Sabtu, 30 Maret 2013

Ketika ALLAH Ingin Dikenal


Aku adalah perbandaharaan tersembunyi.
Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk.”

Hadits Qudsi

Seorang guru pernah bertanya kepada murid-muridnya. ”Menurut pemahaman kalian ... apakah Tuhan yang butuh kepada manusia ataukah manusia yang butuh kepada Tuhan?”
Murid-murid yang ditanya hampir semuanya menjawab bahwa manusialah yang butuh kepada Tuhan, bukan sebaliknya Tuhan yang butuh kepada manusia. Alasan yang dikemukakan pun sangat logis, bahwa Tuhan itu Zat Yang Mahakuasa sedangkan manusia itu makhluk yang sangat lemah, tidak mungkin dong yang Mahakuasa membutuhkan yang ”mahalemah”. Tuhan pun, kata mereka, adalah Zat Yang Maha Pencipta, sedangkan manusia adalah yang diciptakan. Mana mungkin yang menciptakan membutuhkan yang diciptakan. Yang terjadi pasti sebaliknya, yang diciptakan akan sangat bergantung pada yang menciptakan.
Alasan yang diungkapkan para murid itu benar adanya. Betapa tidak, kita tidak mungkin ada di dunia apabila tidak ada Zat yang menciptakan. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa tanpa adanya kehendak Yang Mahakuasa manusia—dan juga alam semesta beserta isinya—tidak mungkin ada.
Namun, di sinilah persoalannya sekaligus jawabannya, kata sang guru. Justru Tuhanlah yang pertama kali membutuhkan manusia sehingga Dia dengan ilmu dan kuasa-Nya menciptakan makhluk yang akan sangat membutuhkan dan bergantung kepada-Nya. Jadi sebenarnya, Tuhan yang butuh kepada manusia sehingga Dia dikenal eksistensi-Nya. Apabila kemudian, manusia teramat membutuhkan-Nya, itu merupakan implikasi logis dari posisinya sebagai makhluk. Antara Tuhan dan yang diciptakannya dengan demikian ada timbal balik yang saling ”melengkapi”. Begitu kira-kira penjelasan Pak Guru di hadapan murid-murid ngajinya yang tampak ragu dengan penjelasan tersebut.
Apabila kita renungkan, sekelumit cerita yang bernada filosofis ini mengandung sebuah kebenaran yang boleh jadi akan mengejutkan sebagian dari kita. Bukankah beragam dalil dari Al-Quran dan hadits menginformasikan bahwa manusia tidak boleh menggantungkan harapannya kecuali kepada Allah? Itu sangat benar. Namun, apabila kita merujuk nash-nash yang ada, kita pun akan menemukan keterangan yang mengungkapkan keinginan Tuhan; Allah Azza wa Jalla untuk dikenal oleh makhluk-Nya, khususnya manusia. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman, Aku adalah perbandaharaan tersembunyi. Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk.”
Pernyataan bernada metaforis ini, bahwa Al-Khâliq ingin dikenal oleh makhluk-Nya, mengandung sebuah pesan tersirat yang sangat dalam maknanya. Allah SWT menciptakan segala yang ada dengan cinta dan kasih sayang-Nya. Dengan demikian, bentangan alam semesta lahir karena semangat cinta-Nya. Segenap makhluk yang ada di dalamnya, termasuk manusia, lahir karena cinta dan terwujud dari citra-Nya.
Ibnu Arabi menjelaskan hal ini dengan sangat indah. ”Karena manusia ada berdasarkan citra Ilahi, dia pun menjadi tidak tahan apabila terpenjara. Lalu, Tuhan membebaskannya dari keterpenjaraan itu melalui Napas Yang Maha Pengasih, karena napas-Nya adalah sifat dari cinta-Nya. Dengannya, Tuhan menggambarkan diri-Nya dalam kata-kata, ’Aku ingin dikenal’. Zat Yang Mahakuasa menciptakan manusia melalui Napas Yang Maha Pengasih. Itulah mengapa, Napas Ilahi ini identik dengan eksistensi alam semesta. Alam semesta pun ’mengenal-Nya’ sebagaimana yang diinginkan-Nya. Dengan demikian, alam semesta ini identik dengan rahmat dan kasih sayang-Nya.”
Seorang ulama besar masa Abad Pertengahan, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, mengomentari pula pernyataan Tuhan bahwa ”Aku ingin dikenal”. Menurut Al-Jailani, pernyataan ini menuntut manusia agar berusaha untuk mengenal-Nya. Dia telah menganugerahkan manusia mata fisik (mata kasar) agar dapat mengindera segala hal yang lahir. Dia pun melengkapi mata fisik tersebut dengan mata batin (bashîrah) sehingga manusia bisa melihat hakikat di luar pandangan lahir. Apabila bashîrah sudah terbuka, Allah Azza wa Jalla pun akan membukakan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya yang tidak bisa dilihat dengan mata lahir. Itulah yang terjadi pada Rasulullah saw. ketika beliau melakukan perjalanan Isra Mi’raj, ”Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami ...” (QS Al-Isra’, [17]:1)

”Keberadaan Allah ditunjukkan dengan ciptaan-Nya.
Pikirkanlah ciptaan-Nya, maka engkau akan sampai kepada Dia.
Seorang Mukmin yang arif memiliki mata lahir dan mata batin.
Ia melihat semua ciptaan-Nya di bumi dengan mata lahirnya,
dan melihat semua ciptaan-Nya di langit dengan mata batinnya.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara Allah SWT — yang tiada terbatas ilmu dan kesempurnaan-Nya itu — memperkenalkan diri-Nya kepada manusia — yang memiliki keterbatasan dalam ilmu dan kapabilitas dirinya? Sampai di mana pula manusia bisa memahami dan mengenal Zat Allah SWT?
Salah satu jawaban yang dapat diungkapkan di sini adalah bahwa Allah SWT memperkenalkan Diri-Nya dengan Nama-Nama-Nya yang agung. Kita sering menyebutnya dengan Asmâ’ul Husna. Secara proaktif, Allah SWT memperkenalkan diri melalui nama dan sifat-sifat-Nya itu melalui firman-Nya dan lisan utusan-Nya. Dalam QS Al-A’râf ayat 180 misalnya, Allah SWT berfirman, Hanya milik Allah Asmâ’ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang indah itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Sejumlah riwayat yang sangat popular menyatakan bahwa jumlah Asmâ’ul Husna adalah sembilan puluh sembilan. Ini tidak berarti bahwa nama dan sifat Allah hanya sejumlah itu. Para ulama yang juga merujuk Al-Quran menemukan jumlah nama atau sifat yang berbeda-beda. Muhammad Hussain Ath-Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mîzân misalnya, mengumpukan tidak kurang dari 127 nama, Ibnu Barjam Al-Andalusi mengumpulkan sebanyak 132 nama, Imam Al-Qurthubi mengumpulkan lebih dari 200 nama, demikian pula ulama-ulama lainnya. Bahkan, menurut Abu Bakar Ibnu ‘Arabi, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir, nama Tuhan yang berhasil dikumpulkan para ulama dari Al-Quran dan Hadits ada sebanyak seribu nama.
Berapa pun jumlahnya, nama-nama ini semuanya dapat dijangkau oleh nalar dan pemahaman manusia. Akan tetapi, agar tidak kebablasan dalam memahaminya, pemikiran atau pemahaman manusia pun harus ”digantung”. Apa gantungannya? Itulah konsep laitsa kamitslihi syai’ûn, bahwa Allah tidak mungkin serupa atau diserupai oleh sesuatu pun dari makhluk-Nya. Dengan demikian, ketika Allah SWT memperkenalkan diri-Nya sebagai Yang Mahakuasa, jangan gambarkan kekuasaan Allah itu dengan kekuasaan tertinggi yang kita kenal atau kita bayangkan, semisal presiden, raja, kaisar, atau aneka jabatan dan kekuasaan yang dimiliki manusia. Manusia harus senantiasa mengaitkan pemahamannya bahwa hakikat Allah SWT tidak sebagaimana yang dipahami oleh dirinya. Kita meyakini bahwa Allah SWT itu Mahaluas ilmu-Nya, akan tetapi luasnya ilmu Allah itu—dalam realitasnya—jauh melebihi bayangan yang ada dalam benak kita. Jadi, manusia memiliki keterbatasan dalam mengenal Dia. Dengan demikian, sekali lagi, Allah SWT memperkenalkan diri-Nya kepada manusia sesuai dengan tingkat intelektualitas manusia. Ambil contoh, ketika kita mengajak kucing makan, kita tidak menggunakan bahasa manusia untuk mengajaknya, akan tetapi menggunakan bahasa yang dipahami oleh kucing. Apa yang kita pahami tentang kuasa, kesempurnaan, ilmu, kehendak, kebijaksanaan, keagungan, dan segala kelebihan-Nya, hanya sekelumit atau sedikit saja dari hakikat yang Dia miliki.
Dengan kata lain, manusia mengenal Allah hanyalah pada nama atau sifat-Nya saja, itu pun dengan sangat terbatas. Manusia tidak akan mampu mengenal hakikat dan Zat-Nya. Kita dapat mengenal kecerdasan dan kepiawaian seorang penyair dari bait-bait syair yang ditulisnya. Kita dapat mengakui kehalusan seni seseorang pemahat dari patung yang dibuatnya. Walau tidak pernah bertemu secara langsung, kita dapat mengenalnya sebagai pencipta lagu yang terampil dan pemahat ulung melalui karya-karyanya. Pengenalan atau pertemuan maknawi bisa lebih intens daripada pertemuan fisik secara langsung yang tidak menangkap makna apa-apa.
Terkait hal ini, Ustadz Abdul Karim Al-Khatib (dalam Shihab, 1998: xxii) mengatakan, “Yang melihat atau mengenal Tuhan, pada hakikatnya hanya melihat-Nya melalui wujud yang terhampar di bumi serta yang terbentang di langit. Yang demikian itu adalah penglihatan tidak langsung serta memerlukan pandangan hati yang tajam, akal yang cerdas lagi kalbu yang bersih. Mampukah Anda dengan membaca kumpulan syair seorang penyair atau mendengar gubahan seorang komposer, melihat lukisan seorang pelukis atau pahatan seorang pemahat? Mampukah Anda dengan melihat hasil karya seni mereka, mengenal mereka tanpa melihat mereka secara langsung? Memang, Anda bisa mengenal selayang pandang tentang mereka, bahkan boleh jadi melalui imajinasi, Anda dapat membayangkannya sesuai dengan kemampuan Anda membaca karya seni, akan tetapi Anda sendiri pada akhirnya akan sadar bahwa gambaran yang dilukiskan oleh imajinasi Anda menyangkut para seniman itu, adalah bersifat pribadi dan merupakan ekspresi dari perasaan Anda sendiri. Demikian juga yang dialami orang lain yang berhubungan dengan para seniman itu, masing-masing memiliki pandangan pribadi yang berbeda dengan yang lain. Kalau pun ada yang sama, persamaan itu dalam bentuk gambaran umum menyangkut kekaguman dalam berbagai tingkat. Kalau dalam memandang seniman melalui karya-karya mereka sudah demikian adanya, bagaimana pula dengan Tuhan, sedang Anda adalah setetes dari ciptaan-Nya?”
Al-Ghazali mengomentari pengenalan melalui sifat-sifat tersebut, “Barangsiapa yang mendengar asma’ Allah, memahaminya dari segi tafsiran dan sifatnya, serta meyakini bahwa makna tersebut adalah milik Allah, sesungguhnya ia baru memperoleh bagian yang kecil saja daripadanya dan masih rendah tingkatannya.”
Pertemuan dengan Allah melalui nama atau sifat-sifat-Nya itu memiliki tingkatan yang berbeda-beda sesuai dengan pemahaman, penghayatan, dan pengalaman yang telah dijalani. Setidaknya, ada tiga proses yang melingkupi hal ini. Pertama, mengetahui dan yakin bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut. Kedua, memahami makna-makna yang terkadung dalam sifat tersebut dan menghayati wujud makna tersebut pada fenomena alam dan peristiwa kehidupan yang dilihat dan dialaminya. Ketiga, selain menghayati wujud makna sifat itu, seseorang berusaha menyerap dan merealisasikan sifat-sifat tersebut pada tindakan dan perilakunya.
Di sinilah kita bertemu dengan sebuah konsep yang diajarkan Nabi saw bahwa tugas terpenting manusia di dunia adalah takhaluq bi akhlaqillâh, atau ”berakhlak dengan akhlak Allah”. Di sini tampak sebuah proses di mana manusia wajib mengenal nama-nama Allah, untuk kemudian menjadikannya model dan proyeksi dalam bertingkah laku sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia. Terlebih dengan kedudukan sebagai khalifah alias wakil Allah di muka bumi, manusia harus menyeleraskan diri dengan Allah SWT sebagai pihak yang memberikan perintah.


Memaknai Allah sebagai Zat Pencipta

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, Allah SWT memiliki sejumlah nama yang teramat indah. Jumlah yang popular di kalangan kaum Muslimin adalah 99 nama. Setiap nama mewakili sejumlah sifat dan keutamaan, di mana sifat dan keutamaan tersebut saling berhubungan dan saling melengkapi antara satu sama lain.
Karena sejumlah keterbatasan, penulis hanya akan mengambil tiga nama dari Asmâ’ul Husna yang mengerucut pada makna ”penciptaan”. Ketiga nama tersebut adalah Al-Khâliq, Al-Bâri, dan Al-Mushawwir. Ketiga nama ini terangkai indah dalam QS Al-Hasyr ayat 24. ”Huwwa Allâhu Al-Khâliq Al-Bâri Al-Mushawwiru; Dialah Allah Yang Maha Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Maha Membentuk ...”          
Sebagai nama Tuhan, sementara ulama menyamakan makna Al-Khâliq dengan Al-Bâri’ dan Al-Mushawwir. Memang ketiga nama ini memiliki kesamaan makna, yaitu bahwa ketiganya berkaitan dengan ciptaan. Akan tetapi, masing-masing nama memiliki makna tersendiri dan berbeda dengan lainnya. Allah sebagai Khâliq adalah yang mewujudkan sesuai dengan ukuran yang ditetapkan-Nya, sedang mewujudkannya saja dari ketiadaan menuju ada–tanpa ukuran—itulah Al-Bâri’. Adapun Al-Mushawwir berarti Allah memberi ciptaan-Nya bentuk dan rupa. Demikian ungkap Abu Hamid Al-Ghazali.
Untuk mempermudah pemahaman, penulis kitab monumental berjudul Ihyâ ’Ulumuddin ini, memberikan sebuah ilustrasi menarik yang menggambarkan ketiga Nama Tuhan yang terangkai dalam satu tersebut. Walaupun makna ketiganya terkesan sama, yaitu mengarah pada penciptaan, akan tetapi masih-masing memiliki penekanan dan kesa yang berbeda dalam proses penciptaan tersebut.
”Layaknya sebuah bangunan, dia membutuhkan seorang yang mengukur apa dan berapa banyak kayu, bata, luas tanah, jumlah bangunan yang dibutuhkan, termasuk panjang dan lebarnya. Ini dilakukan oleh seorang arsitek yang akan membuat sketsa atau gambar (blue print) dari bangunan tersebut. Setelah itu, dibutuhkan orang-orang yang mengerjakannya sehingga tercipta bangunan sebagaimana yang ada dalam rancangan. Selanjutnya, masih dibutuhkan orang yang memperhalus dan memperindah bangunan, yang tentu saja ditangani oleh seorang ahli yang berbeda dari pekerja bangunan. Inilah yang biasa terjadi dalam membangun sebuah bangunan. Dalam menciptakan sesuatu, Allah SWT melakukan ketiganya. Oleh karena itu, Dia adalah Al-Khâliq, Al-Bâri, dan Al-Mushawwir.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, Al-Khâliq mengandung arti yang spesifik, yaitu ”menciptakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya” dan ”pengaturan yang sangat teliti berdasarkan ukuran-ukuran tertentu”. Ustadz Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa penciptaan, sejak proses pertama hingga lahirnya sesuatu dengan ukuran tertentu, bentuk, rupa, cara dan substansi tertentu dilukiskan dan dapat dipadatkan dalam nama Al-Khâlik.
Adapun Al-Bâri’ berarti ”menciptakan segala sesuatu dari asalnya tidak ada” dan ”mengadakan segala sesuatu dengan harmonis”. Laleh Bakhtiar mengungkapkan bahwa Allah menjelmakan sifat Al-Bâri’, Yang Maha Mengadakan dengan mengadakan secara sangat serasi, di mana tidak hanya tiap-tiap benda itu sendiri, tetapi juga semua makhluk lain dalam kaitannya satu sama lain. Semuanya saling berkaitan. Jika satu bagian diadakan, semua baginya dihasilkan juga karena fungsi satu hal bergantung pada fungsi dari yang lainnya”.
Sedangkan Al-Mushawwir menunjukkan makna bahwa Allah SWT yang memberi bentuk dan rupa, cara, dan substansi bagi ciptaan-Nya dalam kualitas yang terbaik. Sebagai manifestasi dari Al-Mushawwir, kita dapat melihat bentuk, rupa dan fungsi bermacam benda di semesta alam dengan sangat indah, detail, dan serasi.

 

PENGINDERAAN MANUSIA dan PERSEPSI OTAK

Untuk menghasilkan lukisan yang baik dan indah, seorang seniman harus terampil sekaligus jeli dalam mengamati segala hal yang ada di sekitarnya. Seniman yang baik adalah mereka yang pandai menangkap detail kecil akan tetapi sangat penting yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Dia pandai melihat bagaimana cahaya mengenai benda-benda, warna-warni pada sayap kupu-kupu, atau bagaimana embun yang berkilau pada dedaunan, dan kemudian mampu meletakkan pengamatannya itu pada gambar atau lukisan yang dibuatnya. Hanya dengan kesungguhan, kejelian, dan kecerdasan dalam memperhatikan dunia di sekitarnya, seseorang dapat mengetahui apa itu keindahan, kecantikan, dan kebahagiaan, terkadang pula aneka ketidakpantasan dan kengerian.
Sesungguhnya, Allah SWT melebihi semua kemampuan yang digambarkan tersebut. Dia adalah ”Seniman Yang Mahacerdas” yang keindahan karya-Nya tidak mungkin ditandingi siapapun. Jika manusia hanya mampu menghasilkan lukisan yang statis, Allah SWT mampu menciptakan lukisan semesta alam yang hidup, dinamis, proporsional, harmonis dalam setiap unsurnya, dengan detail dan sistematika yang mengagumkan. Hal ini terjadi karena Dia adalah Al-Khâliq, Al-Bâri, dan Al-Mushawwir.


Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dan mendalam tentang nama-nama Allah tersebut, pembaca bisa merujuk pada buku-buku yang membahas tentang Asmâ’ul Husna. Di sini, penulis hanya ingin menekankan bahwa proses penciptaan alam semesta dan semua yang ada, sejak awal sampai akhir, Allah SWT melakukannya dengan sangat cerdas, sempurna, dan tidak ada cacat sedikit pun di dalamnya. Ada kreativitas luar biasa yang ditunjukkan Allah SWT karena Dia menciptakan sesuatu tanpa contohnya terlebih dahulu. Ada keunikan sekaligus harmoni yang tiada terkira dari semua ciptaan-Nya. Ada ketelitian, proporsionalitas, keseimbangan, keserasian, dan keindahan dalam karya-karya-Nya. Gambaran ini, selain menunjukan kemahabesaran Allah SWT, sekaligus menjadi tantangan bagi manusia sebagai khalifah Allah untuk bisa meneladaninya. ***

5 komentar: