Adh-Dhârr An-Nâfi mengindikasikan bahwa segala sesuatu berada dalam
kekuasan
dan pengendalian-Nya. Allah sangat kuasa memberi derita
dan kemudharatan,
akan tetapi Dia pun sangat kuasa pula memberi manfaat,
maka tiada lagi selain diri-Nya yang berperanan.
Di dalam Asmâ’ul Husnâ terdapat nama-nama Allah
yang menunjukkan sifat jalâliyyah dan
jamâliyyah-Nya. Dengan demikian, kita
mengetahui bahwa ada dua ”wajah” Allah Azza wa Jalla. Pertama, wajah Allah yang
keras lagi berat siksaan-Nya (syadîd
al-’iqâb). Inilah yang menunjukkan sifat jalâliyyah Allah. Kedua, wajah
lain dari Allah yang Pengasih dan Penyayang; wajah yang selalu siap
mendengarkan keluhan dan penderitaan hamba-hamba-Nya; wajah yang setiap malam
menunggu kita untuk datang mengadu kepada-Nya; wajah yang senantiasa melimpahi
setiap makhluk dengan anugerah-Nya, walaupun makhluk-Nya itu setiap saat
bertambah kemaksiatan dan kedurhakaan kepada-Nya. Itulah wajah yang dalam
istilah tasawuf disebut sebagai sifat-sifat jamâliyyah,
yaitu sifat-sifat yang memperlihatkan keindahan Allah.
Sejatinya, sifat jamâliyyah
Allah lebih besar daripada sifat jalâliyyah-Nya.
Kasih sayang Allah itu jauh lebih besar daripada kemurkaan-Nya. Dalam sebuah
hadits qudsi, Allah Swt. berfirman, ”Aku
ingin murka melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh makhluk-Ku. Tapi Aku
melihat orang-orang tua yang ruku’ dan sujud, anak-anak yang menyusu pada
ibunya, dan binatang-binatang yang mencari makanan. Maka, berhentilah
kemarahan-Ku.” Jadi, kasih sayang Allah itu jauh lebih besar daripada
kemurkaan-Nya. Memang, Allah Swt. murka
juga, akan tetapi ridha-Nya jauh lebih cepat dan lebih melimpah.
Di sini, Allah Swt. memperkenalkan
diri-Nya sebagai Adh-Dhârr An-Nâfi, Zat
Yang Maha Pemberi Derita sekaligus Zat Yang Maha Pemberi Manfaat. Kedua
nama Allah ini seakan berseberangan antara satu sama lain, yang satu mewakili
sifat jalâliyyah-Nya dan yang satunya lagi mewakili sifat jamâliyyah-Nya Allah.
Penyebutan kedua nama ini secara bersamaan mengindikasikan bahwa Allah-lah
pemilik segala sesuatu dan sebagai bukti kesempurnaan-Nya. Ketika Allah mampu
memberi derita, teguran, siksaan, dan balasan kepada para pendosa, pada saat bersamaan
Dia pun kuasa memberi manfaat sebesar-besarnya, pengampunan, dan hal-hal yang
terasa mengenakkan. Karena itu, ketika merujuk sifat Allah, kedua nama ini
harus digabungkan tanpa kata penghubung. Ini, tidak lain dan tidak bukan, untuk
tidak memberi kesan negatif kepada Allah dari sifat Adh-Dhârr.
Allah Sebagai Adh-Dhârr
Kata Adh-Dhârr, sebagai nama Allah yang
kental sifat jalâliyyah-nya, pada
kenyataannya sangat dijiwai oleh sifat kasih sayang-Nya. Hal ini terlihat dari
pemakaian kata dhurr dalam Al-Quran yang disebutkan sebagai suatu pengandaian
(jika). Dalam QS. Al-An’âm [6]:17 misalnya, Allah Swt. berfirman, ”Jika Allah menyentuhkan suatu kemudaratan
kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika
Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu.”
Atau, dalam QS. Yâ Sîn [36]: 23, ”Mengapa
aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya, jika (Allah) Yang Maha Pemurah
menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi
manfaat sedikit pun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?”
Dengan demikian, penderitaan yang menimpan manusia, sejatinya bukan
karena Allah berkehendak menyusahkan manusia, akan tetapi karena ulah dan kesalahan
manusia itu sendiri. Sebab, di dunia ini ada hukum sebab akibat yang telah
Allah tetapkan atas segenap makhluk-Nya. Apabila melakukan A, maka B akibatnya.
Apabila melakukan B, maka C akibatnya, dan seterusnya. Setiap pilihan
senantiasa membawa konsekuensi tertentu. Itulah sebabnya, hukuman yang berbuah penderitaan
Allah Swt. tetapkan ketika manusia tersebut memilih untuk menderita, tidak
mengindahkan aturan dan nilai-nilai yang telah ditetapkan-Nya.
”Jika kerugian menimpamu, hal itu disebabkan oleh sifatmu yang tidak
jujur, ambisimu yang berlebihan, atau kelemahanmu yang diperturutkan. Jika
penyakit menimpamu, biasanya itu disebabkan karena kecerobohan dan kelalaianmu
dalam menjaga tubuh,” demikian ungkap Syeikh Tosun Al-Jerrahi.
Walaupun demikian, penderitaan yang Allah timpakan kepada manusia,
sesungguhnya jauh lebih sedikit dari kenikmatan yang diberikan-Nya. Kita bisa
melihat dalam redaksi ayat dalam QS. Al-An’âm [6] ayat 17, bahwa Allah ”yamsaskum (menyentuhkan) mudharat”.
Jadi, tidak menimpakan secara keseluruhan, akan tetapi hanya menyentuhkan. Belum
lagi kalau kita membandingkan antara jumlah kenikmatan dan kemanfaatan dengan
jumlah kemudharatan dan kesusahan yang Allah tetapkan atas kita, yang pertama
akan jauh lebih banyak daripada yang kedua. Kemudharatan yang ditimpakan itu
pun hanya sedikit dan bersifat permukaannya saja. Bandingkanlah masa-masa sehat
kita dengan masa sakitnya, manakah yang lebih banyak? Bandingkanlah masa lapar
kita dengan masa kenyang kita, manakah yang lebih banyak? Dan seterusnya.
Allah Sebagai An-Nâfi
Melalui
tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta maupun di dalam diri manusia sendiri,
Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya sebagai An-Nâfi’.
Artinya Allah Yang Maha Pemberi Manfaat. Kata An-Nâfi’ tidak ditemukan dalam Al-Quran, baik dalam bentuk tunggal
maupun jamak. Walaupun demikian, di dalam Al-Quran ditemukan ayat-ayat yang
menguraikan tentang anugerah Allah sambil menyatakan manfaat yang dapat diraih
manusia dari anugerah tersebut. Perhatikan ayat-ayat yang menggunakan kata manafi’
(manfaat yang beraneka ragam). Dalam QS. Al-Mu’minûn [23]:21 misalnya, Allah
Swt. berfirman, ”Sesungguhnya, pada
binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi
kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan (juga)
pada binatang-binatang ternak itu terdapat (manâfi’u) manfaat yang banyak
untukmu, dan sebagian darinya kamu makan.”
Tidak ada satu pun ciptaan dan perbuatan Allah yang sia-sia atau tidak
mengandung manfaat. Semuanya membawa bermanfaat dan membawa kebaikan. Lihatlah
nyamuk, apakah ia hewan yang membawa manfaat atau hanya sekadar hewan pembawa
penyakit yang tidak berguna? Ada banyak kebaikan yang dapat kita ambil dari
seekor nyamuk. Karena penyakit yang disebabkan oleh nyamuk itu ada banyak orang
yang berkembang hidupnya, muncul pabrik-pabrik obat nyamuk yang menjadi sumber
mata pencaharian banyak orang. Dengan nyamuk pula ilmu kedokteran dan biologi
berkembang pesat. Itu baru nyamuk, belum lagi jutaan binatang lainnya yang
tersebar di muka bumi.
Andai kita mau membuka mata hati, yang tampak di mata, yang terdengar
oleh telinga, atau yang teraba oleh kulit, semuanya adalah karunia Allah yang
jauh dari kesia-siaan. Semuanya memperlihatkan kemanfaatan yang besar. ”Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ’Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka’.” (QS. ’Ali Imrân [3]: 190-191).
Bahkan, ketika Allah Swt. memberi kita satu kesusahan, pada saat yang
bersamaan kesusahan tersebut membawa dua kemudahan, dua kebaikan, dan dua jalan
keluar. Ada janji yang pasti dari Allah, ”... Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah [94]: 5-6)
Allah Sebagai Adh-Dhârr An-Nâfi
Dari uraian
tersebut, kita bisa melihat bahwa Allah sebagai Adh-Dhârr An-Nâfi mengindikasikan bahwa segala sesuatu berada dalam
kekuasan dan pengendalian-Nya. Bukankah keadaan makhluk tidak pernah luput dari
salah satu dari kedua hal tersebut, yaitu mudharat dan manfaat? Allah Mahakuasa memberi derita dan kemudharatan, akan
tetapi Dia pun Mahakuasa memberi manfaat. Tiada lagi yang memiliki
peranan selain diri-Nya. Maka, ”Katakanlah,
’Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang
gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan
ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa
berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (QS. Al-A’râf [7]: 188)
Dengan demikian, seorang yang meneladani asma’ Allah Adh-Dhârr An-Nâfi dituntut untuk meyakini bahwa hanya Allah-lah
yang berkuasa menolak mudharat sehingga tidak menimpa hamba-hamba-Nya yang
taat, dan menciptakan sebab-sebab sehingga yang melanggar ketentuan-Nya, baik
yang terkait dengan hukum syariat maupun hukum alam, akan ditimpa mudharat.
Allah pulalah yang berkuasa menganugerahkan manfaat, baik secara langsung
melalui sebab-sebab yang diketahui, maupun tidak langsung melalui hukum-hukum
alam dan kemasyarakatan yang telah ditetapkan-Nya.
Dari sini, akan lahir sikap ridha ketika suatu mudharat menimpa diri
kita, yaitu sikap hati untuk menerima kemudharatan tersebut. Sebab, tidak ridha
pun kejadian itu tetap dan telah terjadi. Sikap ridha, sejatinya akan
melahirkan ketabahan, ketenangan, dan kekuatan dalam menghadapi segala cobaan,
serta menjauhkan kita dari keputusasaan. Akan tetapi, kita pun harus ingat
bahwa ridha adalah sikap hati, pikiran dan tubuh memiliki tugasnya
sendiri-sendiri. Pikiran menganalisis mengapa kemudharatan itu sampai menimpa
kita, adakah yang salah? Setelah ditemukan benang merahnya dan sumber
kesalahannya, jadikanlah itu sebagai bahan pelajaran bahwa kita tidak boleh
mengulangi kesalahan yang sama. Tubuh pun dituntut untuk berikhtiar secara
optimal untuk menggapai takdir yang lebih baik. Jadi, sikap ridha tidak
melahirkan sikap apatis, tetapi memunculkan sikap dinamis.
Penghayatan terhadap asma’ Allah Adh-Dhârr
An-Nâfi pun akan menjauhkan seseorang dari berlaku aniaya, berlebihan, dan
kezaliman. Andai pun kita dituntut untuk melakukan suatu tindakan penghukuman
terhadap orang lain, entah itu kepada anak, istri, murid, anak buah, karyawan,
dan orang-orang di mana kita memiliki kekuasaan dan pengaruh atas mereka, maka
tindakan penghukuman tersebut diberikan secara proporsional dan tidak
berlebihan. Ingatlah, bahwa Allah Azza wa Jalla hanya ”menyentuhkan”
kemudharatan, bukan ”menimpakan” kemudharatan. Hukuman secara fisik adalah
jalan terakhir, apabila jalan dialog, teguran, dan sanksi lainnya tidak bisa
menyadarkan mereka. Tujuannya pun bukan untuk balas dendam, atau menimpakan
atas dasar kebencian, tetapi lebih didasarkan pada tanggung jawab mendidik dan
mengarahkan yang bersangkutan agar menjadi lebih baik.
Adh-Dhârr An-Nâfi melahirkan pula spirit kebermanfaatan diri. Artinya, Adh-Dhârr An-Nâfi menjadi sumber
inspirasi untuk menjadi khairunnâs, yaitu sosok yang menjadi sumber manfaat dan
kebaikan bagi orang lain. Ada satu kisah menarik dari negara Uganda. Kisah
nyata ini pernah difilmkan oleh Franklin Covey Co.
Sebut saja Mr. Stone. Ia adalah seorang pemain sepakbola yang sangat
berbakat. Keahliannya dalam menggocek si kulit bundar telah membawanya masuk
salah satu tim profesional di negaranya. Saat itu, usianya baru 18. Semakin
hari kariernya semakin menanjak hingga ia dipercaya memperkuat tim nasional
negaranya untuk beberapa pertandingan internasional. Sebuah pencapaian yang
sangat diidam-idamkan sebagian besar anak muda Uganda. Karena bakat dan
keterampilannya itu, Mr. Stone pun mulai dilirik tim-tim sepakbola profesional
dari Eropa. Sudah terbayang kalau ia akan sering muncul di televisi, menjadi
duta bangsanya di ajang komperisi sepakbola paling prestisius di dunia, gaji
besar, fasilitas lengkap, menjadi terkenal, hidup terjamin, dan diidolakan
banyak orang.
Dalam sebuah pertandingan, sebelum ia direkrut salah satu tim Eropa,
bencana itu pun datang. Saat hendak menendang bola ke gawang, seorang pemain
lawan merobohkannya dari belakang hingga membuat ikat persendian lututnya
cedera parah. Kejadian itu bukan kecelakaan, itu disengaja. Kejadian itu pula
yang kemudian menamatkan karier profesionalnya.
Di sebuah negara di mana balas dendam dan pembunuhan adalah biasa, di
mana puluhan tahun perang dan korupsi telah membawa kekacauan dan permusahan
yang akut, kepada pemain yang telah mencederainya itu, Mr. Stone hanya
mengatakan, ”Jangan khawatir. Kamu cuma melakukan tugasmu ’kan?”
Kemampuan pria ini dalam memaafkan dan membuang jauh balas dendam, dan
dalam menimpakan kemudharatan kepada orang lain, setelah sekian lama ia
merintis karier sebagai pemain sepakbola profesional, sungguh luar biasa.
Setelah sembuh dari cedera dan memutuskan diri gantung sepatu, Mr. Stone
tidak larut dalam diam dan kekecewaan. Ia ingin sisa-sisa uang dan
keterampilannya bermain bola bisa pula dirasakan manfaatnya oleh orang lain.
Bersama beberapa relawan lainnya, ia mendirikan klub sepakbola lokal yang diperuntukkan
untuk anak-anak yang kurang beruntung dan bermasalah, baik secara ekonomi,
budaya, maupun sosial. Tidak ada biaya yang dipungut untuk menjadi anggota dari
klub yang dikelolanya itu.
Ia mengatakan tentang tim barunya tersebut, ”Ada anak yang terlibat
narkoba. Ada tukang copet. Ada juga anak-anak berandal yang tidak jelas arah
hidupnya. Kami berusaha memberi mereka arah, juga beberapa keterampilan, lalu
beberapa sumber daya, lalu kerangka berpikir yang diharapkan bisa membantu
kehidupan mereka kelak. Pokoknya, kami tidak memandang mereka sebagai calon
pemain sepakbola. Kami hanya ingin mereka menjadi warga negara yang baik. Kami
ingin mereka bisa mengandalkan dirinya sendiri, memanfaatkan waktu dan
keterampilan yang mereka miliki sehingga bisa membantu mereka menjadi lebih
baik.”
Anak-anak bermasalah yang dibimbing Mr. Stone, pada dasarnya adalah
anak-anak yang dibuang keluarganya dan ditolak komunitas masyarakatnya serta
dicap sebagai para pembuat keonaran dan sumber masalah. Stone benar-benar melimpahkan
kaish sayang dan perhatiannya. Mereka diberi kepercayaan. Katanya, kasih sayang
adalah kunci kesuksesan timnya, ”Kami pertahankan anak-anak ini hanya dengan
kasih sayang. Kami tidak memberi mereka uang dan barang. Tetapi mereka tetap
datang karena mereka kerasan dalam tim ini. Kasihlah yang menjadikan segalanya.
Anda tidak akan pernah bahagia kecuali kalau Anda memiliki kasih sayang. Jadi,
kami pun sangat mengupayakan hal itu. Itulah dasar tim kami. Kasih sayang dan
pengampunan.”
Arahan Mr. Stone tentang makna kasih sayang dan pengampunan, telah
menjadi oleh-oleh berharga yang dibawa anak-anak itu saat pulang kepada
keluarga dan komunitasnya. Pada akhirnya, mereka pun bisa belajar mengasihi dan
menghargai orang-orang di sekitarnya, dan belajar mengampuni mereka.
Sebuah Renungan
Hidup adalah
ujian. Hidup itu tidak lebih dari berpindahnya kita dari satu ujian kepada
ujian. Dalam QS. Al-Mulk [67] ayat 2, Allah Swt. berfirman, “(Allah-lah) Yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Dalam setiap ujian, tentunya ada aturan mainnya, ada standarnya, mana
yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Seseorang dianggap sukses jika ia
berhasil melewati ujian dengan tetap mematuhi aturan-aturan dari Zat yang
memberinya ujian. Sebagai sebuah contoh, kita bisa lihat prosesi makan. Allah
Swt. mengaruniakan kita rasa lapar. Sesungguhnya, lapar ini adalah ujian,
mampukah kita melewatinya atau tidak? Ketika kita lapar, otomatis kita
membutuhkan makanan. Di sini kita dihadapkan pada dua ujian. Pertama, dari
proses pemilihan zat makanannya, apakah kita akan memilih makanan yang halal
dan baik, apakah kita memilih makanan yang halal tetapi tidak baik, apakah kita
memilih makanan yang tidak halal tetapi kelihatannya baik? Kedua, dari proses
mendapatkannya, apakah kita akan mencarinya dengan cara halal ataukah dengan
cara haram? Dalam proses ini Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan aturan
mainnya, ada yang boleh dan ada pula yang tidak. Seseorang dianggap lulus ujian
jika ia mampu menjalani proses sesuai aturan.
Ketika berhasil melewati ujian ini, kita akan ada mendapai ujian
selanjutnya, yaitu berupa hadirnya makanan yang halal. Jangan dikira, selain
sebagai nikmat, makanan halal pun akan menjadi ujian. Seperti halnya tahap
pertama, pada tahap kedua ini ada lagi aturan main yang harus kita patuhi.
Apakah kita mau mensyukurinya atau tidak? Saat memakannya, apakah kita
menjalankan adab-adabnya atau tidak? Jika makanannya tidak sesuai selera,
apakah kita mencelanya atau tidak? Jika sesuai selera, apakah kita berlebihan
memakannya atau tidak? Apakah kita mau berbagi dengan orang lain yang
membutuhkan atau tidak? dan seterusnya. Ada sekian banyak pilihan. Kita
dianggap sukses melewati ujian jika cara kita memperlakukan makanan sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan. Banyak orang yang gagal menjalani proses
ini. Boleh jadi makanannya halal zat dan cara mendapatkannya, akan tetapi ia
gagal dalam memanfaatkannya.
Di sinilah pentingnya ilmu dan kesabaran. Artinya, bagaimana kita bisa
melewati ujian jika kita tidak mengetahui aturan main dari ujian tersebut. Aturan
mainnya adalah nilai-nilai agama yang bersumber pada Al-Quran, hadits Nabi, dan
penjabaran para ulama tentang keduanya. Karena itu, kita harus banyak belajar
agar mengetahui dan bisa memahami, untuk kemudian mengamalkannya. Nah, dalam
proses pengamalannya kita memerlukan kesabaran. Tidak mungkin kita bisa
melewati ujian tanpa adanya kesabaran. Karena hidup adalah perpindahan dari
satu ujian ke ujian yang lain, maka kita pun harus berpindah dari satu
kesabaran ke kesabaran yang lain. Seperti halnya prosesi makan tadi; dari mulai
mencarinya, memilihnya, hingga menikmatinya, kita harus menyertakan ilmu dan
kesabaran yang sesuai untuk setiap kondisi. Prinsipnya, semakin berat ujian,
semakin besar pula kesabaran yang harus kita miliki.
Walau demikian, tidak selamanya kita sukses menghadapi ujian. Adakalanya
kita mengalami kegagalan. Namun pada saat bersamaan, kegagalan tersebut menjadi
ujian lagi bagi kita, apakah kita mampu menyikapinya dengan baik atau malah
membuat putus asa. Keberhasilan menyikapi kegagalan, hakikatnya adalah
kesuksesan yang luar biasa.
Hidup adalah pilihan, dan pilihan adalah ujian. Kemampuan kita dalam
memilih dan mengatasi ujianlah yang akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas
kemudharatan dan kemanfaatan yang Allah Swt. takdirkan kepada kita. (EMSOE ABDURRAHMAN)
Luar biasa bagusnya
BalasHapusPencerahan hati. Masya Allah. Terima kasih posting ini sangat bermanfaat
BalasHapusPencerahan hati. Masya Allah. Terima kasih posting ini sangat bermanfaat
BalasHapus