaan air baku. Termasuk pemanfaatan air hujan yang telah menjadi air tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup, khususnya kebutuhan rumahtangga. Masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang sumber air permukaannya sangat kurang karena sedikitnya curah hujan, biasanya akan mencari sumber-sumber air alternatif untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih, misalnya dengan menggali sumur dengan kedalaman tertentu sesuai kondisi wilayahnya. Bahkan, di beberapa daerah kering, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), penduduk seringkali harus berjalan berkilo-kilo meter sekadar untuk mendapatkan beberapa ember air bersih. Namun sebaliknya, di daerah yang curah hujannya tinggi, semisal di Pulau Jawa, penduduk relatif lebih mudah untuk mendapatkan air. Akan tetapi, pada musim hujan, kelebihan air kerap menjadi bencana yang tidak kalah merugikan daripada kekeringan, yaitu terjadinya banjir. Hal ini diperburuk dengan semakin sempitnya lahan-lahan serapan dan saluran air, khususnya di kota-kota besar semisal Jakarta, sehingga banjir menjadi rutinitas tahunan di ibu kota.

MENGELOLA AIR HUJAN

Dua kondisi yang bertolak belakang, dan juga sangat merugikan ini, tentu tidak elok untuk dibiarkan. Apalagi, dari tahun ke tahun, kebutuhan akan air baku telah semakin meningkat, pararel dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. Belum lagi, kebutuhan air untuk mendukung berputarnya roda industri yang semakin meningkat. Ironisnya, karena pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan terkonsentrasi di Jawa dan Bali, defisit air pun lebih terlihat di kedua wilayah ini, yang sebenarnya memiliki curah hujan tinggi pada setiap tahunnya.

Pengelolaan air hujan sendiri pada intinya memiliki dua tujuan utama, yaitu (1) bagaimana mendapatkan manfaat yang optimal, baik ketika melimpah (musim hujan) ataupun ketika surut (musim kemarau), dan (2) bagaimana menghindarkan dari bencana, baik ketika melimpah pada musim hujan sehingga tidak sampai banjir ataupun ketika musim kemarau sehingga tidak sampai kekeringan. (Susilo Soekardi, 2012:18)

Untuk memenuhi dua tujuan ini, manusia terus berpikir untuk mencari tahu, meneliti, dan bereksperimen tentang bagaimana mengelola air sehingga lahirlah puluhan cabang ilmu yang khusus mempelajari seluk beluk air, mulai dari oseanografi, hidrologi, limnologi, potamologi, hingga geohidrologi. Dengan landasan ilmu-ilmu ini yang dipadupadankan dengan ilmu dalam bidang teknik, semacam teknik rekayasa bangunan, manusia berkreasi dan berinovasi sehingga lahirlah aneka cipta dan karya yang bersifat fisik, mulai dari bak penampungan air, sumur resapan, saluran irigasi, hingga bendungan atau waduk raksasa dengan PLTA-nya.

Dalam skala kecil, khususnya di wilayah dengan curah hujan yang tinggi, sejumlah cara untuk mengelola limpahan air hujan telah banyak dilakukan, antara lain:

a. Membuat bak penampungan air

Cara yang paling umum dan paling tradisional dalam mengelola curahan atau limpahan air hujan adalah dengan membuat bak-bak penampungan, baik kecil maupun besar, yang memungkinkan curahan air hujan dapat ditampung. Di daerah-daerah pertanian, pembuatan kolam-kolam penampungan air hujan pun sudah lazim dilakukan. Kolam-kolam ini, selain sebagai difungsikan sebagai penampungan air hujan, biasa difungsikan pula sebagai tempat memelihara ikan. Namun demikian, pembuatan bak penampungan kurang efektif dalam menyimpan dan menampung limpahan air hujan karena kapasitas yang sedikit, yaitu tergantung pada seberapa besarnya ukuran bak. Oleh karena itu, bak penampungan lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam skala kecil, yaitu untuk mencuci, mandi, memasak, atau sebagai air minum. Itu pun hanya bisa dinikmati oleh penduduk yang memiliki cukup lahan untuk membuat bak-bak penampungan air.

b. Membuat sumur resapan air

Sumur resapan termasuk salah satu rekayasa teknik konservasi air berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat menampung air hujan yang jatuh di atas atap rumah atau daerah kedap air dan meresapkannya ke dalam tanah. Sumur resapan ini dapat memberikan imbuhan air secara buatan dengan cara menginjeksikan air hujan ke dalam tanah. Sasaran lokasi pembuatan sumur resapan adalah daerah resapan air di kawasan budidaya, permukiman, perkantoran, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olahraga serta fasilitas umum lainnya.

Ada sejumlah manfaat dari pembuatan sumur resapan ini, antara lain:
• mengurangi aliran permukaan sehingga dapat mencegah atau mengurangi terjadinya banjir dan genangan air;
• mempertahankan dan meningkatkan tinggi permukaan air tanah;
• mengurangi erosi dan sedimentasi;
• mengurangi atau menahan intrusi air laut bagi daerah yang berdekatan dengan kawasan pantai;
• mencegah penurunan tanah (land subsidance);
• mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah.


”MEMANEN AIR HUJAN” dengan SISTEM TEKNOLOGI TERPADU


Proses pengumpulan air hujan dengan metode pembuatan bak-bak atau kolam penampungan (khususnya di daerah pedesaaan atau kawasan pertanian) maupun dengan pembuatan sumur-sumur resapan (khususnya di kawasan perkotaan) seringkali dihadapkan pada sejumlah kendala, antara lain menyangkut kurangnya kesadaran warga akan pentingnya mengoptimalkan potensi air hujan, keterbatasan tempat pembuatan (khususnya di kota-kota besar), hingga ”meragukannya” kualitas air hujan yang didapatkan.

Hujan asam (hujan dengan pH di bawah 5,6) serta kualitas udara kota yang kurang baik menjadi penyebab utama kekhawatiran warga kota untuk menggunakan air hujan, khususnya untuk dijadikan sebagai air minum. Salah satu upaya pemecahan yang biasa ditawarkan adalah dengan memasang saringan alami sebelum air masuk ke bak penampungan dan mengukur pH air tampungan sebelum digunakan dengan menggunakan pH meter atau kertas lakmus. Apabila kualitas tidak terlalu baik, air tampungan ini sebaiknya digunakan untuk kebutuhan air baku bukan untuk kebutuhan air minum.

Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah dan pihak-pihak berwenang, termasuk kalangan akademisi, bahkan masyarakat secara umum, perlu memikirkan cara yang paling tepat, paling efisien, murah, tidak memakan tempat dan biaya yang mahal untuk memanfaatkan karunia Tuhan bernama curahan air hujan ini. Sebab, mau tidak mau, kita harus mencari solusi yang tepat dan multimanfaat untuk mengatasi aneka permasalahan terkait sumber daya air di tengah melimpahnya air hujan, semisal banjir, minimnya air bersih akibat pencemaran, rendahnya kualitas dan kuantitas air tanah, dan sebagainya.

Salah satu solusi yang dapat dipilih adalah dengan metode ”memanen air hujan” alias rain water harvesting dengan pendekatan terpadu. Apa maksudnya? Bagaimana pula pelaksanaannya?

Pendekatan terpadu di sini maksud adalah mengoptimalkan pemanfaatan air hujan dengan bantuan ”teknologi alternatif” yang telah ada yang dipadupadankan dengan teknologi pengolahan dan pemurnian air bersih yang sudah dikembangkan. Pemanfaatan kedua jenis teknologi ini digunakan untuk mendukung dan mengoptimalkan bak-bak penampungan air hujan dan sumur-sumur resapan akan tetapi dengan menggunakan sedikit modifikasi. Selain itu, dengan pendekatan terpadu ini, aspek dikedepankan bukan sekadar menghasilkan air air baku dan air layak minum, tetapi juga mendapatkan suplay energi dari alam dan pangan. Bukankah kehidupan itu membutuhkan air, energi, dan makanan?

Adapun teknologi yang dapat digunakan dalam konsep ini, selain bak penampungan dan sumur resapan, antara lain:

1. Panel surya atau solar cell. Panel surya adalah sebuah teknologi untuk mengubah cahaya matahari menjadi energi listrik dengan menggunakan photovoltaics. Secara umum cara penggunaan tenaga matahari ini dibagi dua yaitu aktif dan pasif. Penggunaan secara aktif yaitu menggunakan teknologi panel photovoltaic atau panel tenaga surya untuk mengumpulkan energi listrik. Adapun cara penggunaan secara pasif adalah dengan cara mengatur arah bangunan, menggunakan material yang menyerap panas dan desain bangunan yang secara alami memperlancar sirkulasi udara di dalam ruang.
2. Hidroponik. Hidroponik atau soilless culture atau budidaya tanaman tanpa tanah adalah budidaya tanaman yang memanfaatkan air dan tanpa menggunakan tanah sebagai media tanam atau soilless.
3. Water purifier atau alat pemurni air. Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah Teknologi Pure It. Proses kerja dari ”Teknologi Germkill” dapat menghasilkan air yang benar-benar aman dari bakteri dan virus sehingga layak diminum tanpa dimasak terlebih dahulu.

Bagaimana mempadu-padankan lima komponen teknologi ini dalam proses pengolahan air hujan sehingga kita bukan hanya mampu memanfaatkan limpahan air hujan, tetapi juga mendapatkan beragam manfaat, baik berupa tersedianya sumber air baku yang siap dikembalikan ke bumi sebagai air tanah, sumber air minum sehat, sistem irigasi sederhana untuk hidroponik yang dapat menghasilkan sejumlah tanaman budidaya dari ketersediaan lahan padat, serta berjalannya program penghijauan kota?

Untuk menerapkan konsep ini, kita dapat memanfaatkan tempat-tempat dan pusat keramaian, seperti halte busway, gedung-gedung pemerintahan, sekolah atau universitas, rumahsakit, apartemen, dan sebagainya.

Hal pertama yang dapat dilakukan adalah mendesain atap-atap bangunan sedemikian rupa sehingga dapat menampung air hujan. Konsepnya mirip dengan bak penampungan air hujan. Hal semacam ini sudah dipraktikkan di Jepang. Pihak yang berwenang di sana berusaha mendayagunakan bangunan-bangunan pemerintah sebagai pengumpul air hujan. Salah satu contohnya adalah Gedung Ryogoukan di Tokyo yang terkenal sebagai arena pertandingan Sumo. Atap gedung yang memiliki luas sekitar 8.400 meter persegi ini didesain sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai penampung air hujan. Nah, air yang berhasil ditampung digunakan untuk keperluan perawatan gedung akan tetapi tidak digunakan sebagai air minum.

Atap yang sudah didesain sebagai bak penampungan tersebut, atau setidaknya memiliki tempat penampungan air, kemudian dilengkapi dengan saluran-saluran yang memungkinkan air tersebut mengalir ke bawah. Nah, pada bagian bawah bangunan dibuat semacam kolam-kolam resapan yang dipinggir-pinggirnya dibiarkan berupa material tanah atau bebatuan untuk memudahkan proses peresapan air. Akan tetapi, sebelum masuk ke kolam resapan ada tabung penampungan sementara yang di dalamnya dipasangi alat yang memungkinkan sebagian air yang mengalir ke sumur resapan mengalami proses filtrasi.

Alat tersebut bisa menggunakan teknologi Pure It atau perangkat desalinasi berbasis reverse osmosis atau penguapan dan kondensasi berulang. Pada teknologi Pure It misalnya, air yang mengalir ke tempat penampungan sementara setidaknya akan diproses melalui empat tahapan, yaitu: tahap 1 adalah saringan serat mikro menghilangkan semua kotoran yang terlihat; tahap 2 adalah filter karbon aktif untuk menghilangkan pestisida, zat-zat dan parasit berbahaya; tahap 3 adalah prosesor pembunuh kuman menghilangkan bakteri dan virus berbahaya dalam air; dan tahap 4 adalah proses penjernihan untuk menghasilkan air yang jernih, tidak berbau, dengan rasa yang alami. Dengan demikian, proses pemurnian air dalam tabung penampungan sementara ini dapat melayani penyediaan air baku yang dialirkan ke tempat-tempat khusus untuk diminum secara langsung.

Selanjutnya, sebagian atap ini dapat dilapisi oleh panel surga untuk menyimpan energi matahari yang diubah menjadi energi listrik. Batere yang menyimpan energi listrik dari panel surya dapat digunakan sebagai alat penerangan, sumber listrik (minimal untuk charge hape), wifi, dan sebagainya.

Energi listrik yang didapat dari panel surya dapat digunakan untuk mengoptimaliasi kerja alat pemurni air, antara lain untuk menekan filter air dengan pompa. Dengan energi dari panel surya, air dapat dipompakan secara otomatik dengan menggunakan automatic microcontroler menjadi alat penyiram lahan-lahan hidroponik di atap-atap bangunan, gedung, ataupun halaman. Adapun tanaman-tanamannya ditempatkan sesuai konsep hidroponik, di mana tanaman dapat disimpan di pot-pot yang digantung tanpa memerlukan lahan berupa tanah. Tanaman ini disiram dengan air dari kolam penampungan yang telah diatur sedemikian rupa, seperti proses pengembunan, termasuk dengan memasukan unsur nutrisi atau pupuk di dalamnya.

Apabila konsep pengolahan air hujan yang menggabungkan teknologi pengolahan air baku, hidroponik, dan energi yang terbaharukan bisa diterapkan di rumah sakit, kantor-kantor pemerintahan, sekolah, apartemen, dan tempat-tempat keramaian, akan ada ribuan orang yang bisa mendapatkan air minum secara langsung di tempat. Tidak hanya itu, masyarakat pun akan mendapatkan keuntungan plus, yaitu memiliki cadangan air baku sebagai sumber air yang terbaharukan, memiliki lahan-lahan hijau di tengah perkotaan dengan sistem irigasi yang multifungsi dan menghasilkan beragam bahan pangan alami lagi sehat penuh gizi.

Maka, jangan takut dengan hujan. Namun, takutlah apabila kita tidak terampil mensyukuri limpahan nikmat berupa air hujan. (Emsoe) ***



DAFTAR RUJUKAN

Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. 2004. Pemanfaatan Air Tanah: Ikhtiar Peningkatan Kualitas Hidup Rakyat. Jakarta.

Lubis, Rachmat Fajar. Krisis Air di Kota: Masalah dan Upaya Pemecahannya (Perbandingan dengan Upaya Pemecahannya di Jepang). http://www.geotek.lipi.go.id/?p=652

Prabowo, Dibyo. 1982. Sumber Daya Air dalam Kehidupan Manusia, dalam Prisma, No. 11, November 1982, Tahun XI. Jakarta: LP3ES.

Soekardi, Susilo dan Tauhid Nur Azhar. 2012. Air dan Samudera: Mengurai Tanda-Tanda Kebesaran Allah di Lautan. Solo: Tinta Medina.

PU Cipta Karya. 2003. Sumur Resapan Air. http://www.pu.go.id/publik/ciptakarya/html/ind/resapan-htm.

http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Laporan/airber.html

http://www.panelsurya.com/

http://energiterbarukanindonesia.com/

http://www.pureitwater.com/ID/technology

http://blog.ub.ac.id/alfianfaisal/2012/09/27/masalah-penyediaan-air-bersih-di-indonesia/


Sabtu, 14 Januari 2012

BERAWAL DARI CINTA


Cinta bukanlah sesuatu yang statis, cinta itu dinamis, penuh vitalitas
dan energi, sehingga mampu membangkitkan kekuatan tersembunyi
dalam diri sampai dahaga cinta itu terpuaskan.

Seorang Arab Badui menyeruak ke tengah-tengah jamaah shalat untuk mendekati Rasulullah saw. Ketika sudah dekat, dan Rasul sudah siap menunaikan shalat, orang itu bertanya, “Kapankah kiamat terjadi?” Nabi tidak menjawab, karena shalat sudah hampir ditunaikan.
Ucapan takbir terucap dari mulut Rasulullah yang mulia, ayat demi ayat Al-Quran beliau senandungkan, begitu khidmat, khusyuk dan penuh penghayatan. Tetes-tetes air mata berjatuhan dari pelupuk mata yang jernih. Para sahabat pun tenggelam dalam limpahan kasih sayang Ilahi.
Ketika shalat telah selesai dilaksanakan, dengan lembut penuh wibawa, Rasulullah saw. bersabda, “Mana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat?” Orang itu segera menjawab, “Saya, wahai Rasulullah”. Nabi balik bertanya, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut datangnya kiamat?”
Sejenak, majelis itu diliputi suasana hening, sampai orang itu berucap, “Saya tidak mempersiapkan amal yang banyak. Saya hanya mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Seiring tersunggingnya senyuman, Nabi yang mulia menjawab, “Engkau akan bersama dengan orang yang kau cintai”.  
Sungguh luar biasa ungkapan Rasulullah saw. ini, begitu dalam dan penuh makna, hingga menggugah kepenasaran para sahabat untuk ikut bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ucapan itu hanya berlaku untuk dia saja?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidak, ucapanku ini berlaku pula untuk kalian dan orang-orang sesudah kalian”. Kegembiraan segera menyelimuti relung sanubari orang-orang yang hadir di majelis itu, hingga Anas bin Malik berujar, “Aku belum pernah melihat kaum Muslimin begitu berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu, seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi saw. tersebut”.

 

Simpulannya, betapa besar konsekuensi cinta. Orang Arab Badui itu bukanlah siapa-siapa, namun kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah membuat ia mendapat penghormatan begitu tinggi. Tidak tanggung-tanggung, Rasulullah saw. sendiri menjanjikan kebersamaan dengan dirinya di surga kelak. Padahal, boleh jadi, ibadah orang ini tidak sehebat para sahabat lain. Seperti itulah cinta, ia bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, dan membuat sesuatu yang hampa menjadi penuh makna.
Sejatinya, cinta bukan sekadar kata sifat, namun juga kata kerja. Cinta itu tidak statis, cinta itu dinamis, penuh vitalitas dan energi yang mampu membangkitkan kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam diri sampai akhirnya dahaga cinta itu terpuaskan. Apa yang dikatakan Arab Badui tadi bukanlah suatu yang sederhana. Dalam kata-kata yang ia ungkapkan tersimpan sebuah komitmen, keyakinan dan janji setia yang sarat makna. Itulah sebabnya Rasulullah saw. berani menjanjikan pahala yang menggiurkan kepadanya.
Sekali lagi, cinta menimbulkan serangkaian konsekuensi. Ketika seseorang telah menyatakan cinta dan berkomitmen dengan cinta, maka segala tingkah lakunya akan berjalan di jalur cinta tersebut. Jika cinta itu ditunjukkan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka segala tingkah lakunya akan diselaraskan dengan kehendak yang dicintainya. Bukankah seorang pecinta akan berusaha untuk menghadirkan kesamaan dengan yang dicintainya, sehingga yang dicintai itu menjadi ridha kepadanya?
 

Cinta adalah sebentuk nikmat agung yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan anugerah cinta itulah hidup manusia jadi lebih bermakna (QS Ali Imran [3]: 14). Dengan anugerah cinta, manusia akan mampu menjalankan perannya sebagai wakil Allah di muka bumi, sebagai pendakwah sekaligus sebagai hamba Allah. Dengan anugerah cinta pula, setiap rintangan untuk bertemu sang kekasih akan dihadapi dengan lapang dada, bahkan senyuman yang mengembang.
Lalu, apakah cinta itu? Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan, “Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri. Membatasinya hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka, batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Walau demikian, sesuatu yang sulit dimaknai bukan berarti tidak bisa dimaknai. Di antara makna cinta adalah kecenderungan seluruh hati yang terus-menerus (kepada yang dicintai). Bisa pula kesediaan hati menerima segala keinginan yang dicintainya. Atau kecenderungan hati untuk lebih mengutamakan yang dicintai daripada diri dan harta sendiri.
Kita coba analisis ungkapan cinta Arab Badui tadi dari sudut pandang Erich Fromm, seorang psikolog kenamaan berkebangsaan Jerman. Dalam bukunya The Art of Love, Erich Fromm menyebutkan empat unsur yang hadir dalam cinta, yaitu:
1. Care (Perhatian)
Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Ketika kita mencintai seseorang, maka kita akan memerhatikan kesulitan yang dihadapinya, akan berusaha meringankan bebannya, dan memberikan perhatian yang tinggi atas setiap gerak geriknya. Begitu pula ketika kita mencintai Allah dan Rasul-Nya, kita akan berusaha memberikan perhatian lebih kepada semua hal yang diridhai dan yang dimurkai Allah dengan merujuk perilaku utusan-Nya, yaitu Rasulullah saw. Oleh karena itu, seorang hamba beriman sulit untuk melalaikan kewajibannya kepada Allah dan Rasulullah.
2. Responsibility (Tanggung Jawab)
Cinta harus melahirkan sikap bertanggung jawab terhadap objek yang dicintai. Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami yang mencintai isterinya, akan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya. Karyawan yang mencintai perusahaannya, akan bertanggung jawab dan mendedikasikan waktu, tenaga, dan pemikirannya demi kemajuan perusahaannya. Sama halnya dengan orang yang mencintai Tuhan dan Rasul-Nya, ia pun akan bertanggung jawab dan mendedikasikan segenap potensi dirinya untuk “membahagiakan” objek yang dicintainya. Itulah responsibility.
3. Respect (Hormat)
Cinta harus melahirkan sikap menerima apa adanya objek yang dicintai dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Inilah yang disebut respect. Dalam konteks hubungan dengan Allah dan Rasulullah, rasa hormat kita tercermin dari prinsip sami’na wa attha’na, mendengar dan taat. Jika itu disukai Allah dan dicontohkan Rasulullah, maka ia akan sekuat tenaga melaksanakannya, karena ia yakin bahwa semua yang Allah perintahkan pasti baik untuk diri dan masa depannya.
4. Knowledge (Pengetahuan)
Cinta harus melahirkan minat untuk memahami seluk beluk objek yang dicintai. Ketika kita mencintai seorang yang akan menjadi teman hidup, kita akan berusaha memahami kepribadian, latar belakang, keluarga, minat, dan kualitas keimanannya. Ketika kita mencintai Allah dan Rasulullah, maka kita pun akan berusaha mencari tahu siapa Allah dan Rasulullah itu. Kita akan bersemangat membaca, mendengar, menelaah, dan bertanya tentang Dzat Allah dan pribadi Muhammad saw. Tentu tidak sekadar untuk tahu saja, tapi juga paham sehingga berbuah ketaatan.
Empat komponen cinta inilah yang senantiasa terpatri di hati para sahabat. Efek yang ditimbulkannya begitu dahsyat. Kecintaan kepada Allah dan Rasulullah mampu melahirkan perubahan drastis dalam hidup mereka, dari kegelapan menuju cahaya, dari kebencian menuju kasih sayang, dari kejahilan menuju hidayah, dan dari kemunduran menuju kemajuan. Semoga kita mampu meneladani mereka. (EMSOE ABDURRAHMAN)

Kamis, 12 Januari 2012

ADH-DHÂRR AN-NÂFI’


Adh-Dhârr An-Nâfi mengindikasikan bahwa segala sesuatu berada dalam kekuasan
dan pengendalian-Nya. Allah sangat kuasa memberi derita dan kemudharatan,
akan tetapi Dia pun sangat kuasa pula memberi manfaat,
maka tiada lagi selain diri-Nya yang berperanan.


Di dalam Asmâ’ul Husnâ terdapat nama-nama Allah yang menunjukkan sifat jalâliyyah dan jamâliyyah-Nya. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa ada dua ”wajah” Allah Azza wa Jalla. Pertama, wajah Allah yang keras lagi berat siksaan-Nya (syadîd al-’iqâb). Inilah yang menunjukkan sifat jalâliyyah Allah. Kedua, wajah lain dari Allah yang Pengasih dan Penyayang; wajah yang selalu siap mendengarkan keluhan dan penderitaan hamba-hamba-Nya; wajah yang setiap malam menunggu kita untuk datang mengadu kepada-Nya; wajah yang senantiasa melimpahi setiap makhluk dengan anugerah-Nya, walaupun makhluk-Nya itu setiap saat bertambah kemaksiatan dan kedurhakaan kepada-Nya. Itulah wajah yang dalam istilah tasawuf disebut sebagai sifat-sifat jamâliyyah, yaitu sifat-sifat yang memperlihatkan keindahan Allah.
Sejatinya, sifat jamâliyyah Allah lebih besar daripada sifat jalâliyyah-Nya. Kasih sayang Allah itu jauh lebih besar daripada kemurkaan-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Swt. berfirman, ”Aku ingin murka melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh makhluk-Ku. Tapi Aku melihat orang-orang tua yang ruku’ dan sujud, anak-anak yang menyusu pada ibunya, dan binatang-binatang yang mencari makanan. Maka, berhentilah kemarahan-Ku.” Jadi, kasih sayang Allah itu jauh lebih besar daripada kemurkaan-Nya. Memang, Allah Swt. murka juga, akan tetapi ridha-Nya jauh lebih cepat dan lebih melimpah.
Di sini, Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya sebagai Adh-Dhârr An-Nâfi, Zat Yang Maha Pemberi Derita sekaligus Zat Yang Maha Pemberi Manfaat. Kedua nama Allah ini seakan berseberangan antara satu sama lain, yang satu mewakili sifat jalâliyyah-Nya dan yang satunya lagi mewakili sifat jamâliyyah-Nya Allah. Penyebutan kedua nama ini secara bersamaan mengindikasikan bahwa Allah-lah pemilik segala sesuatu dan sebagai bukti kesempurnaan-Nya. Ketika Allah mampu memberi derita, teguran, siksaan, dan balasan kepada para pendosa, pada saat bersamaan Dia pun kuasa memberi manfaat sebesar-besarnya, pengampunan, dan hal-hal yang terasa mengenakkan. Karena itu, ketika merujuk sifat Allah, kedua nama ini harus digabungkan tanpa kata penghubung. Ini, tidak lain dan tidak bukan, untuk tidak memberi kesan negatif kepada Allah dari sifat Adh-Dhârr.

Allah Sebagai Adh-Dhârr
Kata Adh-Dhârr, sebagai nama Allah yang kental sifat jalâliyyah-nya, pada kenyataannya sangat dijiwai oleh sifat kasih sayang-Nya. Hal ini terlihat dari pemakaian kata dhurr dalam Al-Quran yang disebutkan sebagai suatu pengandaian (jika). Dalam QS. Al-An’âm [6]:17 misalnya, Allah Swt. berfirman, ”Jika Allah menyentuhkan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu.” Atau, dalam QS. Yâ Sîn [36]: 23, ”Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya, jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?
Dengan demikian, penderitaan yang menimpan manusia, sejatinya bukan karena Allah berkehendak menyusahkan manusia, akan tetapi karena ulah dan kesalahan manusia itu sendiri. Sebab, di dunia ini ada hukum sebab akibat yang telah Allah tetapkan atas segenap makhluk-Nya. Apabila melakukan A, maka B akibatnya. Apabila melakukan B, maka C akibatnya, dan seterusnya. Setiap pilihan senantiasa membawa konsekuensi tertentu. Itulah sebabnya, hukuman yang berbuah penderitaan Allah Swt. tetapkan ketika manusia tersebut memilih untuk menderita, tidak mengindahkan aturan dan nilai-nilai yang telah ditetapkan-Nya.
”Jika kerugian menimpamu, hal itu disebabkan oleh sifatmu yang tidak jujur, ambisimu yang berlebihan, atau kelemahanmu yang diperturutkan. Jika penyakit menimpamu, biasanya itu disebabkan karena kecerobohan dan kelalaianmu dalam menjaga tubuh,” demikian ungkap Syeikh Tosun Al-Jerrahi.
Walaupun demikian, penderitaan yang Allah timpakan kepada manusia, sesungguhnya jauh lebih sedikit dari kenikmatan yang diberikan-Nya. Kita bisa melihat dalam redaksi ayat dalam QS. Al-An’âm [6] ayat 17, bahwa Allah ”yamsaskum (menyentuhkan) mudharat”. Jadi, tidak menimpakan secara keseluruhan, akan tetapi hanya menyentuhkan. Belum lagi kalau kita membandingkan antara jumlah kenikmatan dan kemanfaatan dengan jumlah kemudharatan dan kesusahan yang Allah tetapkan atas kita, yang pertama akan jauh lebih banyak daripada yang kedua. Kemudharatan yang ditimpakan itu pun hanya sedikit dan bersifat permukaannya saja. Bandingkanlah masa-masa sehat kita dengan masa sakitnya, manakah yang lebih banyak? Bandingkanlah masa lapar kita dengan masa kenyang kita, manakah yang lebih banyak? Dan seterusnya.

Allah Sebagai An-Nâfi
Melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta maupun di dalam diri manusia sendiri, Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya sebagai An-Nâfi’. Artinya Allah Yang Maha Pemberi Manfaat. Kata An-Nâfi’ tidak ditemukan dalam Al-Quran, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Walaupun demikian, di dalam Al-Quran ditemukan ayat-ayat yang menguraikan tentang anugerah Allah sambil menyatakan manfaat yang dapat diraih manusia dari anugerah tersebut. Perhatikan ayat-ayat yang menggunakan kata manafi’ (manfaat yang beraneka ragam). Dalam QS. Al-Mu’minûn [23]:21 misalnya, Allah Swt. berfirman, ”Sesungguhnya, pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat (manâfi’u) manfaat yang banyak untukmu, dan sebagian darinya kamu makan.”
Tidak ada satu pun ciptaan dan perbuatan Allah yang sia-sia atau tidak mengandung manfaat. Semuanya membawa bermanfaat dan membawa kebaikan. Lihatlah nyamuk, apakah ia hewan yang membawa manfaat atau hanya sekadar hewan pembawa penyakit yang tidak berguna? Ada banyak kebaikan yang dapat kita ambil dari seekor nyamuk. Karena penyakit yang disebabkan oleh nyamuk itu ada banyak orang yang berkembang hidupnya, muncul pabrik-pabrik obat nyamuk yang menjadi sumber mata pencaharian banyak orang. Dengan nyamuk pula ilmu kedokteran dan biologi berkembang pesat. Itu baru nyamuk, belum lagi jutaan binatang lainnya yang tersebar di muka bumi.
Andai kita mau membuka mata hati, yang tampak di mata, yang terdengar oleh telinga, atau yang teraba oleh kulit, semuanya adalah karunia Allah yang jauh dari kesia-siaan. Semuanya memperlihatkan kemanfaatan yang besar. ”Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ’Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS. ’Ali Imrân [3]: 190-191).
Bahkan, ketika Allah Swt. memberi kita satu kesusahan, pada saat yang bersamaan kesusahan tersebut membawa dua kemudahan, dua kebaikan, dan dua jalan keluar. Ada janji yang pasti dari Allah, ”... Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah [94]: 5-6)

Allah Sebagai Adh-Dhârr An-Nâfi
Dari uraian tersebut, kita bisa melihat bahwa Allah sebagai Adh-Dhârr An-Nâfi mengindikasikan bahwa segala sesuatu berada dalam kekuasan dan pengendalian-Nya. Bukankah keadaan makhluk tidak pernah luput dari salah satu dari kedua hal tersebut, yaitu mudharat dan manfaat? Allah Mahakuasa memberi derita dan kemudharatan, akan tetapi Dia pun Mahakuasa memberi manfaat. Tiada lagi yang memiliki peranan selain diri-Nya. Maka, ”Katakanlah, ’Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (QS. Al-A’râf [7]: 188)
Dengan demikian, seorang yang meneladani asma’ Allah Adh-Dhârr An-Nâfi dituntut untuk meyakini bahwa hanya Allah-lah yang berkuasa menolak mudharat sehingga tidak menimpa hamba-hamba-Nya yang taat, dan menciptakan sebab-sebab sehingga yang melanggar ketentuan-Nya, baik yang terkait dengan hukum syariat maupun hukum alam, akan ditimpa mudharat. Allah pulalah yang berkuasa menganugerahkan manfaat, baik secara langsung melalui sebab-sebab yang diketahui, maupun tidak langsung melalui hukum-hukum alam dan kemasyarakatan yang telah ditetapkan-Nya.
Dari sini, akan lahir sikap ridha ketika suatu mudharat menimpa diri kita, yaitu sikap hati untuk menerima kemudharatan tersebut. Sebab, tidak ridha pun kejadian itu tetap dan telah terjadi. Sikap ridha, sejatinya akan melahirkan ketabahan, ketenangan, dan kekuatan dalam menghadapi segala cobaan, serta menjauhkan kita dari keputusasaan. Akan tetapi, kita pun harus ingat bahwa ridha adalah sikap hati, pikiran dan tubuh memiliki tugasnya sendiri-sendiri. Pikiran menganalisis mengapa kemudharatan itu sampai menimpa kita, adakah yang salah? Setelah ditemukan benang merahnya dan sumber kesalahannya, jadikanlah itu sebagai bahan pelajaran bahwa kita tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama. Tubuh pun dituntut untuk berikhtiar secara optimal untuk menggapai takdir yang lebih baik. Jadi, sikap ridha tidak melahirkan sikap apatis, tetapi memunculkan sikap dinamis.
Penghayatan terhadap asma’ Allah Adh-Dhârr An-Nâfi pun akan menjauhkan seseorang dari berlaku aniaya, berlebihan, dan kezaliman. Andai pun kita dituntut untuk melakukan suatu tindakan penghukuman terhadap orang lain, entah itu kepada anak, istri, murid, anak buah, karyawan, dan orang-orang di mana kita memiliki kekuasaan dan pengaruh atas mereka, maka tindakan penghukuman tersebut diberikan secara proporsional dan tidak berlebihan. Ingatlah, bahwa Allah Azza wa Jalla hanya ”menyentuhkan” kemudharatan, bukan ”menimpakan” kemudharatan. Hukuman secara fisik adalah jalan terakhir, apabila jalan dialog, teguran, dan sanksi lainnya tidak bisa menyadarkan mereka. Tujuannya pun bukan untuk balas dendam, atau menimpakan atas dasar kebencian, tetapi lebih didasarkan pada tanggung jawab mendidik dan mengarahkan yang bersangkutan agar menjadi lebih baik.
Adh-Dhârr An-Nâfi melahirkan pula spirit kebermanfaatan diri. Artinya, Adh-Dhârr An-Nâfi menjadi sumber inspirasi untuk menjadi khairunnâs, yaitu sosok yang menjadi sumber manfaat dan kebaikan bagi orang lain. Ada satu kisah menarik dari negara Uganda. Kisah nyata ini pernah difilmkan oleh Franklin Covey Co.
Sebut saja Mr. Stone. Ia adalah seorang pemain sepakbola yang sangat berbakat. Keahliannya dalam menggocek si kulit bundar telah membawanya masuk salah satu tim profesional di negaranya. Saat itu, usianya baru 18. Semakin hari kariernya semakin menanjak hingga ia dipercaya memperkuat tim nasional negaranya untuk beberapa pertandingan internasional. Sebuah pencapaian yang sangat diidam-idamkan sebagian besar anak muda Uganda. Karena bakat dan keterampilannya itu, Mr. Stone pun mulai dilirik tim-tim sepakbola profesional dari Eropa. Sudah terbayang kalau ia akan sering muncul di televisi, menjadi duta bangsanya di ajang komperisi sepakbola paling prestisius di dunia, gaji besar, fasilitas lengkap, menjadi terkenal, hidup terjamin, dan diidolakan banyak orang.
Dalam sebuah pertandingan, sebelum ia direkrut salah satu tim Eropa, bencana itu pun datang. Saat hendak menendang bola ke gawang, seorang pemain lawan merobohkannya dari belakang hingga membuat ikat persendian lututnya cedera parah. Kejadian itu bukan kecelakaan, itu disengaja. Kejadian itu pula yang kemudian menamatkan karier profesionalnya.
Di sebuah negara di mana balas dendam dan pembunuhan adalah biasa, di mana puluhan tahun perang dan korupsi telah membawa kekacauan dan permusahan yang akut, kepada pemain yang telah mencederainya itu, Mr. Stone hanya mengatakan, ”Jangan khawatir. Kamu cuma melakukan tugasmu ’kan?”
Kemampuan pria ini dalam memaafkan dan membuang jauh balas dendam, dan dalam menimpakan kemudharatan kepada orang lain, setelah sekian lama ia merintis karier sebagai pemain sepakbola profesional, sungguh luar biasa.
Setelah sembuh dari cedera dan memutuskan diri gantung sepatu, Mr. Stone tidak larut dalam diam dan kekecewaan. Ia ingin sisa-sisa uang dan keterampilannya bermain bola bisa pula dirasakan manfaatnya oleh orang lain. Bersama beberapa relawan lainnya, ia mendirikan klub sepakbola lokal yang diperuntukkan untuk anak-anak yang kurang beruntung dan bermasalah, baik secara ekonomi, budaya, maupun sosial. Tidak ada biaya yang dipungut untuk menjadi anggota dari klub yang dikelolanya itu.
Ia mengatakan tentang tim barunya tersebut, ”Ada anak yang terlibat narkoba. Ada tukang copet. Ada juga anak-anak berandal yang tidak jelas arah hidupnya. Kami berusaha memberi mereka arah, juga beberapa keterampilan, lalu beberapa sumber daya, lalu kerangka berpikir yang diharapkan bisa membantu kehidupan mereka kelak. Pokoknya, kami tidak memandang mereka sebagai calon pemain sepakbola. Kami hanya ingin mereka menjadi warga negara yang baik. Kami ingin mereka bisa mengandalkan dirinya sendiri, memanfaatkan waktu dan keterampilan yang mereka miliki sehingga bisa membantu mereka menjadi lebih baik.”
Anak-anak bermasalah yang dibimbing Mr. Stone, pada dasarnya adalah anak-anak yang dibuang keluarganya dan ditolak komunitas masyarakatnya serta dicap sebagai para pembuat keonaran dan sumber masalah. Stone benar-benar melimpahkan kaish sayang dan perhatiannya. Mereka diberi kepercayaan. Katanya, kasih sayang adalah kunci kesuksesan timnya, ”Kami pertahankan anak-anak ini hanya dengan kasih sayang. Kami tidak memberi mereka uang dan barang. Tetapi mereka tetap datang karena mereka kerasan dalam tim ini. Kasihlah yang menjadikan segalanya. Anda tidak akan pernah bahagia kecuali kalau Anda memiliki kasih sayang. Jadi, kami pun sangat mengupayakan hal itu. Itulah dasar tim kami. Kasih sayang dan pengampunan.”
Arahan Mr. Stone tentang makna kasih sayang dan pengampunan, telah menjadi oleh-oleh berharga yang dibawa anak-anak itu saat pulang kepada keluarga dan komunitasnya. Pada akhirnya, mereka pun bisa belajar mengasihi dan menghargai orang-orang di sekitarnya, dan belajar mengampuni mereka.

Sebuah Renungan
Hidup adalah ujian. Hidup itu tidak lebih dari berpindahnya kita dari satu ujian kepada ujian. Dalam QS. Al-Mulk [67] ayat 2, Allah Swt. berfirman, “(Allah-lah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Dalam setiap ujian, tentunya ada aturan mainnya, ada standarnya, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Seseorang dianggap sukses jika ia berhasil melewati ujian dengan tetap mematuhi aturan-aturan dari Zat yang memberinya ujian. Sebagai sebuah contoh, kita bisa lihat prosesi makan. Allah Swt. mengaruniakan kita rasa lapar. Sesungguhnya, lapar ini adalah ujian, mampukah kita melewatinya atau tidak? Ketika kita lapar, otomatis kita membutuhkan makanan. Di sini kita dihadapkan pada dua ujian. Pertama, dari proses pemilihan zat makanannya, apakah kita akan memilih makanan yang halal dan baik, apakah kita memilih makanan yang halal tetapi tidak baik, apakah kita memilih makanan yang tidak halal tetapi kelihatannya baik? Kedua, dari proses mendapatkannya, apakah kita akan mencarinya dengan cara halal ataukah dengan cara haram? Dalam proses ini Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan aturan mainnya, ada yang boleh dan ada pula yang tidak. Seseorang dianggap lulus ujian jika ia mampu menjalani proses sesuai aturan.
Ketika berhasil melewati ujian ini, kita akan ada mendapai ujian selanjutnya, yaitu berupa hadirnya makanan yang halal. Jangan dikira, selain sebagai nikmat, makanan halal pun akan menjadi ujian. Seperti halnya tahap pertama, pada tahap kedua ini ada lagi aturan main yang harus kita patuhi. Apakah kita mau mensyukurinya atau tidak? Saat memakannya, apakah kita menjalankan adab-adabnya atau tidak? Jika makanannya tidak sesuai selera, apakah kita mencelanya atau tidak? Jika sesuai selera, apakah kita berlebihan memakannya atau tidak? Apakah kita mau berbagi dengan orang lain yang membutuhkan atau tidak? dan seterusnya. Ada sekian banyak pilihan. Kita dianggap sukses melewati ujian jika cara kita memperlakukan makanan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Banyak orang yang gagal menjalani proses ini. Boleh jadi makanannya halal zat dan cara mendapatkannya, akan tetapi ia gagal dalam memanfaatkannya.
Di sinilah pentingnya ilmu dan kesabaran. Artinya, bagaimana kita bisa melewati ujian jika kita tidak mengetahui aturan main dari ujian tersebut. Aturan mainnya adalah nilai-nilai agama yang bersumber pada Al-Quran, hadits Nabi, dan penjabaran para ulama tentang keduanya. Karena itu, kita harus banyak belajar agar mengetahui dan bisa memahami, untuk kemudian mengamalkannya. Nah, dalam proses pengamalannya kita memerlukan kesabaran. Tidak mungkin kita bisa melewati ujian tanpa adanya kesabaran. Karena hidup adalah perpindahan dari satu ujian ke ujian yang lain, maka kita pun harus berpindah dari satu kesabaran ke kesabaran yang lain. Seperti halnya prosesi makan tadi; dari mulai mencarinya, memilihnya, hingga menikmatinya, kita harus menyertakan ilmu dan kesabaran yang sesuai untuk setiap kondisi. Prinsipnya, semakin berat ujian, semakin besar pula kesabaran yang harus kita miliki.
Walau demikian, tidak selamanya kita sukses menghadapi ujian. Adakalanya kita mengalami kegagalan. Namun pada saat bersamaan, kegagalan tersebut menjadi ujian lagi bagi kita, apakah kita mampu menyikapinya dengan baik atau malah membuat putus asa. Keberhasilan menyikapi kegagalan, hakikatnya adalah kesuksesan yang luar biasa.
Hidup adalah pilihan, dan pilihan adalah ujian. Kemampuan kita dalam memilih dan mengatasi ujianlah yang akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas kemudharatan dan kemanfaatan yang Allah Swt. takdirkan kepada kita. (EMSOE ABDURRAHMAN)