”Aku adalah perbandaharaan tersembunyi.
Aku
ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk.”
Hadits Qudsi
Seorang guru
pernah bertanya kepada murid-muridnya. ”Menurut pemahaman kalian ... apakah
Tuhan yang butuh kepada manusia ataukah manusia yang butuh kepada Tuhan?”
Murid-murid yang ditanya hampir semuanya menjawab bahwa manusialah yang
butuh kepada Tuhan, bukan sebaliknya Tuhan yang butuh kepada manusia. Alasan
yang dikemukakan pun sangat logis, bahwa Tuhan itu Zat Yang Mahakuasa sedangkan
manusia itu makhluk yang sangat lemah, tidak mungkin dong yang Mahakuasa membutuhkan yang ”mahalemah”. Tuhan pun, kata mereka, adalah Zat Yang
Maha Pencipta, sedangkan manusia adalah yang diciptakan. Mana mungkin yang
menciptakan membutuhkan yang diciptakan. Yang terjadi pasti sebaliknya, yang
diciptakan akan sangat bergantung pada yang menciptakan.
Alasan yang diungkapkan para murid itu benar adanya. Betapa tidak, kita
tidak mungkin ada di dunia apabila tidak ada Zat yang menciptakan. Hal ini saja
sudah membuktikan bahwa tanpa adanya kehendak Yang Mahakuasa manusia—dan juga
alam semesta beserta isinya—tidak mungkin ada.
Namun, di sinilah persoalannya sekaligus jawabannya, kata sang guru. Justru
Tuhanlah yang pertama kali membutuhkan manusia sehingga Dia dengan ilmu dan
kuasa-Nya menciptakan makhluk yang akan sangat membutuhkan dan bergantung
kepada-Nya. Jadi sebenarnya, Tuhan yang butuh kepada manusia sehingga Dia
dikenal eksistensi-Nya. Apabila kemudian, manusia teramat membutuhkan-Nya, itu
merupakan implikasi logis dari posisinya sebagai makhluk. Antara Tuhan dan yang
diciptakannya dengan demikian ada timbal balik yang saling ”melengkapi”. Begitu
kira-kira penjelasan Pak Guru di hadapan murid-murid ngajinya yang tampak ragu
dengan penjelasan tersebut.
Apabila kita renungkan, sekelumit cerita yang bernada filosofis ini
mengandung sebuah kebenaran yang boleh jadi akan mengejutkan sebagian dari
kita. Bukankah beragam dalil dari Al-Quran dan hadits menginformasikan bahwa
manusia tidak boleh menggantungkan harapannya kecuali kepada Allah? Itu sangat
benar. Namun, apabila kita merujuk nash-nash yang ada, kita pun akan menemukan keterangan
yang mengungkapkan keinginan Tuhan; Allah Azza
wa Jalla untuk dikenal oleh makhluk-Nya, khususnya manusia. Dalam sebuah
hadits qudsi, Allah SWT berfirman, ”Aku adalah perbandaharaan tersembunyi. Aku ingin dikenal, maka
Kuciptakan makhluk.”
Pernyataan bernada metaforis ini, bahwa Al-Khâliq
ingin dikenal oleh makhluk-Nya, mengandung sebuah pesan tersirat yang sangat
dalam maknanya. Allah SWT
menciptakan segala yang ada dengan cinta dan kasih sayang-Nya. Dengan demikian,
bentangan alam semesta lahir karena semangat cinta-Nya. Segenap makhluk yang
ada di dalamnya, termasuk manusia, lahir karena cinta dan terwujud dari
citra-Nya.
Ibnu Arabi menjelaskan hal ini dengan sangat indah. ”Karena manusia ada
berdasarkan citra Ilahi, dia pun menjadi tidak tahan apabila terpenjara. Lalu,
Tuhan membebaskannya dari keterpenjaraan itu melalui Napas Yang Maha Pengasih,
karena napas-Nya adalah sifat dari cinta-Nya. Dengannya, Tuhan menggambarkan
diri-Nya dalam kata-kata, ’Aku ingin
dikenal’. Zat Yang Mahakuasa menciptakan manusia melalui Napas Yang Maha
Pengasih. Itulah mengapa, Napas Ilahi ini identik dengan eksistensi alam
semesta. Alam semesta pun ’mengenal-Nya’ sebagaimana yang diinginkan-Nya.
Dengan demikian, alam semesta ini identik dengan rahmat dan kasih sayang-Nya.”
Seorang ulama besar masa Abad Pertengahan, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani,
mengomentari pula pernyataan Tuhan bahwa ”Aku ingin dikenal”. Menurut
Al-Jailani, pernyataan ini menuntut manusia agar berusaha untuk mengenal-Nya.
Dia telah menganugerahkan manusia mata fisik (mata kasar) agar dapat mengindera
segala hal yang lahir. Dia pun melengkapi mata fisik tersebut dengan mata batin
(bashîrah) sehingga manusia bisa
melihat hakikat di luar pandangan lahir. Apabila bashîrah sudah terbuka, Allah Azza
wa Jalla pun akan membukakan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya yang
tidak bisa dilihat dengan mata lahir. Itulah yang terjadi pada Rasulullah saw.
ketika beliau melakukan perjalanan Isra Mi’raj, ”Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami
...” (QS Al-Isra’, [17]:1)
”Keberadaan Allah ditunjukkan dengan ciptaan-Nya.
Pikirkanlah ciptaan-Nya, maka engkau akan sampai kepada
Dia.
Seorang Mukmin yang arif memiliki mata lahir dan mata
batin.
Ia melihat semua ciptaan-Nya di bumi dengan mata
lahirnya,
dan melihat semua ciptaan-Nya di langit dengan mata
batinnya.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara Allah SWT — yang tiada terbatas ilmu
dan kesempurnaan-Nya itu — memperkenalkan diri-Nya kepada manusia — yang
memiliki keterbatasan dalam ilmu dan kapabilitas dirinya? Sampai di mana pula
manusia bisa memahami dan mengenal Zat Allah SWT?
Salah satu jawaban yang dapat diungkapkan di sini adalah bahwa Allah SWT memperkenalkan
Diri-Nya dengan Nama-Nama-Nya yang agung. Kita sering menyebutnya dengan Asmâ’ul Husna. Secara proaktif, Allah SWT memperkenalkan diri
melalui nama dan sifat-sifat-Nya itu melalui firman-Nya dan lisan utusan-Nya.
Dalam QS Al-A’râf ayat 180
misalnya, Allah SWT berfirman, ”Hanya milik
Allah Asmâ’ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang
indah itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan.”
Sejumlah riwayat yang sangat popular menyatakan
bahwa jumlah Asmâ’ul Husna adalah sembilan puluh sembilan. Ini tidak berarti
bahwa nama dan sifat Allah hanya sejumlah itu. Para ulama yang juga merujuk
Al-Quran menemukan jumlah nama atau sifat yang berbeda-beda. Muhammad Hussain Ath-Thabathaba’i
dalam Tafsir Al-Mîzân misalnya, mengumpukan tidak kurang dari 127 nama,
Ibnu Barjam Al-Andalusi mengumpulkan sebanyak 132 nama, Imam Al-Qurthubi
mengumpulkan lebih dari 200 nama, demikian pula ulama-ulama lainnya. Bahkan,
menurut Abu Bakar Ibnu ‘Arabi, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir, nama Tuhan yang
berhasil dikumpulkan para ulama dari Al-Quran dan Hadits ada sebanyak seribu
nama.
Berapa pun jumlahnya, nama-nama ini semuanya dapat dijangkau oleh nalar dan
pemahaman manusia. Akan tetapi, agar tidak kebablasan
dalam memahaminya, pemikiran atau pemahaman manusia pun harus ”digantung”. Apa
gantungannya? Itulah konsep laitsa
kamitslihi syai’ûn, bahwa Allah tidak mungkin serupa atau diserupai oleh sesuatu
pun dari makhluk-Nya. Dengan demikian, ketika Allah SWT memperkenalkan diri-Nya
sebagai Yang Mahakuasa, jangan gambarkan kekuasaan Allah itu dengan kekuasaan
tertinggi yang kita kenal atau kita bayangkan, semisal presiden, raja, kaisar,
atau aneka jabatan dan kekuasaan yang dimiliki manusia. Manusia harus
senantiasa mengaitkan pemahamannya bahwa hakikat Allah SWT tidak sebagaimana
yang dipahami oleh dirinya. Kita meyakini bahwa Allah SWT itu Mahaluas
ilmu-Nya, akan tetapi luasnya ilmu Allah itu—dalam realitasnya—jauh melebihi
bayangan yang ada dalam benak kita. Jadi, manusia memiliki keterbatasan dalam
mengenal Dia. Dengan demikian, sekali lagi, Allah SWT memperkenalkan diri-Nya
kepada manusia sesuai dengan tingkat intelektualitas manusia. Ambil contoh,
ketika kita mengajak kucing makan, kita tidak menggunakan bahasa manusia untuk
mengajaknya, akan tetapi menggunakan bahasa yang dipahami oleh kucing. Apa yang
kita pahami tentang kuasa, kesempurnaan, ilmu, kehendak, kebijaksanaan,
keagungan, dan segala kelebihan-Nya, hanya sekelumit atau sedikit saja dari
hakikat yang Dia miliki.
Dengan kata lain, manusia mengenal Allah
hanyalah pada nama atau sifat-Nya saja, itu pun dengan sangat terbatas. Manusia
tidak akan mampu mengenal hakikat dan Zat-Nya. Kita dapat mengenal kecerdasan
dan kepiawaian seorang penyair dari bait-bait syair yang ditulisnya. Kita dapat
mengakui kehalusan seni seseorang pemahat dari patung yang dibuatnya. Walau
tidak pernah bertemu secara langsung, kita dapat mengenalnya sebagai pencipta
lagu yang terampil dan pemahat ulung melalui karya-karyanya. Pengenalan atau
pertemuan maknawi bisa lebih intens daripada pertemuan fisik secara langsung
yang tidak menangkap makna apa-apa.
Terkait hal ini, Ustadz Abdul Karim Al-Khatib
(dalam Shihab, 1998: xxii) mengatakan, “Yang melihat atau mengenal Tuhan, pada
hakikatnya hanya melihat-Nya melalui wujud yang terhampar di bumi serta yang
terbentang di langit. Yang demikian itu adalah penglihatan tidak langsung serta
memerlukan pandangan hati yang tajam, akal yang cerdas lagi kalbu yang bersih.
Mampukah Anda dengan membaca kumpulan syair seorang penyair atau mendengar
gubahan seorang komposer, melihat lukisan seorang pelukis atau pahatan seorang
pemahat? Mampukah Anda dengan melihat hasil karya seni mereka, mengenal mereka
tanpa melihat mereka secara langsung? Memang, Anda bisa mengenal selayang
pandang tentang mereka, bahkan boleh jadi melalui imajinasi, Anda dapat
membayangkannya sesuai dengan kemampuan Anda membaca karya seni, akan tetapi
Anda sendiri pada akhirnya akan sadar bahwa gambaran yang dilukiskan oleh
imajinasi Anda menyangkut para seniman itu, adalah bersifat pribadi dan
merupakan ekspresi dari perasaan Anda sendiri. Demikian juga yang dialami orang
lain yang berhubungan dengan para seniman itu, masing-masing memiliki pandangan
pribadi yang berbeda dengan yang lain. Kalau pun ada yang sama, persamaan itu dalam bentuk gambaran umum
menyangkut kekaguman dalam berbagai tingkat. Kalau dalam memandang seniman
melalui karya-karya mereka sudah demikian adanya, bagaimana pula dengan Tuhan,
sedang Anda adalah setetes dari ciptaan-Nya?”
Al-Ghazali mengomentari pengenalan melalui sifat-sifat
tersebut, “Barangsiapa yang mendengar asma’ Allah, memahaminya dari segi
tafsiran dan sifatnya, serta meyakini bahwa makna tersebut adalah milik Allah,
sesungguhnya ia baru memperoleh bagian yang kecil saja daripadanya dan masih
rendah tingkatannya.”
Pertemuan dengan Allah melalui nama atau sifat-sifat-Nya
itu memiliki tingkatan yang berbeda-beda sesuai dengan pemahaman, penghayatan,
dan pengalaman yang telah dijalani. Setidaknya, ada tiga proses yang melingkupi
hal ini. Pertama, mengetahui dan yakin bahwa Allah memiliki sifat-sifat
tersebut. Kedua, memahami makna-makna yang terkadung dalam sifat tersebut dan
menghayati wujud makna tersebut pada fenomena alam dan peristiwa kehidupan yang
dilihat dan dialaminya. Ketiga, selain menghayati wujud makna sifat itu, seseorang
berusaha menyerap dan merealisasikan sifat-sifat tersebut pada tindakan dan
perilakunya.
Di sinilah kita bertemu dengan sebuah konsep yang
diajarkan Nabi saw bahwa tugas terpenting manusia di dunia adalah takhaluq bi akhlaqillâh, atau ”berakhlak
dengan akhlak Allah”. Di sini tampak sebuah proses di mana manusia wajib
mengenal nama-nama Allah, untuk kemudian menjadikannya model dan proyeksi dalam
bertingkah laku sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia. Terlebih dengan
kedudukan sebagai khalifah alias wakil Allah di muka bumi, manusia harus menyeleraskan
diri dengan Allah SWT sebagai pihak yang memberikan perintah.
Memaknai Allah sebagai Zat Pencipta
Sebagaimana telah
diungkapkan di atas, Allah SWT memiliki sejumlah nama yang teramat indah.
Jumlah yang popular di kalangan kaum Muslimin adalah 99 nama. Setiap nama
mewakili sejumlah sifat dan keutamaan, di mana sifat dan keutamaan tersebut
saling berhubungan dan saling melengkapi antara satu sama lain.
Karena sejumlah keterbatasan, penulis hanya akan mengambil tiga nama dari
Asmâ’ul Husna yang mengerucut pada makna ”penciptaan”. Ketiga nama tersebut
adalah Al-Khâliq, Al-Bâri, dan Al-Mushawwir. Ketiga nama ini terangkai indah dalam QS Al-Hasyr
ayat 24. ”Huwwa Allâhu Al-Khâliq Al-Bâri Al-Mushawwiru;
Dialah Allah Yang Maha Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Maha Membentuk ...”
Sebagai nama Tuhan, sementara ulama menyamakan
makna Al-Khâliq dengan Al-Bâri’ dan Al-Mushawwir. Memang
ketiga nama ini memiliki kesamaan makna, yaitu bahwa ketiganya berkaitan dengan
ciptaan. Akan tetapi, masing-masing nama memiliki makna tersendiri dan berbeda
dengan lainnya. Allah sebagai Khâliq adalah yang mewujudkan sesuai
dengan ukuran yang ditetapkan-Nya, sedang mewujudkannya saja dari ketiadaan
menuju ada–tanpa ukuran—itulah Al-Bâri’. Adapun Al-Mushawwir
berarti Allah memberi ciptaan-Nya bentuk dan rupa. Demikian ungkap Abu Hamid Al-Ghazali.
Untuk mempermudah pemahaman, penulis kitab
monumental berjudul Ihyâ ’Ulumuddin
ini, memberikan sebuah ilustrasi menarik yang menggambarkan ketiga Nama Tuhan
yang terangkai dalam satu tersebut. Walaupun makna ketiganya terkesan sama,
yaitu mengarah pada penciptaan, akan tetapi masih-masing memiliki penekanan dan
kesa yang berbeda dalam proses penciptaan tersebut.
”Layaknya sebuah bangunan, dia membutuhkan seorang
yang mengukur apa dan berapa banyak kayu, bata, luas tanah, jumlah bangunan
yang dibutuhkan, termasuk panjang dan lebarnya. Ini dilakukan oleh seorang
arsitek yang akan membuat sketsa atau gambar (blue print) dari bangunan tersebut. Setelah itu, dibutuhkan
orang-orang yang mengerjakannya sehingga tercipta bangunan sebagaimana yang ada
dalam rancangan. Selanjutnya, masih dibutuhkan orang yang memperhalus dan
memperindah bangunan, yang tentu saja ditangani oleh seorang ahli yang berbeda
dari pekerja bangunan. Inilah yang biasa terjadi dalam membangun sebuah
bangunan. Dalam menciptakan sesuatu, Allah SWT melakukan ketiganya. Oleh karena
itu, Dia adalah Al-Khâliq, Al-Bâri,
dan Al-Mushawwir.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, Al-Khâliq
mengandung arti yang spesifik, yaitu ”menciptakan sesuatu tanpa ada contoh
sebelumnya” dan ”pengaturan yang sangat teliti berdasarkan ukuran-ukuran
tertentu”. Ustadz Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa penciptaan, sejak proses
pertama hingga lahirnya sesuatu dengan ukuran tertentu, bentuk, rupa, cara dan
substansi tertentu dilukiskan dan dapat dipadatkan dalam nama Al-Khâlik.
Adapun Al-Bâri’ berarti ”menciptakan
segala sesuatu dari asalnya tidak ada” dan ”mengadakan segala sesuatu dengan
harmonis”. Laleh Bakhtiar mengungkapkan bahwa Allah menjelmakan sifat Al-Bâri’,
Yang Maha Mengadakan dengan mengadakan secara sangat serasi, di mana tidak
hanya tiap-tiap benda itu sendiri, tetapi juga semua makhluk lain dalam
kaitannya satu sama lain. Semuanya saling berkaitan. Jika satu bagian diadakan,
semua baginya dihasilkan juga karena fungsi satu hal bergantung pada fungsi dari
yang lainnya”.
Sedangkan Al-Mushawwir menunjukkan makna bahwa
Allah SWT yang memberi bentuk dan rupa, cara, dan substansi bagi ciptaan-Nya
dalam kualitas yang terbaik. Sebagai manifestasi dari Al-Mushawwir, kita dapat melihat
bentuk, rupa dan fungsi bermacam benda di semesta alam dengan sangat indah,
detail, dan serasi.
PENGINDERAAN MANUSIA dan PERSEPSI OTAK
Untuk
menghasilkan lukisan yang baik dan indah, seorang seniman harus terampil
sekaligus jeli dalam mengamati segala hal yang ada di sekitarnya. Seniman yang
baik adalah mereka yang pandai menangkap detail kecil akan tetapi sangat
penting yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Dia pandai melihat bagaimana
cahaya mengenai benda-benda, warna-warni pada sayap kupu-kupu, atau bagaimana
embun yang berkilau pada dedaunan, dan kemudian mampu meletakkan pengamatannya
itu pada gambar atau lukisan yang dibuatnya. Hanya dengan kesungguhan,
kejelian, dan kecerdasan dalam memperhatikan dunia di sekitarnya, seseorang
dapat mengetahui apa itu keindahan, kecantikan, dan kebahagiaan, terkadang pula
aneka ketidakpantasan dan kengerian.
Sesungguhnya,
Allah SWT melebihi semua kemampuan yang digambarkan tersebut. Dia adalah
”Seniman Yang Mahacerdas” yang keindahan karya-Nya tidak mungkin ditandingi
siapapun. Jika manusia hanya mampu menghasilkan lukisan yang statis, Allah SWT
mampu menciptakan lukisan semesta alam yang hidup, dinamis, proporsional,
harmonis dalam setiap unsurnya, dengan detail dan sistematika yang mengagumkan.
Hal ini terjadi karena Dia adalah Al-Khâliq,
Al-Bâri, dan Al-Mushawwir.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dan
mendalam tentang nama-nama Allah tersebut, pembaca bisa merujuk pada buku-buku
yang membahas tentang Asmâ’ul Husna. Di sini, penulis hanya ingin menekankan
bahwa proses penciptaan alam semesta dan semua yang ada, sejak awal sampai
akhir, Allah SWT melakukannya dengan sangat cerdas, sempurna, dan tidak ada
cacat sedikit pun di dalamnya. Ada kreativitas luar biasa yang ditunjukkan
Allah SWT karena Dia menciptakan sesuatu tanpa contohnya terlebih dahulu. Ada keunikan
sekaligus harmoni yang tiada terkira dari semua ciptaan-Nya. Ada ketelitian,
proporsionalitas, keseimbangan, keserasian, dan keindahan dalam
karya-karya-Nya. Gambaran ini, selain menunjukan kemahabesaran Allah SWT,
sekaligus menjadi tantangan bagi manusia sebagai khalifah Allah untuk bisa
meneladaninya. ***