Mataram adalah salah satu kerajaan besar yang pernah
berdiri di tanah Jawa. Selain kehadirannya yang bertepatan
dengan masa VOC, raja-raja yang memerintah Mataram pun terkenal ambisius dan
haus kekuasaan.
Mataram
berdiri akhir abad ke-15 lewat serangkaian suksesi berdarah, yang mewarnai
pergeseran kekuasaan di Jawa pasca runtuhnya imperium Majapahit. Kerajaan baru
itu hanya perlu enam dasawarsa untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang
bertebaran di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur pasca berakhirnya imperium
Majapahit. Penaklukan ini mewariskan ketegangan politik, ekonomi, dan budaya
yang berlarut-larut sesudahnya.
Kesuksesan
politik ekspansi Mataram mencapai puncak ketika Sultan Agung Hanyakrakusuma
(1613-1646) memerintah. Dialah raja terbesar dinasti Mataram. Pada masa
pemerintahannya, wilayah kekuasaan Mataram meliputi seluruh Jawa Madura
(kecuali Batavia dan Banten) dan beberapa daerah di luar Jawa, seperti
Palembang, Jambi, dan Banjarmasin. Selain dikenal sebagai raja yang sukses dan
kreatif, Sultan Agung dikenal pula sebagai raja yang ambisius dan brutal tatkala
menghadapi lawan-lawan politiknya.
Kisah
Mataram yang paling menarik justru terjadi pada masa pemerintahan Susuhunan
Amangkurat I alias Sunan Tegalwangi (1645-1677), putra sekaligus pewaris tahta
Sultan Agung. Masa pemerintahannya terkenal penuh intrik. Amangkurat I lebih
banyak mewarisi kebrutalan saja, tanpa mewarisi kreativitas dan sukses ayahnya.
Kalau Sultan Agung menaklukkan, membujuk dan melakukan manuver politik guna
mencapai ambisinya, Amangkurat I hanya bisa menuntut dan membunuh. Ia tidak menghiraukan
keseimbangan politik yang diperlukan untuk memimpin negeri penuh intrik seperti
Mataram pada masa itu. Ia memusatkan kekuasaan hanya untuk memenuhi
kepentingannya sendiri.
Menurut
sejarawan Belanda, Prof. H.J. de Graaf, masa pemerintahan Amangkurat I adalah
masa penuh teror. Raja tiran ini melumuri tangannya dengan darah ribuan ulama,
saudara-saudaranya, pejabat bawahannya, bahkan istri-istri dan anak-anak. Tak
heran bila kemudian muncul barisan sakit hati di kalangan pendukung kerajaan:
para bangsawan istana, pembesar negara, bangsawan di daerah taklukan, serta
kaum agamawan.
Senada
dengan yang diungkapkan de Graaf, penulis Babad
Tanah Djawi (kitab sejarah Kerajaan Mataram) mengungkapkan, “Pada zaman
itu, semua yang diinginkan sang nata (raja) bertentangan dengan adat. Beliau
sering menggunakan kekerasan terhadap orang lain dan sering menjatuhkan hukuman
mati di depan umum. Para bupati, mantri, dan pangeran saling mencuri lungguh
(tanah). Tata kerajaan semakin lama semakin hancur…”. Kejayaan Mataram yang
susah payah dibangun Sultan Agung, diruntuhkan sendiri oleh anaknya yang tidak
terkendali.
“KEBIJAKAN”
SANG RAJA
Amangkurat I memperlihatkan perangai buruknya sejak awal
pemerintahannya. Pada 1637, ketika masih berstatus
sebagai putra mahkota, dia terlibat skandal yang melibatkan istri seorang abdi
dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Pada 1647 Amangkurat mengutus Wiraguna ke
Ujung Timur untuk menghadapi pasukan Bali. Namun, belum sempat ia menunaikan
tugasnya, orang-orang suruhan Amangkurat I membunuhnya di perjalanan. Sesudah
itu, keluarga Wiraguna di Mataram, para pengikutnya, dan orang-orang yang
terlibat skandal tahun 1637 ditumpas habis, termasuk saudaranya sendiri
Pangeran Alit.
Sebelum
terbunuh, Pangeran Alit sempat meminta perlindungan kepada para ulama.
Akibatnya Amangkurat I berganti memusuhi para ulama. Amangkurat I mendaftar
para ulama terkemuka beserta keluarga dan pengikutnya. Mereka kemudian
dikumpulkan di halaman istana lalu dibantai. Menurut seorang pejabat VOC
Rijklof van Goens, antara 5000 dan 6000 orang pria, wanita, dan anak-anak tewas
dalam peristiwa itu.
Di
antara orang terkemuka yang menjadi korban keberingasan raja adalah ayah
mertuanya sendiri, Pangeran Pekik dari Surabaya yang dibantai bersama dengan
sebagian besar anggota keluarganya pada 1659. Paman raja pun, yang merupakan
saudara laki-laki Sultan Agung, Pangeran Purbaya, hampir saja dibunuh.
Beruntung ibu suri kerajaan turun tangan untuk menyelamatkannya.
Terbunuhnya
Pangeran Pekik mengakibatkan hubungan raja dengan putranya memburuk. Pangeran
Pekik adalah kakek si putra mahkota. Hubungan antara ayah dan anak tersebut
semakin memburuk, setelah keduanya terlibat dalam perebutan wanita. Seperti
halnya sang ayah, Adipati Anom—kelak naik tahta dengan gelar Amangkurat II (1677-1703)—terkenal
ambisius dan sangat doyan “main” perempuan. Ia kerap menghabiskan
malam-malamnya dengan para selir dan putri-putri istana.
Rijklof
van Goens yang diutus VOC kepada Amangkurat I, dibuat geleng-geleng kepala
melihat “kemampuan” raja dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.
Ia mengatakan, sebagaimana dikutip Onghokham dan MC Ricklefs: “Sistem
pemerintahan semacam ini tidak pernah terbayangkan di Belanda, …orang-orang tua
dibunuh untuk melowongkan tempat-tempat bagi mereka yang muda”.
Amangkurat
I sempat mengungkapkan kepada van Goens bahwa ia harus melakukan segala macam
cara untuk menjaga kestabilan kerajaan, termasuk dengan membantai lawan-lawan
politiknya, atau mereka yang dicurigai akan mengganggu keamanan. Amangkurat I
pun mengungkapkan bahwa rakyat tidak mempunyai hak untuk mendapatkan
kemakmuran. Karena itu, dia tidak perlu mengindahkan kemakmuran mereka, sebab,
kekuasaannya akan terancam kalau rakyatnya makmur dan pintar (Burger, 1962:
80).
Sebagai
realisasi dari politiknya itu, pada 1641-1646, Raja melarang rakyatnya
melakukan perdagangan antar pulau (laut). Perdagangan luar negeri hanya dapat
dijalankan bila ada izin dari raja. Saat itu, raja lah yang memegang monopoli
perdagangan beras. Orang yang berani mengeksport beras akan dijatuhi hukuman
mati.
Untuk
memperkaya diri, Amangkurat I menerapkan pajak yang tinggi kepada rakyat dan
kerajaan-kerajaan taklukannya. Raja pun sangat senang bila mendapatkan
hadiah-hadiah dari para bawahannya, termasuk dari VOC di Batavia yang memiliki
kepentingan untuk mendapatkan suplay beras dari Mataram. Menurut sejarawan
Australia, MC Rickleft, sebelum menjerat Mataram dengan utang dan perjanjian,
VOC sering memberi hadiah raja dengan barang-barang mewah, seperti kuda,
perhiasan, ataupun perempuan.
AKHIR KEHIDUPAN SANG RAJA
Gaya
pemerintahannya yang despotis (menindas), mengakibatkan raja yang bergelar Sayyidin
Panatagama ini selalu dihantui ketakutan. Dia tidak berani meninggalkan
istananya di Plered yang dikawal ketat. Dia pun tidak berani mempercayakan
pimpinan pasukan utama kepada orang lain. Dengan demikian, kekejamannya sedikit
demi sedikit mulai melemahkan posisinya. Kondisi ini menyebabkan para sekutu
dan vasal Mataram mulai berani melawan kekuasaan Amangkurat I.
Akhir
kekuasaan Amangkurat I terbilang tragis. Jeratan VOC dan pemberontakkan yang
dilakukan Trunajaya—yang awalnya berkolaborasi dengan putra mahkota—benar-benar
meluluhlantakkan kekuasaannya. Dalam keadaan sakit, ia melarikan diri ke Jepara.
Sialnya, di Karanganyar, rombongan raja dirampok oleh warga desa yang tidak
tahu identitasnya mantan junjungannya tersebut. Ia pun harus rela menyerahkan
emas dan uang yang dibawanya.
Di Tegalwangi, tidak jauh dari kota Tegal kini. Raja
yang semasa jayanya pernah membantai ribuan ulama itu, dishalatkan lalu dibawa
ke Tegal. Pada 13 Juli 1677, Amangkurat I dikebumikan di Tegalwangi. Tiga belas
sedadu VOC menghadiri pemakamnya. (EMSOE
ABDURRAHMAN)
Link summer-sumber datanya akan sangat menarik jika dicantumkan, Pak
BalasHapusok
BalasHapusberdasarkan buku sejarah indonesia modern karya MC Rickleft, dapat diduga bahwa Amangkurat I adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kekuasaan belanda selama ratusan tahun dan kehancuran karakter serta terperosoknya bangsa Indonesia sampai saat ini.
BalasHapusbetul, dia yg menyerahkan kedaulatan Mataram kepada Belanda, sehingga eks kerajaan Mataram Kasunanan Solo, Kesultanan Yogya, Mangukunegaran dan Pakualaman setiap raja yg akan naik tahta harus mendapat persetujuan Belanda, martabat Mataram Jatuh karena ulah raja korup dan lalim dan haus wanita ini sehingga kewibawaan Mataram di cabut oleh Tuhan,
HapusRaja ini banyak dosanya..
BalasHapus"IMAM FAQIH" atau lebih di kenal dengan nama PANGERAN PEKIK/M.MOKHAMAD FAQIH NUR SALEH/DJOKO BAGUS UMAR(SUNAN PEKIK). Beliau memiliki beberapa gelar semasa hidupnya diantaranya :
BalasHapusRaja Amangkurat Agung Kartosuro
Sunan Lamongan Kedua
Adipati Surabaya Pertama
Pangeran Anom
sukai fp kami: fb.com/sunanpekik
"IMAM FAQIH" atau lebih di kenal dengan nama PANGERAN PEKIK/M.MOKHAMAD FAQIH NUR SALEH/DJOKO BAGUS UMAR(SUNAN PEKIK). Beliau memiliki beberapa gelar semasa hidupnya diantaranya :
BalasHapusRaja Amangkurat Agung Kartosuro
Sunan Lamongan Kedua
Adipati Surabaya Pertama
Pangeran Anom
sukai fp kami: fb.com/sunanpekik